Antara Keberkahan Tanah Palestina dan Arogansi Israel
Antara Keberkahan Tanah Palestina dan Arogansi Israel
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
*Penulis Lepas Yogyakarta
Posisi di antara,kiranya tidak senantiasa diartikan sebagai sikap tidak memihak, atau enggan mengikuti pola-pola yang senantiasa dijaga keberadaanya dan kian meruncing dalam jurang perbedaan kepentingan. Antara, di antaranya bersifat netral dengan tujuan melihat persoalan secara adildalam arti holistik dan komprehensif serta tidak mengyikapinya secara gegabah.
Termasuk persoalan kemanusiaan yang menimpa tanah dijanjikan dalam istilah Israel dari hari ke harisemakin kursial. Allah sendiri mengatakan tanah yang dalam istilah sejarah disebut Syam diberkahi sekelilingnya.Tanah kelahiran para nabi (“anbiya’”), subur, dan memiliki nilaiyang penting khususnya sejarah dan perkembanganagama-agama.
Masjid al-Aqsha adalah satu selain Masjid Haram yang namanya tercantum dalam al-Qur’an, selain memiliki keutamaan tersendiri dalam hal ibadah, dikenal membawa kedamaian bagi siapa saja yang menginjakkan kaki di sana, baik pribumi atau pendatang. Semua merasakan ketenangan, bahkan ada yang mengatakan dengan penuh kesungguhan “seperti pulang kampung.”
Namun mengapa yang mengemuka adalah persoalan, konflik kemanusiaan yang terus berkelanjutan, penindasan, penjajahan dan kesewenang-wenangan? Palestina akan selalu berdiri tegak artinya tidak akan menyerahkan tanahnya, maka mengapa misalnya Israel tidak ingin pindah dan keukeh untuk tetap tinggal dan hidup di sana?! Pertanyaan ini yang hendak diluas jawaban penyelesaiannya dalam artikel ini dalam beberapa poin berikut:
Satu, klaim kebenaran. Ini adalah sikap yang dapat dijadikan senjata untuk “menguasai” yang lain. Sebagai suatu wacana sebenarnya ini telah lama mengemuka dan menjadi materi diskursus dunia baik sosial, politik termasuk akademik. Sehingga agama, sebagai pakem kebenaran umat manusia seringkali menerima tudingan, semisal para penganutnya dilarang untuk mengklaim diri sebagai yang paling benar. Sayangnya, kondisi tersebut menjadi sekedar wacana bagi suatu kalangan,bagi sebagian lain,klaim ini tidak sebatas materi diskusi namun sebagai spirit yang tanpa terbahasakan untuk menguasai yang lain.
Dikatakan sebagai “senjata”, tudingan klaim kebenaran terbukti mampu melemahkan mereka yang senantiasa meniti jalan kebenaran. Kondisi kebingungan, keraguan atau bahkan keengganan dapat muncul sebagai akibat dari penghembusan isu larangan klaim kebenaran.
Dua, label Ahli Kitab. Sebelumnya, suatu pertanyaan kiranya dapat dijawab, apakah orang-orang Israel yang ada di Palestina saat ini adalah termasuk atau memang Ahli terhadap kitabnya? Pertanyaan ini sebenarnya mudah saja dijawab. Tidak dengan konfirmasi kepada petinggi atau ke lapangan langsung; tatkala kitab suci sebagai satu standar eksistensi suatu agama sudah dirubah atau ditambah dari bentuk aslinya maka tidak ada yang berhak mengaku diri Ahli.
Paling yang menjadi pembelaan diri mereka adalah bahwa penjagaan mereka pada kebenaran tidak pada bukti fisik, katakanlah semisal kitab yang kesuciannya terjaga, namun mereka atau terdapat kelompok atau orang yang senantiasa menjagakesucianjiwa dari ketercemarannya. Dengan usaha penyucian jiwa dipandang dapat memandang sesuatu secara kebenaran.
Penulis mengatakan, terhadap argunentasi di atas justru menunjukkan kelemahan, bukan dalam arti paradoks, justru irasional atau mental secara akal dengan berpandangan bahwa kesucian dapat diraih dengan merasa diri suci. Merasa diri suci sejatinya justru persoalan serius kejiwaan. Merasa diri suci di hadapan Tuhan “dengan cara mendahului tuhan” merupakan indikasi sakit jiwa yang sesungguhnya. Maka, pribadi penulis mengatakan, “saya sangsi dengan keahlian atau penguasaan orang-orang Israel itu bahkan terhadap kitab mereka sendiri.”
Tiga, polemik hak milik tanah. Ini adalah poin paling penting sekaligus yang paling rumit penyelesaiannya bahkan sekedar dalam kontestasi pemikiran.
Jika dilihat kasat mata dan sejarah manusia abad ini, orang-orang Palestina yang tinggal di sana hidup aman dan damai layaknya kehidupan pada umumnya.Bahkan perbedaan ras, agama, atau lainnya menjadi pintu perlombaan, bukan persaingan dalam kebenaran. Hingga pada tahun sekisar 1980an, Kolonialis Inggris membuka akses pendatang untuk tinggal, hidup, dan memiliki hak kepemilikan tanah terhadap Palestina. Kondisi ini terus berlanjut hingga terbentuk negara Israel dan orang Palestina perlahan tapi pasti tersisihkan dan terpinggirkan dari tanahnya sendiri.
Israel sendiri bersikap “all out”, berupa masifnya mengolah berbagai kemampuan diri dalam berpikir, kekuatan militer, serta membangun sebisa daya pengaruh terhadap dunia luas. Tidak heran, usaha mereka terbukti membangunkan rasa sombong dan angkuh dalam diri mereka terhadap hamba-hamba Allah yang lain.
Bagaimana Israel bisa leluasa, dan sombong serta seolah punya kuasa sepenuhnya jika tanpa ada “senjata” yang mereka rakit sejak sekian lama? Berbagai fasilitas, berupa teknologi, akses informasi serta ideologi (artinya paham-paham paradigmatik) yang mereka usahakan selama ini menjadi bagian pendukung kekuatan mereka lantaran “lolos” dengan memetik hasil berupa simpati sedikit pihak, sebab sejatinya watak orang Israel sesungguhnya adalah tertutup. Sertadi pihak lain berupa ketidakberdayaan hampir seluruh bangsa dunia saat ini, bahkan ada saja yang mengambil sikap tunduk dengan mengamini setiap langkah yang diambil, Israel tersebut.