Guru di Jawa Barat Datangi Muridnya yang Tak Punya HP untuk Belajar Online
JABARONLINE.COM | GARUT – Pandemi corona mendorong pemerintah memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring, juga melalui siaran TVRI. Namun, realitanya, tidak semua siswa mampu melakukan PJJ, terutama yang tinggal di daerah terpencil dan belum memiliki gawai, bahkan tidak terjangkau sinyal televisi.
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Ujang Setiawan Firdaus memacu sepeda motornya membelah ladang dan hutan. Tas yang dibawa Ujang penuh berisi kertas-kertas fotokopi buku pelajaran sekolah dasar serta sejumlah masker yang hendak dibagikan ke murid-muridnya.
Ujang adalah seorang guru kelas 5 Sekolah Dasar Negeri 01 Purbayani, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Desa ini berjarak sekitar 100 kilometer dari ibu kota Kabupaten Garut dengan durasi tempuh tiga hingga empat jam. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Di tengah pandemi corona ini, Ujang berinisiatif mendatangi rumah murid-muridnya, walau pemerintah sudah memutuskan untuk memberlakukan pembelajaran jarak jauh secara daring serta melalui siaran TVRI.
Menurutnya, sebagian besar muridnya tidak memiliki gawai. Sementara, pembelajaran melalui TVRI sulit diakses karena sinyal televisi hanya bisa ditangkap menggunakan antena parabola yang harganya cukup mahal.
“Secara daring anak-anak nggak mungkin [melakoni PJJ]). Ada juga (gawai) yang dipunyai orang tuanya sebagian, tapi kan belum semuanya. Ada informasi pembelajaran bisa dilihat di TVRI, tapi di daerah nggak semuanya bisa masuk channel TVRI-nya,” ungkap Ujang.
Ujang mengaku bahwa sebagai wali kelas, dirinya bertanggung jawab menuntaskan pembelajaran bagi puluhan siswanya.
“Di semester dua ini masih tertunda tiga tema pembelajaran lagi,” kata Ujang kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Inisiatif mengajar dari rumah ke rumah
Setiap pagi, pukul 07.00 WIB, Ujang memacu sepeda motornya, bukan ke sekolah tempat ia mengajar, tapi ke rumah murid-muridnya.
Total ada 45 muridnya yang tinggal di enam kampung yang berbeda, yang harus ia kunjungi dalam sepekan. Ujang membaginya dalam enam hari. Satu hari, satu kampung.
Siswa yang berada dalam satu kampung yang sama dikumpulkan di satu rumah salah seorang siswa atau mencari tempat lain yang memungkinkan, untuk belajar bersama. Ini siasat Ujang agar menghemat waktu.
Setiap hari, Ujang menghabiskan waktu hingga lima jam untuk mengajar dari rumah ke rumah ini. Jalan ke rumah-rumah muridnya bisa dilalui sepeda motor dengan jarak terjauh sekitar empat kilometer.
Sesampainya di tempat yang dituju, Ujang selalu menekankan jaga jarak kepada murid-muridnya.
“Saya pembelajarannya tetap jaga jarak. Makanya saya suka di rumah siapa yang kebetulan mencukupi, atau kalau ada rumah kosong atau pun masjid. Lokasinya seperti itu. Misalkan anak ada lima orang, itu bisa diatur posisinya tidak berdekatan,” tutur Ujang.
Awalnya, Ujang harus merogoh kocek sendiri untuk uang membeli bensin dan fotokopi materi pembelajaran.
“Alhamdulillah yang tadinya fotokopi materi, dana operasional, dan sebagainya saya gunakan uang sendiri, [sekarang] karena mungkin pihak sekolah juga tahu sehingga ada penggantian. Kemudian waktu pas munggahan (hari pertama puasa) saya diberi uang bensin untuk pengganti home visit,” ungkap pria 50 tahun ini.
Salah satu materi yang diajarkan Ujang adalah mengenai virus corona. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menginstruksikan sekolah untuk menyampaikan materi tentang corona. Namun sayangnya, contoh dan anjuran penggunaan masker tidak bisa selalu disampaikan karena kelangkaan barang itu di wilayahnya.
“Saya memberi pemahaman anak tentang wabah ini, tapi waktu pembelajaran minggu pertama, jangan untuk anak, misalnya masker, untuk saya sendiri tidak tersedia. Saya juga mau beli pribadi tidak ada,” ujar dia.
Ujang mengaku bersikap realistis mengenai target pembelajaran. Apalagi, sebentar lagi tahun ajaran akan berakhir.
“Nggak mungkin (target pembelajaran) tercapai. Masih ada tiga tema lagi (yang harus diajarkan). Satu tema satu buku. Tidak mungkin diajarkan dengan situasi dan waktu seperti ini. Tapi saya cari mata pelajaran yang materinya belum sama sekali diajarkan.”
Target kurikulum
Inisiatif Ujang mendapat apresiasi dari Kepala Sekolah SD Negeri 01 Purbayani, Asep Setiawan.
“Baik sekali. Jadi beliau berinisiatif untuk door to door mengatasi belajar yang terhambat,” kata Asep yang mengaku telah memberikan fasilitas fotokopi materi pembelajaran dan uang transportasi bagi Ujang.
Meski diakui cara Ujang lebih efektif, tapi menurut Asep, tidak semua guru di sekolahnya melakukan metode yang sama.
Guru yang lain, kata Asep, tetap melakukan tugas mengajar, namun dengan teknik dan cara yang berbeda. Semisal, memberikan tugas kepada muridnya melalui orang tua.
Asep tidak mengkhawatirkan target kurikulum yang gagal dicapai di masa pandemi ini, mengingat cara pembelajaran yang tidak seragam dan penuh keterbatasan.
Ia berpatokan pada kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menghilangkan target kurikulum di masa pandemi Covid 19.
“Kalau sekarang tidak ada target kurikulum. Kalau ada target kurikulum nanti harus semua (sekolah) kan. Menurut mendikbud juga, pembelajaran tidak harus punya target untuk menuntaskan kurikulum, tapi hanya supaya anak berusaha untuk belajar, tapi tidak dibatasi harus tuntas (kurikulum),” ujar Asep.
Pada 24 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengeluarkan surat edaran tentang Pelaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Covid-19.
Dalam surat edaran itu, Nadiem mengeluarkan beberapa poin kebijakan, antara lain pembatalan ujian nasional, kelulusan, dan kenaikan kelas.
Nadiem juga menegaskan agar pihak sekolah tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh.
“Baik ujian sekolah maupun ujian akhir semester dirancang untuk mendorong aktivitas belajar yang bermakna, dan tidak perlu mengukur ketuntasan capaian kurikulum secara menyeluruh,” sebut Nadiem dalam siaran pers di situs Kemendikbud.
Ketua Serikat Guru Indonesia Kabupaten Garut, Apar Rustam Ependi, menyetujui arahan dari Kemendikbud dan dinas pendidikan daerah agar pembelajaran lebih difokuskan pada tema Covid 19.
“Kalau kita mengejar target kurikulum seperti pada umumnya, menurut saya gak akan terkejar dan tidak pas timing-nya,” kata Apar.
Fasilitas tidak merata
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2019, tingkat penetrasi internet di perdesaan rata-rata 51.91%, di perkotaan pun rata-rata 78,08%.
Kepemilikan komputer, yang menjadi media penting untuk pembelajaran, sangat rendah. Di pedesaan sebanyak 9.93%, sedangkan di perkotaan sebanyak 28,43%.
Kemendikbud menyadari pembelajaran tidak akan optimal lantaran fasilitas yang tidak merata.
“Memang tidak semua daerah punya akses smartphone ataupun koneksi internet yang baik. Jadi ini merupakan suatu hal yang menantang. Tetapi kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kerja sama ke depan memastikan sekolah bisa menyelenggarakan pembelajaran daring,” ungkap Nadiem dalam siaran persnya, akhir Maret lalu.
Pemerintah menyiasatinya dengan menyediakan siaran PJJ di TVRI dan RRI, tapi itu pun belum menjangkau sejumlah daerah.
Di Kabupaten Garut, fasilitas komunikasi cukup tersedia di wilayah Garut Utara, tapi tidak di Garut Selatan.
“Kalau di Garut Selatan untuk menangkap sinyal televisi ada yang berbayar. Jadi, banyak sekali kendala yang terjadi untuk pembelajaran jarak jauh ini. Makanya, bisa dipahami ada teman-teman guru yang kemudian melakukan pembelajaran door to door,” kata Ketua Serikat Guru Indonesia Kabupaten Garut, Apar Rustam Ependi.
Sementara itu, Kepala Sekolah SD Negeri 01 Purbayani, Asep Setiawan, bersikap pasrah.
“Situasinya tidak memungkinkan. Kalau mau siaran TVRI ada di Caringin, itu perlu proses, perlu teknologi, tidak bisa mendadak begini. Itu kan pembangunannya berskala besar, jadi tidak bisa mendadak diadakan. Sulit juga minta solusi ke pemerintah kan semuanya juga sedang kesulitan,” ungkap Asep.
sumber : https://news.detik.com/