Inilah Alasan Mengapa Hikmah Harus Didahulukan Daripada Hukuman

Inilah Alasan Mengapa Hikmah Harus Didahulukan Daripada Hukuman

Smallest Font
Largest Font

JABARONLINE.COM – Hukuman atau sanksi bagi sebagian besar orang adalah sesuatu yang tidak disukai, walaupun orang-orang itu telah tahu sejak awal tentang hukuman/sanksi akibat yang diperbuatnya. Pencopet, pencuri, perampok dan pelaku tindak kriminal lainnya pasti tahu bahwa penjara adalah tempat yang akan ditempatinya ketika dia tertangkap dan dijatuhi hukuman.

Tak hanya tindakan kriminal yang merugikan orang lain yang akan diberi sanksi, melainkan perbuatan yang merugikan diri sendiri pun akan disanksi. Menghisap rokok, menyalah gunakan narkoba, meminum khamar adalah perilaku-perilaku merugikan diri sendiri yang akan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hukuman atau sanksi diberlakukan dengan hikmah untuk menjaga harkat dan martabat manusia itu sendiri.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Hukum dan hikmah merupakan dua hal yang saling berkaitan dan saling menjaga. Wikipedia bahasa Indonesia menuliskan pengertian Hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi.

Hukum ialah sesuatu yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia merujuk pada sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan penegakan hukum oleh kelembagaan penegak hukum karena segala kehidupan manusia dibatasi oleh hukum.

Advertisement
Konten berbayar di bawah ini adalah iklan platform MGID. JABARONLINE.COM tidak terkait dengan pembuatan konten ini.
Scroll To Continue with Content

Sementara Hikmah adalah suatu kata yang berasal dari kata “hakama atau kata yang menggunakan huruf ha, kaf serta mim. Yang oleh Ibnu Faris diartikan sebagai “al-mani yang menghalangi, seperti hakam yang menghalangi terjadinya penganiayaan, kendali bagi hewan disebut dengan hakama yang berarti menghalangi hewan tersebut untuk mengarah kepada yang tidak diinginkan atau liar.

Jika kita perhatikan antara kata hukum dan hikmah, maka terlihat keduanya berasal dari akar kata yang sama, yakni “ha-ka-ma”. Keduanya pun berfungsi awal yang sama yakni membatasi perilaku manusia agar tidak masuk atau mengarah kepada perbuatan yang buruk dan tetap dalam perbuatan yang baik. Perkembangan selanjutnya, hukum dan hikmah mengambil pendekatan yang berbeda.

Hukum dibuat/disusun untuk mengantisipasi perilaku buruk dengan menegakan sanksi-sanksi yang disepakati dan hukuman diberlakukan kepada manusia yang melanggarnya. Sementara hikmah berjalan dalam dunia kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, akal pikiran dan pendekatan kemanusiaan. Hukum ditegakan lebih cenderung memberi sanksi terhadap perilaku menyimpang, sementara hikmah berfungsi untuk menelusuri akar masalah penyebab terjadinya penyimpangan perilaku tersebut.

Ada pengalaman seorang teman yang saat ini menjadi pengawas sekolah. Pengalaman itu dia alami ketika masih menjadi guru di satu sekolah. Hampir tiap pagi ada seorang anak yang datang terlambat, awal-awal pak Guru ini masih sabar saat menegur. Namun semakin hari, tensi darahnya semakin naik dan emosi seorang guru muda mulai mendidih. Memang tidak sampai penanganan dengan menggunakan kekerasan fisik, namun omelan dan bentakan serta merta sering keluar dari lisan pa Guru muda ini.

Anehnya, ketika siswa ini ditanya alasan mengapa selalu datang terlambat, jawabannya konsisten yakni bangun kesiangan. Alasan itu dia lontarkan dengan mimik muka yang biasa-biasa saja tanpa ada perlawanan. Sepertinya ada yang kurang dari apa yang dilakukan pak Guru Muda ini ketika mendapati kasus seperti ini. Kekurangannya adalah tidak melakukan penelusuran secara mendalam mengapa anak ini selalu datang terlambat.

Saat itu memang gadget atau handphone belum banyak dimiliki guru apalagi siswa dan orang tua, sehingga komunikasi antar guru dan orang tua hanya bisa terjadi saat bertemu langsung. Untuk bertemu pun perlu tahapan yang lumayan lama, yakni dengan surat pemanggilan orang tua. Surat panggilan dari sekolah tidak selamanya direspon oleh orang tua, baik karena kesibukan atau karena alasan lain.

Saat menceritakan pengalaman itu, bapak Pengawas ini matanya berkaca-kaca. Sepertinya ada rasa sesal dalam dirinya. Memang wajar rasa sesal itu muncul, karena ternyata menurut pengakuannya baru setelah siswanya itu kelas III atau XII, pak guru muda atau yang sekarang menjadi pengawas ini diberi tahu oleh salah satu siswanya tentang alasan temannya yang sering terlambat itu.

Siswa itu bercerita kepada pa guru muda ini bahwa sebenarnya temannya itu setiap hari bangun pukul 02.00 WIB. Dia lakukan seperti itu setiap hari untuk membantu ayahnya berjualan daging ayam di pasar. Untuk berjualan daging ayam itu ternyata prosesnya cukup panjang, mulai dari memotong membersihkan dan membawanya ke pasar. Itu semua dilakukannya bersama ayahnya. Sehingga ketika pagi tiba seringnya dia ketiduran di pasar sehingga terlambat berangkat ke sekolah.

“Kenapa kamu ga kasih tau bapa dari dulu?” itulah pertanyaan yang bapa ini lontarkan kepada siswa pemberi informasi dan siswa yang sering terlambat itu. Sangat menyesal dan akhirnya dia meminta maaf atas sikap-sikap yang sering kasar kepada siswanya. Sungguh ada ibroh (pelajaran) yang bisa dipetik dari peristiwa ini. Sungguh hikmah (kebijaksanaan, pengetahuan, informasi menda-lam) harus didahulukan dari hukuman (sanksi), apalagi bagi seorang pendidik.

Memang kenyataan di lapangan, ketika seseorang mengulang kesalahan apalagi kesalahan yang sama, maka siapapun akan “menghukumi” bahwa orang itu adalah pihak yang salah. Termasuk pendidik yang mendapati anak didiknya selalu kesiangan/terlambat, maka pikiran guru sudah kadung negatif dan menghukumi siswanya adalah pelanggan kasus.

Siapapun kita, apalagi seorang pendidik maka sabar dan menahan emosi merupakan kunci kebijaksanaan dan pintu kebajikan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali ‘Imran:134).

Kita bisa menyaksikan bagaimana orang yang sedang meluap-luap amarahnya menjadikan dia tidak terkendali gerakan tubuhnya dan tidak terkontrol kata-kata yang keluar dari lisannya. Sehingga apa yang dia jatuhkan kepada orang lain bukan berdasarkan hukum yang mengandung hikmah, melainkan hukum yang penuh amarah.

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS al-Maaidah:8).

Jikapun seseorang harus menjatuhkan hukuman terhadap orang yang terbukti bersalah, maka hukuman itu adalah hukuman yang adil dan bijaksana. Begitu pun guru, jika dia menjatuhkan sanksi kepada siswanya yang terbukti bersalah, maka sanksi itu adalah sanksi yang adil dan bijaksana.

Wallahu a’lam.***

Penulis: H Topik
(Kepala SMAN 1 Leuwiliang Kab. Bogor)

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Redaksi Author