Distorsi RUU HIP di Tengah Pandemi

Distorsi RUU HIP di Tengah Pandemi

Smallest Font
Largest Font

JABARONLINE.COM – Kepercayaan publik tidak pada janji-janji yang hanya indah dalam mimpi tapi susah diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, masyarakat menginginkan tindakan yang mengarah pada tendensi kebijakan yang mensejahterakan rakyat bukan pada produk kebijakan yang sama sekali tidak diinginkan keberadaannya oleh rakyat.

RUU HIP menjadi salah satu isu panas yang menyeruak ke permukaan ditengah pandemi masih begitu satir digemakan. Dewan perwakilan rakyat sebagai manifestasi keterwakilan rakayat di pusat dalam melakukan fungsi pengawasan, legislasi dan anggaran. Fungsi legislasi yang menjadi bagian integral dari komponen sistem kerja yang diamanatkan konstitusi, rupanya tidak diakomodir dengan pertimbangan yang matang dalam mengeluarkan suatu produk kebijakan.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Penulis berasumsi bahwa DPR memegang teguh prinsip “tidak hanya satu jalan menuju roma”, mengapa demikian, karena melihat pada produk legislasi yang dikeluarkan oleh DPR semuanya pukul rata mengandung unsur pemaksaan untuk diabsahkan. Sasek di ujuang jalan, babaliak ka pangka jalan (tersesat di ujung jalan, kembali ke jalan awal). Pepatah itu yang cocok dialamatkan pada kondisi DPR yang sering memaksakan kehendak dan dinilai terburu-buru mengeluarkan kebijakan legislasi.

Kali ini inisiatif DPR memutar haluan ke pangkal jalan yang menjadi sumber dari segala sumber peraturan, norma, nilai dalam frame struktur politik, ekonomi, dan hukum. Keinginan melakukan Rancangan undang-undang Haluan Ideologi Pancasila menjadi sebuah undang-undang yang terlegitimasi, konon sejak beredarnya file draf naskah akdemik dan draf RUU HIP melalui media sosial dan cetak, telah menuai reaksi yang begitu geram dari seluruh elemen masyarakat pasalnya substansi yang termaktub dalam RUU HIP banyak mengandung kontroversi dan multitafsir pemahaman.

Advertisement
Konten berbayar di bawah ini adalah iklan platform MGID. JABARONLINE.COM tidak terkait dengan pembuatan konten ini.
Scroll To Continue with Content

Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai banyak pasal yang isinya multi tafsir dan akhirnya mubazir. Misalnya pasal tujuh yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato sukarno jika hanya dijadikan bunyi pasal?. (tirto.id , 16/6/2020).

Krirtikan dan penolakan tidak hanya datang dari kalangan akademisi melainkan bergema dikalangan pro pancasila, anti komunisme dan masyarakat beragama di Indoensia seperti halnya MUI beserta ormas-ormas lainya yang berbulat tekad menolak secara total rancangan undang-undang haluan ideologi pancasila absah menjadi sebuah undang-undang. MUI menilai substansi RUU HIP telah mendistorsir tafsir pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya. Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor juga mengemukakan pendapat “jangan sampai lahirnya UU nanti menjadi amunisi baru bagi kelompok-kelompok radikal dan intoleran untuk bangkit lagi” (tirto.id 16/6/2020).

Salah Perancangan
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) harusnya dipikir ulang dengan cara berpikir matang oleh para wakil rakyat di senayan dalam mengeluarkan berbagai produk kebijakan, apalagi soal pancasila yang menjadi icon sensitif untuk dirobah yang sarat bermuatan unsur kepentingan segelintir pihak, kelompok ataupun partai.

Problema ini mengingatkan penulis pada satu untaian pepatang minang yang mempunyai redaksi begini “Anyuik labu dek manyauak, hilang kabau dek kubalo” (karena mengutamakan suatu urusan yang kurang penting hingga yang lebih penting terabaikan dan tertinggal karenanya). Penulis menilai DPR sebagai keterwakilan rakyat di senayan telah salah perancangan untuk menempatkan posisi pancasila pada tempat yang tidak semestinya ditempatkan.

Pancasila sebagaimana diungkapkan oleh Hans Nawiasky adalah staatfundamentalnorm dalam tata aturan, pemerintahan dari berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila bertengger pada puncak tinggi peraturan diatas UUD 1945 oleh sebab Pansalila sebagai dasar tumpuan bernegara.

Kelima pasal pancasila menjadi komponen penting dalam memupuk dan menumbuh kembangkan bangsa indonesia dalam mengarungi arus globalisasi dan ideologi dari berbagai arah pintu angin yang menginginkan perpecahan untuk Indoensia. Pancasila menjadi isu sensitif untuk dijadikan bahan uji coba dalam mengambil suatu kebijakan, mengusik satu pasal saja dalam pancasila berarti telah membuka pintu perdebatan yang begitu sengit, apa lagi DPR berinisiatif melakukan rancangan undang-undang Haluan Ideologi Pancasila secara menyeluruh dan membaginya hingga terpecah, bukan persatuan yang akan didapat melainkan konfrontasi dan distorsi yang berimbas pada perpecahan bangsa.

Seumpama DPR dan pemerintah bersikukuh untuk melegitimasi RUU menjadi UU HIP tanpa melibatkan para pemilik kepentingan (rakyat) atau tidak mendengarkan arahan, masukan dari berbagai elemen bangsa seperti tokoh agama, akademisi, LSM, Ormas dan Mahasiswa dan lainnya akan dimungkinkan akan mencuatnya peletusan dan pengobaran api permusuhan, pertentangan yang merembes pada kehancuran negara Indoensia.

Secara teoritis dan substansi DPR sebagai mandataris rakyat dalam mengurusi produk legislasi tidak akan dihalangi oleh rakyat jika hal itu memang dibutuhkan dan urgen untuk diketengahkan di tengah publik, tidak ada masalah (maa fill masail). Tapi yang menjadi pertanyaan esensi adalah apakah RUU HIP ini begitu urgen sehingga dihidangkan sebagai santapan makanan siang publik, jika mengacu pada kondisi dan substansi yang ada saat ini DPR tidaklah perlu terburu-buru memaksakan niat baik untuk merancang undang-undang HIP, alih-alih berharap dukungan publik yang ingin didadapat agar lebih kuat, eh ternyata penolakan dengan penuh kecurigaan yang dialamatkan pada DPR, jangan-jangan wakil rakyat ingin mengkerdikan dan memarginalkan pancasila dari posisi teratas sehingga perencanaan selama ini tertunda bisa dilanjutkan kembali pasca HIP terdegradasi ke posisi nomor 2 setelah UUD 1945.

Mari bergandengan tangan
Melalui tulisan ringan ini penulis menaruh simpatisan dan mengapresiasi kinerja DPR untuk berinisiatif membawa perobahan terhadap negeri ini, tapi yang perlu juga digaris bawahi oleh DPR mari sama-sama meluruskan niat baik itu agar bermuara pada tujuan yang mulia tanpa di labeli dan ditunggangi ideologi, paham kiri yang dapat merongrong keruntuhan NKRI. Kalau andaikan DPR sedikit mau bersabar untuk melakukan perobahan undang-undang ataupun membuat undang-undang baru, ada baiknya dilakukan pasca pandemi virus covid-19 ini telah menjauh dari kehidupan bangsa ini karena hal yang paling prioritas untuk ditenggarai saat ini adalah bagaimana pemerintah dan DPR berjibaku mengeluarkan strategi jitu untuk dapat menghalau penyebaran virus corona yang sudah banyak merugikan negara, menelan banyak korban jiwa dan efek yang diakibatkannya yang begitu masif ke seluruh komponen bangsa seperti Pendidikan, politik, hukum, kesehatan dan ekonomi.

Saran sederhana penulis pada wakil rakyat di pusat dan daerah sudahi permainan kebijakan yang hanya merugikan rakyat banyak, dan akhiri RUU HIP menjadi Undang-Undang dengan cara menutup total jalan pembentukannya (dibatalkan) agar kita secara bersama mampu bergandengan tangan, berpangku harapan, saling berdoa dan saling menguatkan kiranya korona virus segera pupus dari negeri kita tercita.

Penulis : Gandi Putra
Pemerhati Media Sosial

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
admin Author