Alasan Orang Tua Harus Ketahui Siklus Haid Puterinya
JABARONLINE.COM – Haid atau menstruasi adalah tanda mulai dewasanya seorang anak perempuan. Dimana seluruh kewajiban seorang muslimah sudah menjadi kewajibannya juga. Shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menutup aurat dengan benar, mandi junub dan lain-lain. Siklus normal haid bagi wanita adalah sebulan sekali dengan rata-rata selama seminggu.
Dikutip dari www.muslimafiyah.com, Secara medis waktu lamanya haid bisa memanjang atau memendek karena gangguan hormon atau penyakit. Misalnya normal haid itu 3-7 hari, maka bisa memanjangan lebih dari 7 hari atau kurang dari 3 hari. Demikian juga panjang siklus haid, bisa memanjang dan bisa juga memendek. Misalnya panjang siklus 15 hari (normalnya 28 hari atau sebulan), maka dalam satu bulan dia bisa mengalami 2x haid, atau siklus memanjang sehingga 2 bulan sekali ia dapat haid.
Ulama berbeda pendapat mengenai batas lama maksimal dan minimal haid, tetapi pendapat yang kuat adalah tidak ada batasan maksimal dan minimal haid, dan ini juga didukung oleh fakta secara medis. Dengan alasan:
- Syariat tidak menetapkan angka pasti lama waktunya.
Karena haid adalah masalah yang sangat umum sekali, pasti syariat menjelaskan jika memang ada batasan lamanya.
- Syariat menetapkan illat/alasan bersih haid yaitu bersih dari kotoran, kapan bersih darah haid, itulah masa berhentinya haid
- Ulama berselisih pendapat batasannya dengan angka yang tidak konsisten
Beberapa ulama berpendapat bahwa lama batas maksimal dan minimal haid
Demikian juga dalam Matan Abi Syuja Asy-Syafiyyah,
“Batas minimal waktu haid adalah sehari-semalam, batas maksimalnya adalah 15 hari dan umumnya 6 -7 hari.”
Imam Abu Hanifah berkata,
“Batas minimal adalah 3 hari-malam dan maksimalnya 10 hari.”
Imam Malik berkata,
“Tidak ada batas waktu minimal, jika ia melihat satu tetes darah maka itu haid, dan maksimalnya adalah 15 hari.”
Dalam kitab Al-Mugni karya Ibnu Qudamah mazhab Hambali,
“Dalam mazhad Imam Ahmad (Abu Abdillah) tidak ada perselisihan bahwa minimal haid adalah sehari sedangkan maksimalnya adalah 15 hari ada juga yang berkata 17 hari.”
Sedangkan pendapat yang lebih rajih (kuat), wallahu a’lam bahwa haid tidak ada batasan maksimal dan minimalnya.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Mengenai Haid, Allah mengaitkan banyak hukum yang berlaku ketika haid. Allah tidak memberikan batasan Baik minimal dan maksimal. Tidak pula batas hari suci antara dua masa haid, Padahal hal tersebut suatu yang umum di masyarakat dan mereka butuh penjelasan batasan itu. Secara bahasa juga tidak menerapkan batasan tertentu, jika menetapkannya berarti menyelesihi Al-quran dan sunnah.
Diantara ulama, ada yang menetapkan batas masa haid maksimal dan minimal. Namun mereka berbeda pendapat tentang berapa rincian batas tersebut. Ada pula ulama yang memberi batas maksimal masa haid, namun tidak memberi batas minimal masa haid. Dan pendapat ketiga yang lebih benar, bahwa tidak ada batas minimal dan tidak ada batas maksimal masa haid.”.
Allah menjelaskan Haid adalah kotoran dan ketika kotoran itu telah berhenti serta suci dari kotoran, maka laksanakan mandi junub sehingga setelah itu diperbolehkan kembali mendirikan shalat dan melaksanakan puasa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)
Sepertinya ada hal tabu ketika seorang ayah bertanya kepada puterinya yang telah dewasa, apakah dia sedang haid atau tidak. Seolah-olah hanya ibu yang boleh mengetahui siklus haid puterinya. Padahal, ayah pun perlu tahu agar jika suatu saat istrinya tidak ada, dia tahu alasan kenapa puterinya tidak shalat atau tidak berpuasa.
Seorang ayah berkewajiban mendidik anak-anaknya terutama dalam melaksanakan ibadah, maka ia juga harus tahu kapan puterinya tidak shalat atau tidak puasa karena alasan haid. Jika misalnya pekan lalu puterinya tidak shalat karena sedang haid dan pekan ini pun masih tidak shalat juga, maka sang ayah perlu ngobrol dengan istrinya untuk mencari tahu siklus haid si anak.
Tidak mungkin seorang ayah bisa menjalankan kewajibannya dalam mengajarkan anaknya shalat, jika dia tidak mengajarkan juga syarat sah sah shalat. Satu diantara syarat sah shalat adalah bersih dari haid bagi wanita. Jangan tabu untuk bertanya dan mencari tahu siklus haid puteri kita. Sebab kita tidak ingin anak kita meninggalkan shalat apalagi dengan mengaku atau berpura-pura sedang haid. Salah satu cita-cita luhur seorang ayah adalah memiliki keturunan yang tetap mendirikan shalat.
Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Rabb kami, perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim: 40)
Tanggung jawab seorang ayah sebagai kepala keluarga dan sebagai pendidik bagi istri dan anak-anaknya, tidak selesai ketika anak itu beranjak dewasa apalagi baru memasuki masa puber. Anak-anaknya merupakan titipan Allah Subhanahu wata’ala yang bisa menjadi pembawa dia masuk surga atau penyeret dia masuk neraka.
Keluarga “modern” yang memberi kebebasan yang kebablasan banyak menjerumuskan anak-anak menjadi generasi yang tidak tahu arah, tanpa arah dan salah arah. Anak-anak yang seharusnya diberikan wawasan tentang hakikat hidup dan tujuannya, malah mencari dan menerima itu di luar rumah dan di luar sekolah. Sehingga mereka menjalani hidup di jalan yang salah dan tersesat.
Kecenderungan masa bodoh, sungkan, tabu dan membiarkan anak mencari sendiri jalan hidupnya, membuat kebanyakan orang tua terutama ayah yang tidak lagi menjalin komunikasi yang sehat dengan anak-anaknya. Termasuk tidak peduli dengan siklus haid anaknya. Padahal dengan tahunya seorang ayah tentang siklus haid puterinya dia bisa mengawasi pelaksanaan shalatnya, serta mengantisipasi pergaulan puterinya.
Seorang ayah harus tahu bahwa jika puterinya ketika waktu shalat tiba, misalnya shalat juhur, tapi dia menunda-nunda shalatnya. Kemudian pukul 14.00 dia kedatangan haid, maka shalat juhur itu harus dia ganti (qada) ketika nanti telah suci dari haid. Begitupun jika, dia ternyata pukul 17.00 telah suci dari haid maka dia wajib mandi junub dan melaksanakan shalat ashar walaupun waktunya hampir berakhir.
Imam an-Nawawi menyebutkan:
Nash dari Imam Syafii, bahwa perempuan jika mendapati awal waktu salat dan dia bisa salat seharusnya, lantas haid. Maka nanti jika suci dia wajib qadha’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 4/ 368).
Wallahu a’lam. (H Taopik)