Absennya Audit BPK di INA: IAW Soroti Celah Pengawasan Dana Publik
JABARONLINE.COM — Indonesian Audit Watch (IAW) menyoroti ketiadaan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Indonesia Investment Authority (INA), meski lembaga tersebut mengelola dana negara dalam jumlah besar. Dalam wawancara eksklusif bersama IAW, Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, mengungkapkan kekhawatirannya soal celah pengawasan dan potensi risiko keuangan negara yang belum tersentuh oleh audit resmi negara.
"INA mengelola dana negara yang dipisahkan, tapi bukan berarti bebas dari pengawasan BPK," ujar Iskandar, Selasa,25 Februari 2025. Ia menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang BPK Nomor 15 Tahun 2006 dan Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, seluruh pengelolaan kekayaan negara—termasuk yang dipisahkan—tetap berada dalam ruang lingkup pengawasan BPK.
Transparansi yang Dipertanyakan
Menurut Iskandar, INA mengelola dana triliunan rupiah, termasuk Rp75 triliun dari Penyertaan Modal Negara (PMN). Dana tersebut terdiri dari Rp30 triliun dana tunai dari APBN 2020-2021 dan Rp45 triliun dalam bentuk pengalihan saham pemerintah. Selain itu, INA juga menerima investasi dari lembaga internasional seperti International Development Finance Corporation (Amerika Serikat) dan Japan Bank for International Cooperation (Jepang).
"Kalau bicara soal dana publik, pengawasan harus ketat. Audit internal atau audit dari kantor akuntan publik tidak cukup. Harus ada audit negara," tegasnya.
Iskandar menambahkan bahwa absennya audit BPK bisa menjadi preseden buruk bagi lembaga sejenis di masa depan, seperti Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), yang baru dibentuk. "Kalau INA saja bisa luput, bagaimana dengan lembaga investasi baru nanti?" tanyanya.
Sektor Strategis dan Potensi Masalah
INA selama ini berinvestasi di berbagai sektor strategis, seperti infrastruktur, energi, logistik, dan teknologi. Namun, beberapa proyeknya terseret isu hukum dan dugaan kerugian negara.
1. Infrastruktur dan Transportasi
INA mengucurkan dana sekitar 1,4 miliar dolar AS ke proyek jalan tol Trans-Sumatra dan Trans-Jawa. Namun, proyek ini tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi pengadaan lahan dengan potensi kerugian negara mencapai belasan miliar rupiah.
2. Telekomunikasi dan Teknologi
Investasi sebesar 800 juta dolar AS ke PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) sempat menjadi sorotan. Dugaan tukar guling saham antara Mitratel dan PT Tower Bersama Infrastructure (TBIG) menimbulkan potensi kerugian negara hingga Rp26 triliun, meskipun kasus ini dihentikan oleh Kejaksaan Agung.
3. Energi Terbarukan
Investasi 500 juta dolar AS di Pertamina Geothermal Energy (PGE) menimbulkan kekhawatiran terkait potensi kerugian negara, terutama setelah PGE melakukan IPO yang dinilai melemahkan kontrol pemerintah atas aset strategis.
4. Kesehatan
INA juga menggelontorkan dana 150 juta dolar AS untuk PT Kimia Farma Tbk. Meski bertujuan memperkuat sektor kesehatan, anak perusahaan Kimia Farma tengah menghadapi masalah integritas laporan keuangan, memperbesar risiko pada investasi INA.
5. Pariwisata dan Ekonomi Digital
Investasi sebesar 300 juta dolar AS ke Traveloka sempat menuai kritik karena perusahaan ini pernah tersandung isu kartel harga tiket dan keluhan konsumen.
"Portofolio INA memang luas, tapi itu berarti risiko yang dihadapi juga besar. Pengawasan harus sepadan," tegas Iskandar.
BPK dan Kewajiban Konstitusi
Iskandar menjelaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 23E ayat 1, menegaskan bahwa BPK memiliki kewenangan penuh untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Meski INA diaudit oleh kantor akuntan publik, IAW menilai hal itu belum cukup.
"BPK punya mandat konstitusional. Jadi, meski INA bilang mereka sudah diaudit swasta, itu tidak menghapus kewajiban audit negara," katanya.
IAW mendesak BPK untuk melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja dan pengelolaan dana INA, tidak hanya pada laporan keuangannya. Menurut Iskandar, hal ini penting untuk memastikan bahwa dana publik digunakan secara efektif, transparan, dan bebas dari potensi penyimpangan.
Potensi Celah Hukum
IAW juga mengingatkan tentang celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Beberapa celah yang disoroti antara lain:
- Status dana "kekayaan negara yang dipisahkan" yang sering dijadikan alasan untuk menghindari audit langsung oleh BPK.
- Kurangnya harmonisasi antara UU Keuangan Negara, UU BPK, dan UU Tindak Pidana Korupsi dalam menangani potensi kerugian negara akibat investasi bermasalah.
- Tidak adanya kewajiban eksplisit bagi INA untuk menyerahkan laporan langsung ke BPK dalam regulasi pendiriannya.
"Kalau ini dibiarkan, risiko penyalahgunaan dana publik makin besar. KPK atau Kejaksaan bisa masuk kalau ada indikasi korupsi, tapi seharusnya BPK bisa lebih awal mendeteksinya lewat audit," ujar Iskandar.
Rekomendasi dan Harapan
Di akhir wawancara, Iskandar menegaskan perlunya perbaikan sistem pengawasan lembaga investasi negara seperti INA. Ia berharap pemerintah dan DPR mendorong BPK untuk aktif melakukan audit terhadap lembaga ini, bukan sekadar memeriksa laporan hasil audit dari pihak ketiga.
"Kita butuh transparansi dan akuntabilitas, apalagi ini dana publik. Kalau dibiarkan tanpa pengawasan memadai, risikonya bukan cuma kerugian finansial, tapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat," pungkasnya.
IAW berkomitmen untuk terus mengawal isu ini dan mendorong penguatan sistem pengawasan dana negara, terutama dalam lembaga-lembaga investasi strategis seperti INA. (Bro)

