Bapak Hokage : Tentang Kata Keluarga dalam Pesan Idulfitri
Idul fitri telah menyapa raga. Corona tak bisa membuat kita lupa. Ada esensi luar biasa pasca umat muslim berpuasa. Di hari nan fitri itulah Kita saling bermaaf-maafan. Lewat video cal atau bertatap muka. SAH sebagai perwujudan Kita kembali suci tanpa dosa.
Diantara semua peristiwa idulfitri yang asik. Salat ied, kue keranjang, ketan dan opor ayam dan tentu salam tempel atau THR bagi bocah-bocah ada satu hal yang mengusik saya untuk menulis. Ah barangkali ini sedikit nyinyir, julid atau bahkan gabut tingkat tinggi. Tapi saya adalah Saya. Sebuah unek dalam kepala harus saya curahkan! Harus saya utarakan. Baiklah! Maaf bagi segenap jiwa yang tertampar. Semoga tulisan ini tak memberi jarak apalagi dendam sesama Kita sebagai umat. MAAF!
Silakan buaka pesan watshap Saudara! Cek bagian bawah atau kalimat pembuka. Disanalah Saya menemukan sebuah basa-basi yang menjenuhkan. Maaf! Apa itu? Yups…sebuah kaliamat seperti. Wildan Fauzi Mubarock dan Keluarga. Saya tebalkan bagian keluarga. Bagian inilah yang mengusik saya sebagai penulis amatir yang mungkin agak satir.
Pertama sebelum yang kedua
Bagimana jika yang mengirim tulisan belum berkeluarga? Pernyataan ini jelas awal dari sebuah kebohongan di hari nan fitri. Saya pikir, alangkah eloknya jika menulis Wildan fauzi Mubarock yang akan berkeluarga. Ini tentu lebih bijak..barangkali sebagai doa di hari suci. Semoga tahun depan jika gusti Alloh mempertemukan kita dengan idulfitri Kita sudah berkeluarga. Atau mungkin lebih terlihat jujur jika kita menuliskan Wildan F Mubarock belum berkeluarga. Ini jelas lebih gantle dan tentu merupakan isyarata bagi pembaca untuk barangkali saling mengenal, taaruf dan menuju proses ke arah berkeluarga. Lah, kalau yang baca udah nikah or tua. Pesan itu mungkin akan cocok bagi sanak saudara dan kenalan si penerima pesan. Apapun itu, maaf untuk kata, kalimat yang tertera. Yang asik dari bagian ini adalah Saya telah berkeluarga. So, saya bebas menulis Wildan F Mubarock dan Keluarga.
Kedua setelah pertama
Bagi saya permintaan maaf adalah sakral milik individu. Nah loch! Jadi pesan yang telah kita kirim dengan membawa-bawa nama keluarga jelas bukan ketulusan hati dari kelurga kita. Pesan itu menjadi semacam peryataan formalitas tanpa bekas. Apapakah benar-benar kita telah meminta izin kelurga kita untuk memohon maaf pada penerima pesan yang barangkali keluarga Kita sendiri tidak pernah besentuhan dengan si penerima pesan. Bukankah penerima pesan kita adalah kolega kita. Terkecuali antara keluarga kita dan si penerima pesan pernah saling bersentuhan dalam kehidupan bermasyarakat dan sosial. Pertanyaanya! Boleh tidak. Tentu boleh-boleh saja tak ada salahnya. Tapi saya memilih mengirim pesan dari hati bukan formalitas semata. Mangga!
Ketiga sebelum keempat
Saya lupa menyeruput secangkir kopi dan asyik membalas pesan watshap. Maaf Lahir Batin. Selamat Idulfitri. Bahagialah!bahagialah!berbahagialah!!!
Fauzi Wildan Mubarock
Pria dengan cita-cita hokage