Kawasan Ekowisata Pantai Mekar Yang Kian Terendam
BEKASI | JABARONLINE.COM – Journal of Marine Research (2021) mengungkapkan bahwa penanaman mangrove di Desa Pantai Mekar, Muara Gembong, Bekasi semakin meluas. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alin Maulani dkk, yang mengamati perubahan lahan mangrove di Kecamatan Muara Gembong, Bekasi. Hasilnya mengungkapkan bahwa luasan lahan mangrove telah mengalami pertambahan 66% dari tahun 2009 hingga 2019. Penambahan area mangrove di Desa Pantai Mekar disinyalir karena telah menjadi kawasan ekowisata.
Ecotourism Mangrove Forest Bloom dibuka pada 2018 lalu. Warga Desa Pantai Mekar sejenak meraih asa saat desanya ditetapkan sebagai kawasan ekowisata. Warga pun mulai mengais penghasilan tambahan berkat kunjungan wisatawan. Namun pada tahun 2020, kawasan hasil kerja sama Perhutani dan PT. Pertamina EP Asset Tambun Field ini sudah tidak beroperasi. Penutupan kawasan ini tidak semata-mata muncul karena Covid-19, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan wisatawan urung mengunjunginya.
Secara umum, objek wisata ini menawarkan pemandangan indah hutan mangrove. Untuk menjelajahinya, dibuatlah trek menuju bagian dalam hutan. Ironisnya, trek berupa jembatan bambu ini sudah banyak berlubang sehingga membahayakan pengunjung. Selain itu, pemandangan pantai dinilai tidak eksotis, berserakan sampah dan terkesan kumuh. Jalanan menuju kawasan pun agak menyulitkan, hanya cukup untuk satu kendaran roda empat dengan tantangan sebelah kanan kiri langsung laut. Belum lagi masalah makanan higienis dan lainnya.
Faktor utama yang dirasa penting bagi wisatawan adalah keamanan dan kenyamanan. Desa Pantai Mekar selalu menghadapi banjir rob yang tidak menentu. Hal ini juga dialami 4 desa lainnya yang mengalami nasib serupa. Jaringan satelit komunikasi di desa ini juga sering mengalami gangguan bahkan terkadang no signal.
Dilema Warga Pantai Mekar
Warga Pantai Mekar menghadapi banjir rob sudah bertahun-tahun mengakibatkan fasilitas publik seperti masjid tidak layak. Warga akhirnya beribadah di rumah masing-masing. Ibadah jum’at yang semestinya dilakukan setiap pekan, urung dilakukan.
Perkara jaringan komunikasi pun amat sulit. Pada saat Covid-19 seperti ini, sekolah mengandalkan pembelajaran jarak jauh dengan kekuatan internet. Sayangnya jaringan telekomunikasi disana kurang baik. Banyak dari anak-anak yang tidak mengikuti kelas walaupun tetap mengerjakan tugas sesuai arahan guru.
Tingkat putus sekolah masyarakat cukup tinggi. Jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh dan menyulitkan. Sekolah Dasar terdekat sering terendam sehingga memaksa mereka libur sekolah. Selama perjalanan ke seolah mereka harus menerjang banjir jika sedang meninggi. Libur yang berulang-ulang mengakibatkan anak-anak memperoleh pelajaran yang kurang memadai. Perjuangan mereka hingga berhasil lulus SMA merupakan pencapaian yang tinggi karena tidak terpikir untuk menempuh studi tingkat tinggi. Meskipun begitu harapan masih terpancar di mata anak-anak Pantai Mekar.
Berkaca Pada Marunda
Permasalahan desa ini bukan hanya perkara ekonomi, akan tetapi juga pendidikan, ibadah, kelayakan tempat tinggal dan kesehatan. Dapat dikatakan masalah yang dihadapi warga Pantai Mekar sangat kompleks dan beragam. Rasanya jika hanya strategi pemerintah adalah memperluas hutan mangrove saja, hal itu tetap tidak berdampak banyak. Banjir rob tetap menjadi ancaman.
Marunda memulai dengat Great Sea Wall yang juga berdampak kurang efektif, hingga akhirnya pemerintah membangun rusun Marunda dengan biaya sewa yang terjangkau sehingga dapat diisi oleh warga yang terdampak abrasi pantai. Akhirnya masyarakat dapat di relokasi dari rumah ke rusun Marunda. Kini mereka dapat menikmati hunian yang lebih layak, dpat beribadah di masjid dengan tenang dan mengenyam sekolah dengan nyaman.
Memang perkara relokasi bukanlah hal mudah, terkait biaya dan juga budaya. Anggaran Pemkab Bekasi pastinya berbeda dengan Pemerintah DKI Jakarta sehingga pembangunan rusun belum menjadi wacana alternatif. Selain itu factor budaya, warga Pantai Mekar atau masyarakat Muara Gembong pada umumnya bukan tinggal di sebelah perkotaan layaknya Marunda, perlu komunikasi persuasif dan intensif apabila wacana relokasi begulir. Namun jika tidak digulirkan dari sekarang, kapan lagi masyarakat dapat menikmati wisata hutan mangrove di kawasan ini?
Wallahua’lam bishowab
Penulis : Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom
(Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)