Etiket Tanpa Etika Adalah Kemunafikan!
JABARONLINE.COM - Etika merupakan cabang filsafat yang mempertimbangkan konsep-konsep moral, nilai, prinsip-perinsip yang memandu perilaku manusia dalam berbagai konteks. Ini mencakup pertimbangan tentang hal yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah. Etika juga bisa dikatakan sebagai refleksi dari perjalanan sejarah.
Adapun etika dalam konteks politik (etika politik) adalah upaya memahami dan menerapkan nilai-nilai dalam pemebentukan kebijakan serta mempertimbangkan dampak sosial dari tindakan politik atau dengan kata lain etika membantu membentuk dasar moral untuk mengambil keputusan politik dan konstruksi masyrakat yang lebih adil. Cakupan etika politik antara lain kebijakan publik, tindakan pemerintah, integritas pemimpin, tindakan warganegara, hak asasi manusia, penghindaran konflik kepentingan, akuntabilitas dan transparansi.
Sedangkan etiket mengacu pada aturan atau norma perilaku sosial yang dianggap pantas atau sopan dalam berbagai konteks. Etiket berbicara soal cara berinteraksi dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Ini termasuk norma-norma tata krama yang berkaitan dengan sopan santun dan perilaku yang dianggap sesuai dalam masyarakat. Penting untuk dicatat bahwa etiket tidak bersifat mutlak. Etiket akan berubah sesuai dengan budaya setempat.
Bagaimana etika dan etiket dalamkonteks politik?
Dalam sistem demokrasi ditekankan pemerintahan berdasarkan hukum .Artinya, Undang-Undang memiliki peran kritis, Undang-Undang adalah “roh” atau “nafas” negara demokrasi, Undang-Undang menetapkan aturan dan norma-norma yang mengatur tindakan pemerintah dan warganegaranya. Sistem demokrasi juga menekankan pemerintah dan warganegara untuk menghormati UU .
Di sisi lain, UU bisa tidak adil, UU bisa dibuat untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. UU bisa lahir karena kekacauan berpikir (kekeliruan). Lalu, bagaimana jika UU tidak adil ? Bagaimana jika warganegara menghormati UU yang buruk ( tidak adil ) ? maka untuk menghindari jawaban pertanyaan ini, perlu kita sadari bahwa UU mesti dilahirkan berdasarkan pertimbangan etis. Bagaimana agar UU lahir berdasarkan pertimbangan etis ? hanya dengan memiliki pemimpin yang berintegritas, jujur dan menjujung tinggi etika undang-undang yang adil bisa tercapai.
Sebagai contoh wujud dari perilaku tidak etis ; kita dapat melihat fenomena politik yang lagi hangat saat ini soal putusan Mahkama Konstitusi (MK) tentang usia minimal calon wakil perisiden yang dihasilkan melalui mekanisme yang cacat. Terbukti dengan diberhentikan Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka dari jabatan ketua Mahkama Konstitusi (MK) oleh Majelis Kehormatan Mahkama Konstitusi (MKMK). Anwar terbukti melakukan pelanggaran kode etik terkait konflik kepentingan dengan nomor perkara 90/PPU-XXI, Selasa, (7/11/23).
Sedangkan etiket merujuk pada norma-norma tatakrama yang disetujui dalam situasi tertentu. Adapaun indikator seseorang dikatakan beretiket baik sebagai berikut ; sopan santun saat makan, mencium tangan kepada yang lebih tua, memberi salam kepada orang lain, dan lain-lain. Sebagai contoh, setelah debat calon wakil presiden usai, Gibran terlihat mencium tangan Mahfud MD dan Cak Imin, (12/12/24). Kemudian saat pengundian nomor urut pasangan capres–cawapres di KPU, Kaesang melakukan sungkem keMegawati, selasa (12/11/23).
Utamakan Etika atau etiket?
Pada titik ini, saya yakin kita sampai pada kesimpulan yang sama bahawa etika merupakan hal paling fundamental dalam konteks demokrasi, etika membantu menuntun untuk menghasilkan aturan yang adil, etika merupakan tuntutan moral bagi setiap pemimpin. Lalu, apa yang terjadi jika pemimpin tidak menjujung tinggi etika? Ini tentunya pertanyaan yang terlalu menyeramkan untuk kita membayangkan jawabannya.
Lalu, apakah sopan santun (etiket) perlu dalam berpolitik? Ya sopan santun perlu, namun sopan santun yang tidak didahului oleh etika adalah sebuah kemunafikan dan kemunfikan dalam politik adalah upaya penghancuran demokrasi.
Apakah penerobosan konstitusi bisa dibayar dengan cium tangan dan sungkem? Apakah ini wujud dari kemunafikan ? Mari menjawab.***
Penulis : Mayo De Quirino (Mahasiswa