Kementerian Makin Banyak, Apakah Solusi Untuk Rakyat?
JABARONLINE.COM - Pemerintah era presiden Prabowo Subianto kelak dikabarkan akan menambah Kementerian atau lembaga menjadi 44 dari yang saat ini hanya 34. Hal itu dibocorkan oleh ketua MPR RI sekaligus politikus senior Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet).
Bocoran ini didengar oleh Bamsoet melalui obrolan "Warung Kopi" yang disampaikan saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan turnamen bulutangkis DPR dan MPR di GOR Kompleks parlemen, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia pun berharap para legislator mendapat kesempatan menduduki kursi menteri atau memperoleh pengalaman baru dan berbeda karena nanti, dari 34 menjadi 44. "Ya, mudah-mudahan kawan-kawan kita di DPR berkesempatan menjadi eksekutif. Sehingga bisa merasakan di masing-masing oleh kolega sendiri kata dia." (CNBC Indonesia)
Usaha ini tambah menguat setelah DPR, pada akhir masa kerjanya secepat kilat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan perubahan atas UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang.
Dalam UU ini ketentuan batas maksimal jumlah Kementerian yang sebelumnya 34 pos dihapus dan diganti menjadi sesuai dengan kebutuhan presiden. Ditengarai, UU ini disahkan demi mengakomodir kebutuhan pemerintah dan Prabowo-Gibran dengan koalisinya yang sangat besar alias overcoalition.
Hal ini terkait dengan mahalnya ongkos meraih kekuasaan yang membuat praktik politik menjadi sangat transaksional. Dimana suara dukungan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Visi dan misi perjuangan partai pun mudah mencair sesuai kepentingan.
Dalam sistem politik sekarang, tegaknya kekuasaan sudah lazim ditopang oleh kekuasaan koalisi partai yang terbentuk karena berbagai pertimbangan.
Seperti dari sisi pemegang kekuasaan, koalisi dibutuhkan untuk meraih kekuatan politik mutlak yang lebih besar dan mendapatkan dukungan yang lebih luas.
Sementara bagi dukungan terhadap pemegang kekuasaan dianggap sebagai investasi yang menguntungkan, karena posisinya seperti utang yang harus dibayar.
Bukan hanya bahwa yang secara ideologis ada irisan bahkan yang selama ini dikenal berseberangan semisal PKS pun ternyata tidak mau ketinggalan. Hasilnya kekuasaan yang tegak sekarang, nyaris tanpa oposisi yang bertindak sebagai penyeimbang.
Maka dari itu pihak pemerintah sedang menyusun komposisi menteri ini sebelum pelantikan pada 20 November . Mereka menyebutnya sebagai "Kabinet Zaken " yakni kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli atau profesional dan bukan representasi dari parpol. Tetapi model "Kabinet Zaken" merupakan ilusi dan hampir mustahil dipakai dalam koalisi yang over kapasitas. Bagaimanapun pemerintah yang terbangun dalam habitat politik yang memberi dukungan. Artinya meski para menteri atau pejabat ini benar-benar dipilih karena keahlian dan bukan orang partai, akan tetapi pasti dicurigai mereka adalah orang-orang yang direkomendasikan oleh parpol.
Secara teori, model kabinet zaken dipandang sebagai model yang ideal. Penggunaan model ini bahkan disebut-sebut akan menjadi kerja kementerian yang gemuk yang justru bisa lebih efektif karena ada fokus kerja yang tersentral, tetapi tetap saja yang menjadi tujuan adalah memenuhi syarat kekuasaan yang dengannya jalan-jalan materi menjadi terbuka lebar, bukan karena niatnya parpol tersebut tulus ikhlas lillahi ta'ala.
Jabatan yang diberikan terbukti menjadi alat parpol dan untuk menarik keuntungan. Jembatan Jawa dan strategis dan non strategis di bawah Kementerian, menjadi ajang pemetaan potensi kader partai, baik di level pusat maupun di level daerah. Sampai-sampai sebaran manfaat kebijakan pun ditentukan berdasarkan itung-itungan politik kepentingan.
Seharusnya masyarakat belajar bahwa berharap perubahan dengan mempertahankan sistem sekuler demokrasi liberal hanya akan berujung kekecewaan. Kerusakan bukan hanya pada individu kepemimpinan,tetapi lebih pada sistem aturan yang diterapkan.
Satu-satunya obat bagi kerusakan adalah mengembalikan kehidupan Islam dengan menegakkan aturan Allah dalam sistem Islam dengan menegakkan aturan Allah.
Di mana landasan aqidah yang menjadi pondasi tegaknya negara dan kepemimpinan akan menjadi faktor utama yang menjamin berjalannya fungsi kekuasaan dan partai politik sebagai oposisi semata.
Dimana fungsi partai politik dalam sistem Islam terdapat 5 (lima) bagian yaitu:
1. Membina Kader, dalam sistem Islam kader-kader dibina menjadi individu yang berkepribadian Islam (Syaksiyah Islam) yang hanya patuh pada perintah Allah SWT semata.
2. Edukasi Publik, partai politik Islam harus mencerdaskan umat yang memberi pencerahan pada umat bahwa sebagai umat, kita harus tunduk patuh pada hukum syara yang Allah turunkan
3. Fungsi Aspirasi, partai politik Islam harus, memegang aspirasi rakyat selama tidak bertentangan dengan hukum syariat karena dalam Islam posisi rakyat adalah Tuhan dan imam/khalifah (kepala negara) sebagai pelayan umat (Ra'in) sekaligus perisai (junnah) setiap rakyatnya.
4. Fungsi Koreksi, parpol harus mengamati kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat harus Amar ma'ruf nahi mungkar supaya tidak lahir kebijakan yang merugikan rakyat seperti misalnya lahir omnibuslaw yang jelas-jelas berpihak pada oligarki.
5. Fungsi Agregasi, kehendak rakyat harus dirumuskan oleh partai mana yang layak untuk di aspirasikan mana yang tidak. Bukan fungsi legislasi di mana dalam sistem Islam legislasi tidak ada, karena perkara legislasi cukup di ijtihad saja oleh para ulama yang berkompeten yang digali dari hukum syara.
Dalam Islam, imam/khalifah(kepala negara) boleh mengangkat para pembantunya sesuai kebutuhan, apakah untuk melaksanakan fungsi kekuasaan, seperti kepala daerah (Wali atau Amil), fungsi keamanan atau militer seperti Amirul Jihad fungsi peradilan seperti para hakim Qadi, fungsi administrasi, para duta, pengurus Baitul Mal, kepala Departemen, kemediaan, dll.
Para pejabat pembantunya akan dipilih dengan syarat ketat dengan prinsip "Menyerahkan amanah pada ahlinya" dengan tugasnya yang berdimensi akhirat yang jauh dari makna duniawi apalagi material.
Pintu-pintu Amar ma'ruf nahi mungkar terbuka lebar, baik dilakukan oleh warga negara secara individual maupun oleh jemaah atau parpol yang akan mempersempit peluang penyimpangan.
Ditambah dalam sistem Islam ada mahkamah mazalim yang memiliki kewenangan untuk memecat khalifah Jika ia sudah melenceng dari hukum cara dan atau kehilangan satu dari tujuh syarat in'iqad yang harus ada padanya.
Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna. Jadi, sampai kapan kita menutup mata dari solusi Islam yang demikian menjanjikan!
Penulis : Ratu Hani