DPR RI Apresiasi Aplikasi Salur dan Jaga Asa Pemkot Bogor

DPR RI Apresiasi Aplikasi Salur dan Jaga Asa Pemkot Bogor

Smallest Font
Largest Font

BOGOR | JABARONLINE.COM –Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengapresiasi penerapan aplikasi Sistem Kolaborasi dan Solidaritas Untuk Rakyat (SALUR) dan Jaringan Keluarga Asuh Kota (Jaga Asa) dalam penanganan Covid-19 di Kota Bogor.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto saat Rapat Dengar Pendapat dengan agenda membahas verifikasi dan validasi data kemiskinan di daerah di Gedung Nusantara II, Komplek DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (17/6/2020).

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Selain Wali Kota Bogor Bima Arya, turut hadir dalam kesempatan tersebut perwakilan Pemkab Tangerang, Pemkot Serang, Pemkab Cianjur, dan Pemprov DKI Jakarta.

Dalam pembacaan kesimpulan rapat, Yandri mengatakan bahwa Komisi VIII mengapresiasi kinerja para kepala daerah kabupaten/kota dalam merespon dampak sosial dari pandemi Covid-19.

Advertisement
Konten berbayar di bawah ini adalah iklan platform MGID. JABARONLINE.COM tidak terkait dengan pembuatan konten ini.
Scroll To Continue with Content

“Sekaligus upaya serius dalam melakukan pemutakhiran data kemiskinan dan data penerima bantuan sosial di luar Data Terpadu kesejahteraan Sosial (DTKS). Contohnya tadi seperti yang disampaikan saudara Bima Arya dengan aplikasi Jaga Asa dan Salur dari Pemerintah Kota Bogor. Semoga ini bisa menjadi contoh atau benchmark bagi daerah lain,” ungkap Yandri.

Yandri juga minta pemerintah daerah untuk meng-update data keluarga penerima manfaat agar tepat sasaran dan tidak tumpang tindih antara bantuan sosial dan bantuan non-tunai baik dari pusat maupun daerah yang dialokasikan dalam APBN/APBD serta masyarakat.

“Pemerintah daerah dalam melakukan verifikasi dan validasi data kemiskinan hanya bersifat administratif berdasarkan data kependudukan dan setelah itu diserahkan ke Pusdatin Kemensos RI. Namun setelah terjadi perubahan tidak dijelaskan daftar perubahannya sehingga pemerintah daerah tidak mengetahui data perubahannya. Oleh sebab itu, data kemiskinan harus dibuka secara transparan dan dijadikan public assessment serta adanya standar atau indeks besaran bantuan sosial,” ujar Yandri.

“Hasil ini akan kami bawa ke rapat kerja minggu depan dengan Menteri Sosial. Masukannya luar biasa. Terutama terobosan-terobosan program seperti yang dipaparkan Wali Kota Bogor lewat aplikasi Salur dan Jaga Asa,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut Bima Arya juga bercerita mengenai temuan di lapangan terkait bantuan yang diduga tidak tepat sasaran. “Ketika menjelang Lebaran, pasar penuh. Saya turun ke lapangan, melihat ibu-ibu belanja pakaian, kami lihat KTP-nya. Kira-kira enam dari sepuluh ibu-ibu itu merupakan penerima bantuan sosial dari pemerintah. Begitu diambil KTP, NIK kita masukan ke sistem Salur kita, mudah saja lewat ponsel kita bisa cek itu,” ujar Bima.

Menurut Bima, data ini merupakan persoalan serius, bukan sekedar administratif tapi mungkin juga ke ranah filosofis. “Artinya, jika tadi disebut bahwa survey itu persepsi, maka miskin juga persepsi. Persepsi miskin dari kita ke mereka berbeda. Persepsi miskin diantara mereka juga berbeda. Ini pangkal utamanya di sini. Ketika semua merasa berhak karena nomenklatur miskinnya tidak dipahami dengan sama oleh semua. Jadi, hari ini 80 persen dari warga di setiap daerah, mengaku miskin dan terpapar,” terang Bima.

Bima menyatakan, harus ada penyederhanaan varian kategori bantuan yang akan disalurkan supaya tidak ada tumpang tindih penerima. “Menurut saya mutlak perlu disederhanakan dan dipertegas nomenklaturnya ini. Miskin struktural, miskin terpapar seperti apa. Jadi, yang darurat itu kita kategorisasi lagi. Oke darurat tidak bisa makan, tapi kan beda. Ada yang dua bulan makan daun singkong, ada yang dua bulan nongkrong di rumah karena dirumahkan,” katanya.

“Jadi saya kira kita harus bersepakat. Kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir, tapi ini penting karena untuk masa depan juga. Nomor dua tentang data yang berubah-ubah. Betul, bahwa musyawarah kelurahan naik ke pemerintah kota, dinsos melakukan verifikasi validasi. Tapi verifikasi ini sifatnya administratif, menyesuaikan dengan NIK, menyesuaikan dengan KK dan lain-lain. Jadi ketika berubah, warga bingung.” terang Bima.

“Berikutnya, decision making process kita harus diperbaiki. Jadi, sering kali berubah. Arahan dari pusat semua di data, semua dibantu, abis itu, berubah lagi ada sistem kuota. RT sudah kepalang bergerak di lapangan. Sekarang di atasnya berubah, kita berjibaku di lapangan. Ini persoalan.Saya kira DPR bisa menyampaikan ini ke kementerian. Jangan kemudian berubah, kalau belum ada datanya, jangan dulu buat keputusan, jangan dulu buat announcement,” kata dia.

“Ini harus ajeg dari awal. Presiden instruksi kepada menteri, ini koridornya, ini filosofinya, disepakati disitu. Menteri sepakat turun gubernur, gubernur sepakat turun ke daerah. Kan enak semuanya,” pungkasnya.

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
admin Author