E-Katalog Jabaronline
MERAWAT INGATAN TENTANG PRAM: SEBUAH REFLEKSI DARI TETRALOGI BURU Oleh : Aldi Cikal Yudawan

MERAWAT INGATAN TENTANG PRAM: SEBUAH REFLEKSI DARI TETRALOGI BURU Oleh : Aldi Cikal Yudawan

Smallest Font
Largest Font

Advertisement
Scroll To Continue with Content

MERAWAT INGATAN TENTANG PRAM:

SEBUAH REFLEKSI DARI TETRALOGI BURU

Oleh: Aldi Cikal Yudawan1

 

Saat jadi mahasiswa, saya hobi menikmati wifi gratis di halaman gedung sebuah fakultas. Saat googling mencari kata mutiara yang keren tentang menulis, tak sengaja saya menemukan kata-kata begini, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Tak perlu lama, langsung saya klik dan terbukalah laman yang memuat kata mutiara itu.

Membaca kata mutiara itu, saya gemetar. Sebab baru kali itu menemukan kata-kata yang menakjubkan tentang kekuatan menulis. Saat itu, jujur saya belum kenal dengan tokoh yang memilikinya. Saya lalu searching dan mendapati bahwa itu adalah kata mutiara dari Pramoedya Ananta Toer, tokoh penulis besar yang dimiliki oleh Indonesia. Tokoh besar yang menjadi nominasi peraih nobel sastra dunia.

Semakin lama, saya semakin penasaran tentang tokoh tersebut. Saya terus mencari tahu dan menemukan bahwa beliau punya banyak karya. Di antara banyaknya karya, ada karya beliau yang disebut Tetralogi Buru yang paling terkenal. Tetralogi ini berisikan buku-buku tebal dengan judul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Saat itu, saya langsung mencarinya di perpustakaan-perpustakaan. Sayang, saya tak memenukan, nihil. Karya-karya itu hanya dijual di toko-toko buku tertentu. Belum zaman jualan buku di toko daring, saya paksakan mendatangi dan membelinya. Hingga saya lulus kuliah dan kini menjadi guru, karya-karya itu tak bosan dibaca.

Membaca Tetralogi Buru seperti sengaja menyeret diri menuju kepusingan sendiri; mumet dan ruwet. Apalagi melihat halamannya yang begitu tebal macam kitab suci. Tapi, bukankah pusing itu tanda otak bekerja? Membaca empat karya Pram itu artinya merawat otak supaya tetap bekerja. Terutama supaya bekerja dalam merawat ingatan perjuangan yang ada di dalamnya.

Seperti dalam Bumi Manusia. Bumi Manusia menggambarkan Minke, seorang pribumi yang memiliki kedudukan tinggi dengan akses pendidikan yang layak. Ia seorang intelektual yang suka membaca dan menulis. Dalam menjalani hari-harinya, Minke larut dalam hegemoni budaya yang dibawa oleh orang-orang eropa. Padahal, sebelum datangnya mereka ke Nusantara, fakta menunjukkan bahwa peradaban eropa masih jauh tertinggal. Terbukti di Nusantara, sudah sejak lama orang-orangnya akrab dengan teknologi seperti bagaimana mengolah aneka logam dan kayu menjadi peralatan yang berdaya guna.

Perlahan, Minke mulai melakukan perenungan diri. Ia lalu menyadari bahwa apa yang ia bayangkan dan cenderung ikuti hanya proses mencari eksistensi diri. Saat berjumpa dengan Nyai Ontosoroh, Minke belajar hal yang paling fundamental yaitu cara memandang manusia. Sebagai orang terpelajar, Minke akhirnya mengerti bahwa ia harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Selesai membaca Bumi Manusia, saya saat itu semakin yakin bahwa bisa jadi kita adalah Minke-Minke zaman modern. Kita punya akses Pendidikan yang layak dan tinggi. Namun kita tenggelam dalam hegemoni budaya dari luar bangs akita sendiri. Kita lebih bangga dan senang dengan budaya Korea misalnya, metimbang melestarikan budaya Sunda. Kita sibuk belajar hingga sarjana, dan saat jadi sarjana kita hanya sibut mencari kerja, bukan melakukan kerja yang memberdayakan masyarakat. Jika benar demikian, hati-hati kita menjadi tidak adil sejak dalam pikiran.

Dalam Anak Semua Bangsa, Minke menjalani kehidupan yang lebih "kaya" dari sebelumnya. Apalagi sejak ia kenal dengan Jean Marais, seorang seniman Perancis yang memiliki pemikiran revolusioner. Sejak saat itu pula cara pandang Minke mulai berubah. Ia mulai menyadari bahwa realitas tak pernah berpihak kepada bangsa pribumi, sekalipun mereka adalah kalangan ningrat. Terlalu banyak sekat antarbangsa di mana semuanya rendah, kecuali eropa. Bangsa Eropa adalah dewa. Saat Minke menyadari itu, ia malu bukan kepalang karena nyatanya ia pun tak kenal dengan bangsanya sendiri. Hingga akhirnya ia putuskan untuk menyelami dunia akar rumput orang pribumi.

Untungnya, ia bertemu seorang petani bernama Trunodongso yang membuat cakrawala Minke tercerahkan. Minke mulai beranjak dan terus mencari dan menemukan realitas-realitas lain yang menurutnya harus dijalani. Sampai kemudian, Minke mendapati bahwa di atas dewa; eropa, ada dewa sebenarnya yang disebut modal. Modal itulah yang menjadi motif seluruh penaklukan bangsa atas bangsa yang lain. Karena modal menimbulkan banyak kekacauan, kerusakan, dan kesengsaraan. Sampai Minke akhirnya memutuskan untuk melawan melalui jalan lain; tulisan.

Tulisan-tulisan yang dihasilkan Minke menemukan para pembacanya. Para pembacanya tergugah dengan apa yang Minke tulis. Tak terkecuali Nyai Ontosoroh, mertuanya. Hingga Nyai Ontosoroh menyayangi Minke karena ia menulis, "Karena engkau menulis. Suaramu tak akan padam oleh angin, akan abadi. Sampai jauh di kemudian hari", katanya.

Dalam Anak Semua Bangsa, saya menemukan bahwa setiap orang memang harus masuk ke dalam masyarakatnya. Bahkan sekalipun ke dalam masyarakat yang heterogen. Kita memang harus membaur, bukan melebur. Sampai kita menemukan sumbangsih apa yang bisa diberikan. Kalau Minke, berjuang melalui tulisan, kalau kita?

Kalau kita melanjutkan bacaan kepada Jejak Langkah, isinya akan membawa pada langkah Minke yang semakin jauh. Ia harus melanjutkan pendidikannya di sekolah dokter Batavia (STOVIA). Di Batavia, Minke mengalami banyak peristiwa yang kemudian mengukur jejaknya. Salah satunya saat ia menikah dan membangun rumah tangga bersama organisator perempuan ulung suku Tionghoa bernama Ang San Mei. Mereka berdua menjadi pasangan organisator yang handal. Meskipun, Minke baru menemukan jiwa organisatorisnya kala istri keduanya tersebut tiada.

Organisasi pertama yang ia dirikan adalah Syarikat Priyai. Organisasi ini beranggotakan para priyayi, yakni orang-orang pribumi yang berstatus sosial tinggi. Namun, umur organisasi ini tak lama. Syarikat Priyayi bubar. Minke coba berkolaborasi dengan para priyayi lainnya membentuk Boedi Oetomo. Sempat jalan bersama tapi tak lama, Minke memilih jalan berbeda karena organisasi ini hanya fokus pada budaya primordial, bukan nasional. Minke melanjutkan langkah dengan mendirikan Syarikat Dagang Islamiyah. Di dalam organisasi ini, Minke memeroleh banyak "kemenangan". Salah satunya dukungan dari berbagai pihak seperti para pedagang pribumi. Namun, bulan madu Minke atas kemenangan itu bubar karena ia kemudian dituduh berhutang dan disingkirkan ke Timur.

Saat menyelami Jejak Langkah, saya malah teringat kisah ketika banyak dari kita harus merantau untuk mengenyam Pendidikan. Bukannya meratapi diri di tanah rantauan, Minke malah mengajak kita berefleksi bahwa di tanah Rantau, kita bisa mendapat ilmu dan penghidupan yang lebih luas bak cakrawala. Apalagi jika kita bertemu dengan “teman hidup” yang mampu saling mendukung dan menjaga. Meskipun, semuanya tak seindah rencana dan keinginan, karena tetap ada dinamika yang mewarnainya.

Hingga tiba pada kisah di bagian akhir tetralogi; Rumah Kaca yang berisi dilema seorang polisi prbumi bernama Jacques Pangemanan. Ia bagai duri dalam daging, musuh dalam selimut bagi warga pribumi. Orang yang terbuai tahta dan hart aitu harus rela mengalami pergolakan batin yang menyengsarakan karena baru menyadari akibat yang ia lakukan selama itu. Ia menjadi senjata pemerintah colonial untuk membasmi perlawanan rakyat pribumi. Karena kinerjanya yang gemilang, ia berhasil mendapatkan promosi jabatan ke tingkat yang lebih tinggi. Salah satu pencapaiannya yang paling dipuji adalah Ketika ia berhasil menumpas perlawanan Si Pitung.

Tugasnya hanya satu kemudian; mencari kesalahan Minke agar Minke dihukum. Maka ia melakukan pengumpulan berkas, pendokumentasian aktivitas Minke. Sialnya, semakin ia mencari kesalahan Minke, semakin ia temukan bahwa hati nuraninya justru bersepakat denga napa yang dilakukan Minke. Hati nuraninya koyak saat Minke telah tiada. Hati nurani Pangemanan baru sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Minke adalah perjuangan melawan penjajah yang selama ini memberinya promosi jabatan dan hidup mewah.

Pangemanan baru merasakan arti sebuah perjuangan yang dilakukan oleh seorang intelektual pribumi guna membebaskan bangsanya dari cengkeraman penjajah. Namun, pada titik yang sama, Pangemanan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia seperti berada di rumah kaca; dapat melihat keluar dan memahami seluk-beluk di dalam, namun tak bisa melakukan apa-apa karena terkurung. Sedangkan hatinya menolak, hatinya berontak. Hingga akhirnya ia mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang tua Minke atas apa yang ia lakukan selama ini, khususnya kepada perjuangan yang dilakukan Minke.

Saya tidak bisa membayangkan jika ada pada posisi Pangemanan. Bagaimana rasanya jadi pribumi yang dibesarkan bangsa asing, lalu saat sudah besar disuruh untuk membasmi bangsa sendiri. Sudah pasti awalnya mungkin senang, bahagia, namun akhirnya sengsara. Jangan-jangan, kita juga bisa jadi Pangemanan-Pangemanan berikutnya. Nurani kita lelap dalam menikmati kemewahan dan kemegahan hidup. Padahal di antara itu semua, kita tidak sadar sedang membasmi kepentingan-kepentingan orang lain di sekitar.

Dari Tetralogi Buru, saya rasakan bahwa ternyata memang benar karya yang dibuat dalam bentuk tulisan itu tak lekang oleh waktu. Pram melalui Tetralogi Buru sungguh mengajarkan hal yang nampaknya sepele, tapi sebetulnya rumit dan panjang; perjuangan. Hanya orang-orang yang berani berjuang, yang kelak pantas menikmati hasilnya. Walaupun terkadang hasil perjuangan tak mesti dinikmati hasilnya secara langsung.

Karya-karya tulisan yang dibuat tersebut akan abadi sesuai dengan apa yang dituliskan. Kalau ada yang akan menerbitkannya lagi, sepertinya dapat diupayakan agar Bahasa yang ada di dalam kerya-karya Pram dibuat lebih kekinian dengan tidak menghilangkan esensinya. Supaya para pembacanya kini dapat menemukan dan mudah memaknai apa pesan yang hendak disampaikan. Bukan perkara mudah, tapi saya yakin bisa diwujudkan.

Kini menjelang seabad Pram, saat saya mencoba membuka dan membaca Kembali Tetralogi Buru, saya sudah jadi guru. Sebagai guru, saya coba melakukan doa dan usaha. Doa agar Pram tetap hidup dalam ingatan kita melalui karya-karyanya. Doa agar karya-karyanya hidup dalam semangat kita. Berusaha, agar generasi penerus dapat mengenal siapa itu Pramoedya Ananta Toer dan apa saja karya-karyanya. Berusaha agar generasi bangsa membaca karya-karyanya.

Meskipun, Ketika saya bertanya kepada murid-murid saya, “Apakah kalian pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer?”.

Mereka menjawab serentak, “Tidak!”

“Kalau film Bumi Manusia apakah tahu?” lanjut saya.

 “Iya!” jawab mereka serentak. “Itu film yang ada Iqbal Ramadhannya, kaan?” pungkas mereka.

Ya, tidak apa-apalah. Saya bisa mulai mengajarkannya dari sana.

Nama lengkap             : Aldi Cikal Yudawan /  Guru sains yang suka sastra

Domisili                       : Bogor

Nomor WhatsApp       : 0895410833608

Akun media sosial       : @aldicikalyudawan

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Hokage Author
ads