Dinamika Revisi UU TNI: Dikotomi Sipil-Militer Pasca Reformasi
JABARONLINE.COM - Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang dibahas oleh DPR menjadi topik hangat di kalangan politisi, militer, dan masyarakat sipil. Revisi ini dinilai memiliki relevansi signifikan dari berbagai aspek, mulai dari penguatan sistem pertahanan hingga implikasi politik yang mendalam.
Revisi UU TNI dipandang relevan untuk menyesuaikan peran dan fungsi TNI dengan dinamika ancaman pertahanan termasuk keamanan yang berkembang. Di tengah tantangan global seperti klaim wilayah secara sepihak, perluasan ancaman pertahanan dan keamanan negara termasuk serangan siber, dan ketidakpastian global, TNI perlu memiliki fleksibilitas lebih dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, revisi ini juga berupaya untuk mengintegrasikan TNI dengan kebijakan keamanan nasional yang lebih komprehensif dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Beberapa poin utama dalam revisi UU TNI antara lainadalah kedudukan TNI dalam struktur negara, jabatan Wakil Panglima, opsi penempatan TNI pada jabatan Lembaga/Kementerian, dan usia pensiun.
Salah satu poin yang paling mendapat perhatianadalah peluang bagi aparat TNI untuk berperan di luar sektor pertahanan. Hal ini membuka perdebatan tentang potensi kembalinya dwifungsi militer yang pernah diberlakukan di masa Orde Baru. Beberapa pihak khawatir bahwa keterlibatan TNI dalam urusan non-militer dapat mengancam supremasi sipil dan demokrasi, mengingat sejarah panjang Indonesia di mana militer memainkan peran dominan dalam politik dan negara.
Peneliti dari lembaga riset Nusantara Foundation, Muhammad Gufron Rum, menilai, proses politik di legislatif pada dasarnya mencapai filosofi bernegara yang sesuai dengan perkembangan zaman.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap undang-undang, termasuk UU TNI, selalu terkait dengan dimensi politik. Proses revisi ini mencerminkan tarik-menarik kekuatan antara berbagai aktor politik yang berusaha mempengaruhi arah kebijakan pertahanan negara. Dalam konteks Indonesia, di mana sejarah hubungan sipil-militer sering kali penuh ketegangan, revisi UU TNI menjadi ajang untuk bernegosiasi dan mencari keseimbangan baru,” sebutnya.
Rum menambahkan, sejatinya dinamika tarik ulur posisi personel militer dalam jabatan-jabatan birokrasi di luar konteks pertahanan telah banyak dibahas, baik secara ilmiah maupun dalam situasi yang lebih spesifik.Menurutnya, perdebatan ini menjadi menarik dalam konteks demokrasi dan dinamika pertahanan dan keamanan negara.
“Hubungan militer dan politik di Indonesia telah banyak menjadi subjek penelitian. Beberapa studi mengatakan bahwa perubahan legislasi tentang posisi militer sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik domestik yang menyebabkan posisinya menjadi biaspasca rezim otoritarian yang dibawa Soeharto dan kroninya,” terangnya.
Akan tetapi, Rum juga menyoroti bahwa delegasi posisi jabatan birokrasi pada personel militer bukan berarti membawa doktrin-doktrin militer ke dalam birokrasi, melainkan memperhatikan kualitas dan kapabilitas personel yang telah dibuktikan melalui portofolio yang panjang dan sikap mental yang positif. Selain itu, ia menyebut bahwa kinerja birokrasi pasca reformasi pun cenderung belum mencapai versi terbaik.
“Publik masih bisa melihat bahwa di beberapa institusi birokrasi, tanpa kehadiran personel militer punbudaya paternalisme masih sangat kuat dan tidak seluruh posisi didasarkan pada asas meritokrasi dan good governance,” ungkapnya.
Rum menambahkan, sejatinya peran militer di birokrasi sipil tidak perlu ditanggapi secara reaktif. Sebab, pendelegasian posisi itu pun tidak bersifat penuh, melainkan yang juga bersinggungan dengan kepentingan pertahanan dan keamanan negara dalam waktu yang panjang, sehingga bukan pada persoalan dikotomismiliter-sipil semata.
“Peran militer dalam birokrasi pada dasarnya bisa diawasi dan diatur dengan mekanisme checks and balances yang memadai serta substansi good governance. Sebagai contoh, negara-negara lain yang memiliki sistem demokrasi yang matang dan juga militer yang kuat seperti Amerika Serikat dan Inggris tetap mampu mempertahankan supremasi sipil dan budaya demokrasi tanpa kehilangan efektivitas personalnya di luar bidang pertahanan dan doktrin militer,” lanjutnya.
Dengan kata lain, Rum menilai, bahwa keterlibatan personel militer di luar bidang militer bisa dilakukan dengan tetap berada di bawah pengawasan ketat dan aturan hukum yang jelas sebagai upaya mempertahankan demokratisasi dan pemeliharaan supremasi sipil yang berjalan cukup positif dalam beberapa dekade terakhir. Hal itu sekaligus menjadi pandangan kritis atas kekhawatiran publik tentang bagaimana proses substansi kepemimpinan sipil pada institusi dijalankan secara efektif. (Pari)