Kembangkan Desa Wisata, Prawita GENPPARI Kunjungi Beberapa Desa di Tasikmalaya

Kembangkan Desa Wisata, Prawita GENPPARI Kunjungi Beberapa Desa di Tasikmalaya

Smallest Font
Largest Font

TASIKMALAYA | JABARONLINE.COM – Agresivitas pengabdian Prawita GENPPARI dalam memajukan pariwisata Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Dedikasi dan loyalitasnya selama ini, diberikan sebagai wujud nyata sebuah kecintaan dan pengabdian bagi bangsa dan negara melalui jalur kepariwisataan. Komitmen ini bukan sekadar “wacana” saja, tetapi secara riil (nyata), dan sungguh-sungguh terus dilakukan.

Ketua Umum Prawita GENPPARI (Gerakan Nasional Pecinta Pariwisata Indonesia) mengatakan, kegiatan Prawita GENPPARI telah melahirkan desa-desa wisata di tanah air ini, juga merawatnya dengan baik.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

“Prawita Genppari turut membidani kelahiran desa-desa wisata di tanah air tercinta ini. Tidak hanya sekadar membantu kelahiran, tapi juga turut membesarkan dan mendampingi dengan penuh kasih sayang sampai tumbuh dan berkembang. Sehingga, benar-benar bisa menjadi desa mandiri dan masyarakatnya sejahtera,” ujar Ketua Umum Prawita GENPPARI, Dede Farhan Aulawi yang ditemui di sela-sela kesibukannya di Jakarta, Senin (24/8/2020).

Hal tersebut dia sampaikan karena sebelumnya telah mengunjungi beberapa desa, untuk mewujudkan dan mengembangkan desa wisata. Seperti di Cihanjuang – Pagerageung, Legok Awi- Sodong hilir, dan Bojong kapol – Bojong Gambir. Semua berada di wilayah kabupaten Tasikmalaya, suatu kawasan dengan sejuta wisata.

Advertisement
Konten berbayar di bawah ini adalah iklan platform MGID. JABARONLINE.COM tidak terkait dengan pembuatan konten ini.
Scroll To Continue with Content

“Kalau berwisata seminggu di Tasik, tentu tidak cukup untuk meng-eksplor (menjelajah) semua potensi wisata nya. Kabupaten Tasikmalaya, bisa menjadi magnet dan pusat gravitasi pariwisata di Indonesia,” ujar Dede.

Kemudian Dede juga memberi penjelasan dengan merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Perencanaan daerah itu sebaiknya di tempuh secara partisipatif dan berasal dari bawah (bottom up planning) yaitu bermula dari desa.

Untuk menjadi sebuah desa wisata, kriterianya harus memiliki akses yang baik, memiliki objek-objek alam, seni budaya, legenda, makanan lokal, dan sebagainya. Juga tentunya partisipasi dan dukungan yang tinggi dari masyarakat serta aparat desa. Diperlukan juga kontrol keamanan desa yang baik, akomodasi, telekomunikasi, serta tenaga kerja yang memadai. Ditambah lagi iklim yang sejuk, dan berhubungan dengan objek wisata yang lain.

Dari sekian banyak kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi dalam mewujudkan desa wisata, pemenuhan “aksesibilitas” biasanya dianggap cukup dominan, yang dihubungkan dengan kekuarangan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dermaga atau bandara. Padahal dalam praktiknya, wisatawan datang dari suatu tempat ke tempat lain itu untuk mencari sesuatu yang tidak ada di tempat asalnya.

Selanjutnya, Dede juga menambahkan bahwa teori pelaksanaan perencanaan pembangunan desa wisata melalui pendekatan bottom up planning di Desa, dimulai dari bawah dalam rapat koordinasi pembangunan daerah yang akan diusulkan pada tingkat yang lebih tinggi dimulai dari Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) Desa, Musrenbang Kecamatan, Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan) Kota, dan Rakorbang Provinsi.

Pelaksanaan perencanaan pembangunan Desa Wisata biasanya terdiri dari 6 tahap sesuai dengan teori Blakely, yaitu pertama, pengumpulan dan analisis data. Kedua, pemilihan strategi pembangunan, seperti menentukan tujuan dari pembangunan desa wisata. Ketiga, pemilihan proyek-proyek pembangunan. Keempat, pembuatan rencana tindakan, kelima, penentuan rincian proyek, terakhir, persiapan rencana secara keseluruhan. Kemudian, perencana telah menyusun perencanaan secara keseluruhan melalui DED (Detail Engineering Design).

Bagi daerah-daerah yang kebetulan memiliki banyak jenis keragaman sumber daya alamnya, tentu menjadi keuntungan tersendiri, selama bisa mengolahnya dengan baik. Apalagi jika di lingkungannya masih menjaga kearifan lokal, seni, budaya daerah, dan memiliki ciri khas, tentu akan semakin unggul.

“Sementara terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat, cara yang paling mudah adalah dengan pengukuran 7 variabel pokok yang disebut dengan Sapta Pesona, yaitu Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramah-tamahan, dan Kenangan. Dari 7 variabel di atas, pada umumnya masalah- masalah yang terkait dengan ketertiban masyarakat dan kebersihan lingkungan selalu menjadi PR dan pekerjaan besar aparatur pemerintahan setempat,” jelas Dede.

Terakhir Dede mengatakan, persoalan lain datang dari kebersihan dan keindahan yang kadangkala menjadi permasalahan karena diganggu oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab yang merusak lingkungan. Begitupun dengan keramah-tamahan yang harus dibangun oleh seluruh lapisan masyarakat, dan bukan hanya pada pemandu wisata serta pedagang saja. Hal ini agar para wisatawan merasa aman dan nyaman saat berkunjung ke objek wisata tersebut.

Dita Sekar Sari 21

Editors Team
Daisy Floren