Paradigma Mahasiswi Jurnalistik Tentang Patriarki Di Hari Kartini
Penulis: Nadia Ayu Fadhilah ( Mahasiswi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Duta Baca Dari Kabupaten Bogor Dispusipda Jabar)
Sejak zaman penjajahan, Indonesia sangat erat dengan kultur patriarki, dimana perempuan masih dianggap sebagai makhluk yang memiliki ketidakmampuan dalam berbagai aspek, selain perihal sumur dan dapur. Perempuan juga sering kali diberikan berbagai stigma yang membatasi mereka dalam mengembangkan kemampuan diri. Maka tidak heran, jika pada waktu itu, banyak kaum puan yang tidak memiliki berbagai kesempatan, khususnya kesempatan mengenyam pendidikan.
Untungnya, pada awal abad ke 19, sosok Kartini berhasil menyuarakan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Salah satu kutipan surat yang dikirimkan Kartini kepada Nona Van Kool :
“O, saya ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk wataknya mengembangkan otaknya yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita dari hari depan, supaya mereka kelak dapat meneruskan segala hal yang baik itu. Bagi masyarakat, kita pasti akan membahagiakan bilamana wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik”
Pemikiran Kartini sungguh sangat maju dibandingkan dengan pola pikir masyarakat pada waktu itu. Sebagai kaum terdidik, Kartini juga meresahkan stigma-stigma yang diberikan kepada kaum perempuan jawa. Perempuan jawa harus setia kepada laki-laki, terampil dalam pekerjaan perempuan, pandai berdandan dan merawat diri, sederhana, hingga harus taat dan patuh kepada laki-laki. Jika stigma tersebut terus melekat, maka perempuan akan terus kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan diri dan menyuarakan pendapat.
Saat ini, zaman sudah jauh berubah. Kita sudah memasuki abad ke 20, dimana seluruh aspek kehidupan mengalami berbagai kemajuan. Dengan berbagai perubahan yang ada, seharusnya, masyarakat Indonesia sudah mengalami kemajuan pola pikir, termasuk pola berpikir tentang hak dan kewajiban perempuan. Namun, sayangnya, sampai detik ini, masih banyak sekali masyarakat yang memegang teguh nilai patriarki dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kita dapat mengambil contoh kecil dari cara orang tua mendidik anak-anaknya. Ketika anak laki-laki jatuh dan menangis, maka banyak sekali orang tua yang akan berkata : “jangan menangis seperti perempuan!”, seakan-akan perempuan adalah makhluk paling lemah dan tidak patut ditiru. Contoh lain, sudah menjadi kebiasaan bahwa banyak orang tua yang marah jika anak perempuan tidak membantu pekerjaan rumah. Tetapi, mereka memaklumi anak laki-laki yang enggan membantu ‘tugas rumahan’. Didikan seperti inilah yang secara tidak sadar membentuk pola pikir masyarakat bahwa perempuan harus selalu berkaitan dengan sumur dan dapur, sedangkan laki-laki lebih unggul dan tidak bertanggung jawab dengan urusan rumah.
Selain contoh pola pendidikan patriaki dalam keluarga, masih banyak sekali stigma-stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada perempuan. Misalnya, perempuan akan dianggap buruk jika menempuh pendidikan yang tinggi, karena hal tersebut dapat membuat kaum laki-laki merasa minder dan tidak mau mendekat. Atau pemikiran bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang berdiam di rumah, bukan perempuan yang bekerja keras dalam pekerjaan, dan mengakibatkan urusan rumah tangganya berantakan.
Pertanyaannya adalah : Apakah perempuan tidak memiliki hak untuk menempuh pendidikan yang tinggi? Atau apakah urusan rumah tangga hanya urusan kaum perempuan? Jawabannya tentu tidak. Seharusnya, masyarakat sadar bahwa perlu adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tanpa meninggalkan kodrat mereka masing-masing. Laki-laki dan perempuan harus saling bahu membahu dalam pekerjaan rumah, saling bekerja sama dalam ranah pekerjaan, maupun saling mendukung dalam berkarya.
Bayangkan saja, jika Indonesia memiliki perempuan-perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan keterampilan yang mumpuni. Perempuan akan memberikan pendidikan pertama terbaik kepada anak-anaknya, mampu membantu permasalahan ekonomi dalam keluarga, hingga dapat membantu kaum laki-laki dalam berbagai pekerjaan. Perempuan-perempuan hebat inilah yang akan memajukan peradaban. Ah, sungguh indahnya Indonesia seperti cita-cita Kartini : Indonesia tanpa patriarki!