KPK Tetapkan Catur Prabowo Sebagai Tersangka Gratifikasi
JAKARTA | JABARONLINE.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar Konfrensi Pers digedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan pada hari Rabu,(17/05/2023) pukul 17.15 WIB terkait kasus pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Direktur Utama PT Amarta Karya (Pesero), Catur Prabowo dalam kasus korupsi pengadaan subkontraktor fiktif tahun 2018-2020. Proyek fiktif itu diduga merugikan negara miliaran rupiah.
Wakil Ketua KPK, Alexander Mawarta mengatakan kasus ini berawal pada saat direktur Catur Prabowo memerintahkan Direktur Keuangan PT Amarta Karya bernama Trisna Sutisna untuk menyiapkan uang bagi kebutuhan pribadinya.
Uang tersebut diambil dari pembayaran proyek dari PT Amarta Karya (Pesero) yang ia gadakan pada sejumlah Perusahaan BUMN lainnya dengan alasan pada pembangunan proyek.
Namun, uang tersebut hanya sebagai pencucian gratifikasi saja dan masuk kerekening pribadi Catur.
“Tersangka TS bersama dengan beberapa staf di PT AK Persero kemudian mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV yang digunakan menerima pembayaran subkontraktor dari PT Atma Karya (Persero) tanpa melakukan pekerjaan subkontraktor yang sebenarnya,” kata Alexander di KPK, Jakarta Selatan, Rabu (17/05/2023).
Persekongkolan tersebut dibuat oleh Cantur dengan bentuk CV fiktif belaka pada tahun 2018. CV itu digunakan untuk menerima pembayaran dari kegiatan PT Amarta Karya.
“Hal ini sepenuhnya atas sepengetahuan tersangka CP dan tersangka TS,” ujar Alex kepada media.
Dalam pantauan Jabaronline.com melalui konfrensi pers tersebut Alexander menuturkan bahwa tim penyidik menemukan ada 60 proyek fiktif yang dikerjakan oleh PT Amarta Karya. Uang dari pembayaran proyek fiktif itu lalu dana tersebut digunakan Catur Prabowo dan Trisna Sutisna untuk kepentingan pribadi belaka.
Kasus ini bermula saat Catur dan Trisna diangkat sebagai Dirut dan Dirkeu PT Amarta Karya (Pesero) berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN bulan Oktober 2020.
Namun, rencana itu sudah di susun oleh Catur dan meminta Trisna untuk menduduki posisi pejabatan Akuntansi dalam perusahaan untuk mepersiapkan dana yang akan diambil olehnya yang berupa uang proyek yang dikerjakan oleh PT Amarta Karya.
Atas perintah Catur, Trisna bersama beberapa staf perusahaan kemudian mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV yang digunakan untuk menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan subkontraktor yang sebenarnya alias fiktif.
Selanjutnya pada tahun 2018 Cv fiktif tersebut bergerak sebagai vendor yang akan menerima transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Hal itu sepenuhnya atas sepengetahuan Catur dan Trisna. Dan dalam terbentuknya vendor tersebut Catur selalu selalu memberikan posisi untuk melanjutkan aksi itu lebih dalam dengan surat persetujuan dari Trsina.
KPK menduga ada 60 proyek pengandaan dari perusahaan BUMN ini yang disubkontraktorkan secara fiktif oleh Catur dan Trisna.
Tiga diantaranya yakni proyeksi pekerjaan konstruksi pembangunan rumah susun pulo jahe, Jakarta Timur, pengadaan jasa konstruksi pembangunan gedung olahraga Univesitas Negeri Jakarta dan pembangunan laboratorium Bio Safety Level 3 Universitas Padjajaran.
“Akibat perbuatan kedua tersangka tersebut, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp46 miliar,” ujarnya.
Atas perbuatannya, Catur dan Trisna disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.***