Baca Quran Sebagai Komunikasi Politik
JABARONLINE.COM – Saat ini marak sebuah gerakan yang masif, yakni gerakan membaca Quran di trotoar jalan.
Diawali dari Yogyakarta, lalu ke Riau, Jakarta, dan akan menuju Surabaya. Tampaknya, akan terjadi di seluruh Indonesia.
Gerakan Politik
Membaca Quran, sendirian atau bersama-sama, adalah perilaku mulia dan berpahala besar.
Namun, gerakan baca Quran di kota-kota tersebut bukan ibadah semata, sudah menjadi gerakan politik. Gerakan dari kelompok yang selama ini mengusung isu daulah atau khilafah.
Gerakan ini sebagai alat menunjukkan eksistensi mereka agar tetap masuk dalam hot-issue dalam kognisi masyarakat.
Dalam Teori Agenda Setting, mereka berusaha membangun agenda media dan pada akhirnya terus-menerus dianggap penting oleh publik (agenda publik).
Karena itu, strategi gerakan ini tidak simultan di semua kota, tapi, bergiliran, sehingga efek kognisi publik terus mengalir. Eksistensi isu politik mereka pun bisa terjaga lebih lama.
Komunikasi Politik Bungkus Agama
Dalam satu dasawarsa ini, komunikasi politik di Indonesia masih kental berbungkus agama.
Agama yang hanya berfungsi sebagai bungkus adalah agama sebagai ideologi, yakni hasil interpretasi kelompok tertentu untuk tujuan politik kekuasaan kelompok tersebut.
Karakter komunikasinya adalah membalut pesan dengan bungkus alasan yg terkesan agamais.
Memang, segala hal jika dibungkus agama terkesan akan menjadi “baik”. Tentu ukuran “baik” menurut kelompok tersebut. Jihad itu ajaran agama dengan ukuran jihad fi sabilillah, tapi, mengebom orang bisa berkesan “baik” karena dibungkus jihad tersebut.
Membaca Qur’an itu perbuatan mulia, tapi, jika niatnya untuk kepentingan politik maka bisa mendegradasi kemuliasn perilaku umat Islam, baik di mata sesama Muslim atau nonmuslim.
Komunikasi Politik Nonverbal
Komunikasi politik dalam bentuk identitas agama dan identitas SARA berkorelasi dengan tingginya komunikasi nonverbal.
Pesan komunikasi hanya fokus pada pesan nonverbal, seperti penggunaan simbol-simbol agama (baca Quran di trotoar, sholat di jalan, pola pakaian, sebutan habib, dll) dan menggalang massa.
Pesan-pesan rasionalitas-ilmiah sebagai bentuk edukasi politik tereduksi atau tidak ada sama sekali.
Ayat-ayat Quran yang bersifat rasional ilmiah ternyata “dipelintir” untuk menghilangkan rasionalitas ilmiah pada masyarakat. Masyarakat pun dijadikan irasional dengan menggunakan ayat-ayat yang sebenarnya rasional ilmiah itu.
Komunikasi politik harus menjadi driven munculnya politik ilmiah, bukan, mengeksploitasi emosional buta masyarakat.
Politik itu sering muncul perbedaan dan konflik maka mudah tersulut caci maki, perpecahan, dan kerusuhan jika masyarakat mengedepankan emosional dalam berpolitik.
Agama sebagai Pedoman, Bukan Bungkus
Agama harus menjadi fondasi berpolitik. Artinya, perilaku politik tidak boleh bertentangan dengan nilai agama.
Hal ini memerlukan basis ilmu agama dan adab yang baik. Di sinilah peran lembaga pendidikan agama.
Mestinya, apapun tujuan politiknya, politisi harus mengajak kadernya untuk “memakmurkan masjid” dengan membaca Quran bersama, berzikir bersama, Istighotsah, Maulidan. Jangan membuat pesan komunilasi “memakmurkan trotor, jalan”, dengan sholat di jalan, tadarus di trotoar, dll.
Masjid itu Rumah Allah (Baitullah). Jika kita ingin menyapa, bersalam, berkomunikasi dengan Allah, mampirlah ke Rumah-Nya.
Memang alam semesta dan semua tempat adalah Milik-Nya, tetapi, Allah telah memprioritaskan Masjid sebagai Baitullah.
Analoginya, saya punya rumah tinggal, mobil, sawah, tentu, jika anda ingin bertamu, lebih prioritas untuk bertamu di rumah saya.
Membaca Quran di trotoar pun memunculkan potensi gangguan terhadap kekhusukan dan keikhlasan ibadah
Trotoar sebagai Hak Publik
Mari kembalikan fungsi trotoar sebagai hak kenyamanan pejalan kaki.
Kembalikan manfaat trotoar seperti diatur UU no 22/2009, PP no 34/2006, Permen PU no 3/2014, Keep Dirjen Bina Marga no No.76/KPTS/Db/1999.
Penulis: Rachmat Kriyantono, PhD
(Ketua Dept Ilmu Komunikasi UB)