Kamis(28/02/2019) Disela-sela pembangunan gedung perkuliahan Universitas Pakuan (Unpak), dari kejauhan, terlihat cahaya lilin yang ditata sedemikian rupa sehingga mengarahkan orang agar masuk ke dalam lift. Lilin itu menjadi jalur yang menunjukkan dimana tempat pertunjukan Neo-Instalasi Rindu digelar oleh Teater Masagi FKIP Unpak berkolaborasi dengan Laboratorium Aktor Bogor.
Suasana romantis sekaligus mistis sangat terasa karena disana juga telah disiapkan dupa aroma terapi bunga mawar yang sengaja disimpan di pojok-pojok hingga di dalam lift. Jauh sebelum sampai di ruang pertunjukan, sepertinya, penonton sudah dibawa hanyut pada suasana dan ruang yang berbeda dengan kehidupan nyata. Saat memasuki aula yang terletak di lantai empat Gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Pakuan itu, terlihat set panggung arena dengan garis-garis tali yang dirangkai di lantai membentuk diagonal.
Kemudian jika diperhatikan, tak ada depan panggung, kanan-kiri panggung, dan arah lainnya, sebab penonton dibiarkan menyebar di semua arah di tempat yang sudah dipersiapkan—membuat perspektif panggung menjadi sangat subjektif. Sebelah barat, di sana sekelompok pemusik dengan alat musik yang sudah dipegang masing-masing pemusik, siap untuk menyuguhkan musik teater. Sebelah selatan, sebuah meja pendek penuh dengan peralatan lampu dan sebuah mixer-dimmer lampu siap mengendalikan pencahayaan pertunjukan. Dan sebelah timur sebuah kanvas berukuran sekitar 200×50 cm disiapkan untuk live performance yang akan dilakukan oleh Refqi Boink Rahmanda yang melukis peristiwa pertunjukan secara langsung sepanjang pertunjukan.
Tepat pukul 20.10 pertunjukan dimulai dengan menyanyikan Hyme Aktor karya Benny Johanes lalu disambung dengan terdengarnya tangisan dari arah sudut timur (belakang kanvas). Dari balik sana, muncul empat aktor berkepala botak membawa setangkai bunga mawar yang kemudian menempati keempat sudut yang dibentuk garis diagonal yang ada di lantai. Keempat aktor itu sama sekali tidak mengeluarkan suara bahasa, mereka—sambil berlenggak-lenggok, bergerak-gerak, berkelompok—hanya mengeluarkan suara-suara non-bahasa dari mulutnya. Mereka menjerit, mengeluh, mendesah, menghela, berteriak, menangis, dan suara-suara lain selain bahasa. Kemudian, dibeberapa bagian, muncul seseorang yang terlihat lebih rapi dari segi penampilan—namun juga sama botak, menceritakan sebuah dongeng berjudul Xua-Xua karya Agusto Boal.
Dongeng itu menceritakan tentang sesosok betina purba bernama Xua-xua yang hidup di era kehidupan pra-manusia. Dalam kisah itu, disebutkan bahwa Xua-xua menjalin kasih dengan sesosok jantan bernama Ling Feng. Mereka menjalani hidup bersama: berenang, memanjat, naik gunung, berburu, dan bahkan berhubungan intim. Hingga pada suatu hari, Xua-xua merasakan perutnya membesar dan bergerak-gerak. Xua-xua tidak mengetahui apa yang terjadi dengan perutnya. Sementara itu, Ling Feng malah melarikan diri karena merasa Xua-xua bukan seperti Xua-xua yang dulu dikenalinya. Perutnya semakin besar, dan Xua-xua pun semakin malu. Itulah yang membuat Ling Feng meninggalkan Xua-xua dan berusaha mencari betina lainnya.
Dalam kesendirian, Xua-xua, meratapi sesuatu yang terjadi diperutnya itu sampai akhirnya Xua-xua menyadari bahwa sesuatu itu seperti hidup di dalam perutnya. Dalam cerita itu, intinya, Xua-xua mempertanyakan tubuh kecil yang keluar dari tubuhnya yang mirip dengan dirinya. Akhirnya, Xua-xua menyadari bahwa tubuh kecil itu adalah bagian darinya yang kini bukan dirinya sendiri.
Ketika cerita dongeng itu selesai disampaikan ada sebuah pertanyaan yang menarik muncul: apa hubungan cerita dongeng Xua-xua dengan empat aktor yang menangis? Jawaban ini mungkin akan sulit sekali ditemukan. Yang bisa menjadi jembatan untuk mengubungkan dua peristiwa di dunia yang berbeda itu adalah keprimitifan mereka. Semua tokoh dalam dongeng Xua-xua selalu mengungkapkan perasaannya lewat keprimitifan itu. sama halnya dengan keempat aktor itu yang mengungkapkan perasaan marah, sedih, senang, dan lain-lain dengan cara menyikapinya dan bukan mengatakannya.
Pertunjukan ini mencoba untuk menghadirkan nuansa berbeda bagaimana komunikasi tetap berjalan meski tanpa ucapan-ucapan, kata-kata, khususnya komunikasi antar aktor, dan komunkasi dengan penonton. Komunikasi yang paling awal dimiliki manuisa dalam menyampaikan perasaan dan isi hatinya ini dirasa menjadi komunikasi yang lebih jujur ketimbang perangkain kata-kata dan permainan-permainan kata yang dilakukan dalam verbal bahasa manusia.
Gerak-gerak tubuh rindu, alunan musik rindu, lukisan rindu, dan segala hal di pertunjukan ini dihadirkan jelas dengan pretensi dan niat yang sedemikian rupa yang menjadi energi yang luar biasa. Usaha ini benar-benar menyuguhkan nuansa, suasana dan atmosfer yang penuh dengan kesedihan. Entah itu berasal dari tangisan-tangisan aktor yang membuncah, musik yang mengalun atau rindu itu bahkan memang sudah hadir di hati penonton. Yang pasti, tanpa plot cerita yang jelas, rangkaian adegan itu disusun untuk hanya menyimpulkan kesedihan di bagian akhir pertunjukan ini. Seketika, di penghujung pertunjukan, sebagian para hadirin terbawa suasana haru yang meluap-luap. Penonton tiba-tiba menjadi subjek pelaku utama dalam pertunjukan. Di sana terlihat penyerahan panggung pertunjukan dari para aktor kepada semua hadirin yang ada di sana. Yang aneh, keharuan penonton justru hadir tanpa pretensi-pretensi yang akhirnya bertolak belakang dengan subjek pertama (aktor) yang mempersiapkan semuanya memiliki pretensi ketika menghadirkan tubuhnya, gerak tubuhnya, dan tangisan itu.
Pertunjukan Neo-Instalasi Rindu ini memang sulit dipahami maksud dan tujuannya, namun pembawaan nuansa dan penguasaan atmosfer yang kuat bisa menutupi itu semua. Jika sebaian orang terus mempersalahkan tema dan amanat yang ingin disampaikan lewat pertunjukan, Neo-Instalasi Rindu malah enggan membicarakannya. Pertunjukan itu malah membicarakan kemungkinan eksplorasi bentuk yang tertuang disetiap peristiwa teater malam tadi dengan melibatkan penonton bukan hanya dari segi emosional, juga dari segi kepristiwaan teater itu sendiri.
Apakah hal itu masalah? Pertanyaan itu sebenarnya tidak penting dijawab bahkan tidak penting dipertanyakan.
Lilin telah mati, cahaya sudah mati, alat musik dibawa pulang kembali, panggung tiba-tiba sepi, semua dibenahi, gedung akhirnya dikunci, tangis mulai diakhiri, tapi rindu masih berkecambah di hati.
(*)