Menko Polhukam : Pungli Merupakan Penyakit Yang Sangat Kronis
Bogor-Pemerintah terus berupaya untuk menciptakan pelayanan masyarakat yang berkualitas untuk meminimalisir praktek kecurangan dalam pelayanan masyarakat seperti praktek pungutan liar (Pungli). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan keseriusannya untuk memberantas praktek pungli tersebut dengan mengajak semua stakeholder pemerintahan, lembaga dan masyarakat ikut terlibat.
“Saya melihat bahwa Menko Polhukam sangat serius dan konsen agar tugasnya dalam memberantas pungli bisa diselesaikan. Diantaranya adalah sinergitas dengan semua stakeholder karena dalam memberantas ini ada kepolisian, kementerian, lembaga, TNI, dan masyarakat Indonesia. Untuk itu, sinergitas dengan semua harus kuat dan ada semangat,” kata Sekretaris Kemenko Polhukam Letjen TNI Agus Surya Bakti yang merupakan pembicara kunci mewakili Menko Polhukam Wiranto dalam Rakernas Saber Pungli Tahun 2018 di Bogor, Jawa Barat, yang dihadiri oleh UPP Satgas Saber Pungli di seluruh Provinsi se-Indonesia, Senin (10/12/2018).
Menurut Sesmenko, pungli merupakan penyakit yang sangat kronis bagi bangsa Indonesia. Tidak hanya terjadi pada level Kementerian atau Lembaga saja, tetapi sudah berkembang pada level Pemerintah Daerah bahkan sampai level terkecil yaitu RT/RW.
“Kegiatan pungutan liar yang semakin marak pada pelayanan publik tersebut akan mengganggu dan memberatkan masyarakat sehingga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, menghambat perkembangan ekonomi, mempengaruhi iklim investasi dan merosotnya wibawa hukum,” ujarnya.
Sejak dibentuknya Satgas Saber Pungli pada tanggal 20 Oktober 2016 hingga 19 Oktober 2018, telah diterima sebanyak 36.443 pengaduan dari masyarakat. Kemudian, Satgas juga melakukan berbagai kegiatan diantaranya sosialisasi sebanyak 324.291 kegiatan, 8.424 operasi tangkap tangan dengan tersangka sebanyak 14.819 orang, kegiatan intelijen sebanyak 1.206, dan yustisi sebanyak 1.333 kegiatan.
Namun, masih terdapat kendala yang membuat pelaksanaan kegiatan Satgas pada masing-masing UPP di K/L, Provinsi, dan Kabupaten/Kota belum optimal. Sesmenko mengatakan, hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, untuk Satgas Pusat dukungan anggaran yang didapatkan pada tahun 2017 sebanyak Rp 30.572.334.000,00, namun menurun menjadi Rp 9.700.483.000,00 untuk tahun 2018.
“Penurunan anggaran ini juga disertai dengan adanya penurunan jumlah personel dari Satgas Saber Pugli, dimana pada tahun 2016 ada sebanyak 228 anggota, dan tahun 2017 sebanyak 247 anggota, sedangkan untuk tahun 2018 sebanyak 99 anggota,” kata Sesmenko Agus.
Kedua, untuk unit pemberantasa pungli di Kementerian/Lembaga, dari 84 K/L yang baru terbentuk hanya 41 UPP. Ketiga, untuk UPP di daerah, terbatasnya dukungan anggaran yang ada pada Pemerintah Daerah berimplikasi pada minimnya anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah untuk kegiatan Saber Pungli. Bahkan, di Provinsi Riau dan Papua, pemda belum mengalokasikan anggaran kegiatan Saber Pungli.
“Selain itu masih terdapat UPP yang belum aktif dalam melakukan kegiatan Satgas, baik sosialisasi maupun operasi tangkap tangan,” katanya.
Keempat, adanya tumpang tindih tugas dan personel pada kegiatan saber pungli dan kegiatan rutin di instansi masing-masing, sehingga tidak dapat menjalankan tugas pada Satgas Saber Pungli atau UPP secara optimal. Kelima, adanya anggapan bahwa Satgas Saber Pungli domain polisi, sehingga instansi lain kurang proaktif dalam kegiatan Satgas Saber Pungli.
Keenam, personel UPP Kementerian/Lembaga dan Daerah tidak mau atau segan untuk melakukan tindakan atau operasi tangkap tangan terhadap aparat yang melakukan pungli di satuan kerjanya. Ketujuh, kegiatan dan hasil operasi Satgas Saber Pungli kurang diketahui oleh masyarakat karena kurang ter-blow up oleh media.
“Terkait penegakan hukum, ditemukan kendala dalam penentuan jenis pidana yang dikenakan, apakah tindakan pidana umum atau tindak pidana korupsi. Apabila suatu kasus pungli dikenakan pasal tindak pidana korupsi, seringkali barang bukti yang diamankan besarannya tidak sebanding dengan biaya penanganan perkara yang dilaksanakan di Provinsi. Selain itu, penyidik dan jaksa memiliki keterbatasan anggaran dalam melaksanakan penegakan hukum tindak pidana korupsi, yaitu hanya 1 atau 2 perkara per tahun,” kata Sesmenko Agus.
Terakhir, terdapat kecenderungan resistensi dari aparatur pemerintah di kesatuan masing-masing terhadap Satgas Saber Pungli ketika melaksanakan tugas yang telah diamanatkan sesuai Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, khususnya ketika melaksanakan Operasi Tangkap Tangan, sehingga anggota yang melaksanakan tugas di Satgas Saber Pungli merasa kurang nyaman dan dinilai kurang berprestasi.
“Sehubungan dengan adanya kendala-kendala dalam pelaksanaan kegiatan Satgas Saber Pungli, mari kita sikapi dengan bijak agar pelaksanaan tugas Satgas Saber Pungli benar-benar bisa sesuai harapan. Menko Polhukam selaku penanggung jawab tentunya akan mengkomunikasikan dengan berbagai stakeholder, agar kendala-kendala yang ditemui Satgas Saber Pungli, baik di tingkat pusat maupun daerah dapat diminimalisir dan dihilangkan, serta dapat mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 secara baik dan benar,” kata Sesmenko Agus.
(Robby/Oly)