Menimbang Diskursus Bahasa Kampanye Pasangan Capres

Menimbang Diskursus Bahasa Kampanye Pasangan Capres

Smallest Font
Largest Font

Menimbang Diskursus Bahasa Kampanye Pasangan Capres

Pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019 tinggal sekitar 3 bulan lagi. Tim sukses masing-masing pasangan saling berkompetisi meraih simpati, atensi dan tendensi pilihan kepada pasangan capres-cawapres. Penggunaan slogan, jargon, yel-yel dan juga tagar di media sosial semakin semarak dan trending digunakan. Bahasa verbal dan non-verbal dengan pilihan diksi yang memikat dan juga mudah diingat terus diolah sedemikan rupa. Calon presiden petahana asyik dengan mengkampanyekan keberhasilan-keberhasilan pembangunan fisik dan non-fisik kepada publik dan sebaliknya calon presiden baru juga gencar dengan janji-janji perbaikan masa depan dan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Tulisan singkat tidak bermaksud mengkaji secara politis namun lebih menggunakan pisau analisa dengan menggunakan topik bahasa dan politik yang bertujuan mengeksplorasi dinamika penggunaan pilihan bahasa yang digunakan oleh pasangan capres-cawapres.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Bahasa dan Politik
Nunn (2016) dalam harian The Guardian.com menggarisbawahi pernyatan Trump “I’m very highly educated. I know words. I have the best words.”, sebagai ungkapan retorika linguistik, provokatif dan emosional Donal Trump yang membawanya menang sebagai presiden terpilih Amerika Serikat pada pilpres 2016 lalu. Sepintas memang pilihan kata tersebut mengkesankan arogansi dan percaya diri yang berlebihan. Namun itulah faktanya bahwa Trump berdasarkan analisa para pakar telah berhasil menggunakan bahasa kampanye yang bersifat retoris, twist dan juga leksikal yang dapat memprovokasi publik untuk lebih melakukan rethinking tentang Mimpi Amerika (American Dreams).
Manifestasi penggunaan bahasa dalam dunia politik sangat berpengaruh. Kesalahan verbal dalam mengkomunikasikan sebuah pesan tanpa secara cermat memperhatikan tempat, audiens dan juga konteks terkini akan sangat berdampak kepada simpati atau antipasti publik. Pemilihan diksi yang disampaikan kepada publik yang kurang tepat akan menimbulkan kontroversi terlebih pada masa dimana pesan-pesan media sosial dengan begitu mudah “ menggoreng dan memviralkan” potongan sebuah pernyataan verbal pasangan capres tertentu. Beberapa kata atau diksi yang sempat ramai diperbincangkan seperti sontoloyo, tampang Boyolali, genderuwo, dan diksi lainnya menimbulkan diskursus publik yang cukup kontroversial dan bahkan dibawa ke ranah hukum berupa laporan ke pihak kepolisian walaupun akhirnya tidak sampai dijatuhkan hukuman kepada capres tertentu.
Pietrus (2016) secara tegas menjelaskan bahwa semakin mudahnya akses informasi yang masif, membuat pertimbangan penggunaan bahasa menjadi salah satu pertimbangan publik dalam menjatuhkan pilihan politiknya dalam pemilu. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa politik dalam makna yang lebih sempit pilpres adalah terkait menjatuhkan sebuah pilihan (vote) terhadap pasangan capres-cawapres yang memiliki persamaan emosional dan rasional dengan pemilih, oleh karena itu permainan bahasa verbal maupun non-verbal akan semakin sengit dilakukan dalam kontestasi masa kampanye pilpres. Meminjam konsep Bourdieu (1990) disinilah perebutan kekuasaan akan menggunakan hal-hal simbolis, sosial dan kultur dimana bahasa salah satunya merainkan peranan penting. Pemilihan simbol akan lebih mempertimbangkan semangat, nasib, dan harapan yang sama antara publik dengan pasangan capres-cawapres tertentu.

Bahasa Petahana dan Penantang
Kontestasi di pilpres yang menghadapkan Jokowi sebagai incumbent dengan Prabowo sebagai lawan di pilpres juga akan berefek kepada penggunaan bahasa yang digunakan dalam mengkampanyekan profil keunggulan masing-masing. Jokowi sebagai petahana atau incumbent akan dengan gencar mengkampanyekan kontinutitas dan progress selama periode kepemimpinannya selama lima tahun 2014-2019. Sementara Prabowo akan lebih banyak menggunakan bahasa yang bersifat perubahan (change), harapan baru (hope) dan juga kondisi jomplang (gap) antara janji kampanye Jokowi dengan realitas yang ada dan disinilah pertarungan diskursus bermain. Menurut Crystal (1992) diskursus verbal atau pernyataan lisan langsung tersebut akan digunakan masing-masing pasangan capres lebih dari sekedar kalimat biasa tapi lebih jauh dari itu akan membentuk sebuah unit ujaran yang dapat bersifat persuasif dalam bentuk pidato, argumen, guyonan atau narasi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Jokowi dan Prabowo cukup sering melakukan psywar melalui pernyataan masing-masing baik di publik atau ranah terbatas dalam sebuah kampanye.

Advertisement
Konten berbayar di bawah ini adalah iklan platform MGID. JABARONLINE.COM tidak terkait dengan pembuatan konten ini.
Scroll To Continue with Content

Membaca Bahasa Verbal dalam Debat
Salah satu forum verbal untuk menguji sejauh mana kedalaman pandangan, visi, misi, orientasi dan juga kecakapan diplomasi kata adalah debat. Disinilah para pasangan capres diuji kelihaian berbahasanya untuk memilih, mengolah dan menyampaikan pikirannya (insight). Publik akan dengan mudah melihat dan menganalisa bahasa verbal, gaya komunikasi, emosi, retorika dan juga metafora para capres dalam beradu diskursus. Walaupun KPU sempat berencana debat diisi oleh tim sukses pasangan capres-cawapres, namun setelah banyak penolakan maka akhirnya disepakati bahwa debat diikuti langsung oleh pasangan capres-cawapres.
Debat tentu saja bukan merupakan satu-satunya parameter yang dapat mengangkat elektabilitas, namun juga cukup signifikan untuk dapat merubah pandangan pemilih mengambang (swing voters) tinggal bagaimana para capres dapat meyakinkan publik dengan visi misi mereka yang jelas, realistis dan tentunya dapat menjadikan sebuah perubahan yang lebih baik bagi Indonesia ke depan. Tentunya banyak parameter atau strategi yang harus dimainkan oleh para pasangan capres-cawapres, tim sukses dan simpatisannya. Namun bagaimanapun penggunaan bahasa harus betul-betul dikemas dengan apik, simpatik dan meyakinkan publik. Walaupun dalam realitasnya penggunaan bahasa yang beraneka ragam yang bersifat persuasif, sinisme, satire, guyonan, atau bahkan bersifat saling menyerang masih ada.
Jokowi sebagai incumbent tentunya akan dengan masif menggunakan bahasa-bahasa yang bersifat success claim seperti melanjutkan keberhasilan dan dengan mudah display simbol-simbol semiotik progress pembangunan selama lima tahun sedangkan Prabowo harus struggle dengan isu perubahan yang lebih baik (change) dan bahasa persuasif berupa quantum progress seandainya terpilih sebagai presiden nanti. Dalam konteks yang berbeda media sosial juga dapat dengan mudah merubah orientasi dan tendensi pilihan publik dalam pilpres. Disinilah pertarungan diskursus, bahasa, politik dan bahkan identitas bermain. Tentu kita berharap pertarungan kognitif tersebut tidak menimbulkan chaos sosial atau benturan fisik yang sesungguhnya dalam dunia nyata, cukuplah pertarungan bahasa saja yang sengit, bukan fisik.

Penulis : Rudi Haryono
*Kandidat Doktor Applied Linguistics UNIKA Atma Jaya Jakarta

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
admin Author