Inspektorat Indramayu Diminta Periksa Pengelolaan Dana BUMDesa Panyindangan Kulon yang Kurang Transfaran
INDRAMAYU | JABARONLINE.COM – Dengan adanya pengelolaan Dana BUMDes di Desa Panyindangan Kulon Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu Jawabarat, tahun anggaran 2016-2018 sebesar Rp.185 juta yang dinilai tidak transparan pada masyarakat, Inspektorat Indramayu yang bertugas sebagai pengawas penyelenggara pemerintahan daerah harus memeriksa secara tuntas terkait pengelolaan BUMDes tersebut, jangan sampai aset desa itu raib tanpa pertanggungjawaban oleh pihak terkait.
Dana BUMDes di Desa Panyindangan Kulon tahun anggaran 2016-2018 yang dikelola dalam bentuk Koprasi simpan pinjam tersebut diyakini tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Pasalnya, pinjaman modal yang hanya dipinjamkan kepada orang-orang tertentu tersebut, sampai saat ini pertanggungjawaban dalam hal pengembaliannya masih belum jelas. Hal tersebut harus dilakukan pemeriksaan oleh instansi terkait seperti halnya Inspektorat.
Sementara itu, Sekretaris Desa (Sekdes) Panyindangan Kulon, Wirnanto saat Jabaronline.com meminta waktu untuk bertemu dan dimintai tanggapan terkait pengelolaan BUMDes yang tidak transparan dan dikeluhkan masyarakat belum ada waktu untuk bertemu dengan dalih sibuk, dan hanya pesan singkat melalui aplikasi whatsappnya saja Ia menulis “Gak tau sibuk terus, ada pengurusnya sendiri kan?,” tulis Singkat Wirnanto kepada Jabaronline.com, pada Selasa (16/03/2021).
Camat Sindang , H. Ali Sukma saat ditemui Jabaronline.com dikantornya pada Selasa (16/03/2021), beliau belum bisa berkomentar banyak terkait persoalan transparansi pengelolaan dana BUMDes di Desa Panyindangan Kulon. “Saya belum bisa berkomentar, itu kewenangan desa,” ucap H. Ali Sukma dengan singkat.
Baca Juga : Tangis Haru Warnai Kedatangan 29 ODGJ Asal Garut, Usai Direhabilitasi Di RSJ Bogor
Menurut salah seorang Aktivis Kabupaten Indramayu Oushj Dialambaqa alias Oo, apa yang terjadi di Desa Panyindangan Kulon tentang BUMDes, itu juga terjadi pada semua BUMDes. Ganti Kades ganti juga semua pelaksana operasional bahkan Pengawasnya pun ganti. Hal itu lantas Bupati beserta jajaran dan OPD yang terkait melakukan pembiaran hingga sekarang ini. Bupati Nina – Lucky pun sekarang bisa dipastikan tidak akan peduli dengan BUMDes. Artinya, sebatas retorika politis saja karena tidak memahami problematika dan akar masalah yang terjadi pada semua BUMDes yg ada.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin BUMDes bisa berjalan sebagaimana yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, dimana BUMDes sebagai kekuatan fondamental perekenomian masyarakat desa. Mulai dari Kepala Desa, BPD, Penasehat, Pelaksana Operasional dan Pengawas BUMDes tidak mengerti UU beserta turunannya yaitu UU No. 6 Tahun 2014, PP No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan Permendes PDTT No. 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran BUMDes, dan bahkan yang jadi masalah semuanya tidak mau tahu. Itu yang repot. Sudah tidak mengerti, tidak mau tahu dan tidak mau ingin tahu.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana mungkin BUMDes mau dan atau bisa waras, karena semua Kades sekarang ini korupsi sedangkan posisi Kadis dalam Permendes itu adalah ex offisio dalam BUMDes yaitu sebagai Penasehat. Jadi logika dan akal warasnya jungbalik. Maka ketika ada masyarakat desanya nanya apa itu BUMDes dan apa yang dilakukan BUMDes, pasti tidak terjawab apalagi warganya menuntut transparansi soal kegiatan usahanya seperti yang terjadi di Panyindangan Kulon soal pemberian pinjaman oleh BUMDes karena kok ada yang dapat pinjaman tapi ada juga yang tidak bisa mengajukan pinjaman bahkan warganya tidak tahu bahwa BUMDesnya bergerak dibidang keuangan atau simpan pinjam.
Dalam pasal 23 ayat 3 huruf (c) dikatakan, memberikan laporan perkembangan unit-unit usaha BUMDes kepada masyarakat desa melalui Musyawarah Desa sekurang-kurangnya 2 kali dalam 1 tahun. Yang terjadi, masyarakat desanya sendiri tidak pernah tahu dan tak pernah diinformasikan. Seharusnya laporan keuangan BUMDes pun bisa diakses masyarakatnya secara terbuka seperti yang dimaksud dengan transparansi dan akuntabilitas publik. Ternyata tertutup tapi itu juga tidak aneh, wong BUMD saja dan Pemda saja yang namanya APBD dan Laporan Keuangan BUMD tidak bisa diakses publik. Jadi bagaimana mungkin juga Bupati, Inspektorat dan SKPD terkait dan Dewan mau menggurui Desa dan BUMDesnya. Wong Guru kencing berlari-lari ya murid berak sambil berlari-larian, Itu yg terjadi.
Problem BUMDes lainnya adalah soal masa waktu jabatan dan soal sistem penggajian pengurus BUMDes. Dalam Permendes pasal 26 dikatakan sistem pembaruan hasil usaha berdasarkan AD/ART begitu juga masa bakti (pasal 15 ayat 5) dan soal penggajian. Acuan dan atau standarisasinya pakai apa? Pakai BUMD kah dimana gaji atau penghasilan pelaksana operasional sama dengan Dirut Perumdam sebesar Rp.25 jutaan atau sama dengan gaji Bupatinya? Begitu juga masa jabatan atau masa bakti mau mengacu apa dalam AD/ART nya semuanya tak jelas.
Problem standarisasi tersebut perlu adanya payung hukum dari turunan dimuka tadi yaitu dibuatkan Perda yang mengatur masa bakti kepengurusan dan pengelolaan BUMDes termasuk soal sistem penggajian dan pembagian hasil usaha BUMDes untuk PADesnya. Hal itu sebenarnya sudah puluhan kali PKSPD memberikan masukan kepada Bupati dan Dewan bahkan puluhan kali pula PKSPD kritik tapi semua membisu dan tuli. Entah apakah sekarang sudah dibuat belum Perdanya karena produk legislasi juga tidak bisa diakses publik.
Jadi sekali lagi, amat naif jika BUMDes waras dan masyarakat bisa ambil bagian, kecuali yang bisa kongkalikong dengan Kades, BPD, dan BUMDes adalah milik Kades. Itu fakta dan realitanya dan dilakukan pembiaran oleh Eksekutif maupun Legislatifnya,” tutur Oushj Dialambaqa atau Oo.
Reporter : Moh. Sanaji/Roni