Pengajaran Apresiasi Sastra yang Aplikatif dalam Kehidupan Melalui Representasi Pendidikan Multikultural dalam Novel
JABARONLINE.COM – Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (Kurniawan, 2012:53). Sejalan dengan pendapat tersebut jelaslah bahwa pembelajaran sastra memegang peranan yang penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Tak boleh dikesampingkan terlebih dianggap penyela semata. Pembelajaran sastra mempunyai peranan di dalam pencapaian berbagai aspek dari tujuan pendidikan dan pembelajaran seperti aspek pendidikan susila, sosial, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan (Rusyana, 1982:6).
Eksistensi pentingnya peranan pembelajaran sastra kian diperkuat oleh pendapat tersebut. Saat ini sebagian besar guru bahasa Indonesia di jenjang sekolah menengah lebih menekankan tujuan pembelajaran sastra pada pemahaman struktrural semata. Hal ini cenderung merugikan peserta didik. Kenapa bisa demikian? Karena ruh dari pembelajaran apresiasi sastra adalah pada bagaimana amanat dari sebuah karya sastra bisa dipetik lalu menyentak naluri dan diteladani dalam kehidupan nyata. Ada begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam sebuah karya sastra khususnya novel. Salah satu nilai krusial yang mungkin ada pada beberapa karya sastra seperti novel adalah nilai-nilai pendidikan multikultural.
Dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 ide pendidikan multikultural juga tertuang dalam sistem penyelenggaraan pendidikan, yaitu dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Berdasarkan isi UU Sisdiknas tersebut maka kita bisa mengkategorikan lima nilai pendidikan multikultural, yaitu nilai demokratis, nilai keadilan, nilai toleransi, nilai keagamaan, dan nilai kultural. Bayangkan saja kebermanfaatan pengaplikasian kelima nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Choirul Mahfud dalam buku Pendidikan Multikultural (2009:187) menyebutkan bahwa pendidikan multikulturalisme biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Tujuannya membentuk ”manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)” 2) Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural) 3) Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelopok etnis (multikulturalis) 4) Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Pada dasarnya kegiatan pembelajaran di sekolah harus peka terhadap berbagai gejala sosial yang ada di masyarakat, termasuk pembelajaran apresiasi sastra. Terlebih karena negara kita adalah negara multi etnis, multi suku, multi budaya, dan multi agama. Apabila merunut sejarah bangsa ini maka konflik karena perbedaan suku, agama, etnis, dan ras masih menjadi salah satu PR. Hal ini seakan menjadi cerminan bahwa nilai-nilai pendidikan multikultural masih harus ditanamkan pada peserta didik. Penanaman nilai-nilai pendidikan multikultural ini akan kian bernas di daerah yang memang berpenduduk multikultural seperti Pulau Belitung misalnya. Pulau Belitung merupakan pulau yang memiliki penduduk multikultural. Beberapa suku yang menghuni Pulau Belitung adalah Suku Melayu, Suku Tionghoa, Suku Bugis, Suku Madura, dan Suku Sawang. Keberagaman kultural ini belum pernah sama sekali terbentur konflik. Namun seiring perkembangan zaman hal tersebut tentu harus sigap diantisipasi. Cara paling jitu untuk mengantisipasinya adalah melalui pendidikan.
Guru bahasa Indonesia masa kini dan inovatif haruslah menjawab tantangan ini melalui pengajaran apresiasi sastra yang aplikatif. Pada dasarnya kegiatan apresiasi sastra di kelas akan menjadi kian bermakna melalui pengaplikasian nilai-nilai kehidupan yang ditemukan dalam karya sastra tersebut.
Dalam kamus istilah sastra (2007:35) apresiasi sastra diartikan sebagai penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya itu. Berdasarkan pengertian tersebut maka kegiatan apresiasi sastra pada hakikatnya adalah penghargaan atas nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra sebagai hasil dari penghayatan kepekaan batin. Apresiasi tentu merupakan sebuah kegiatan yang sungguh-sungguh karena dengan mengapresiasi kita akan memahami lebih mendalam karya yang kita apresiasi.
Ada banyak sekali manfaat yang bisa kita dapatkan dari kegiatan apresiasi sastra. Selain manfaat menuntaskan materi dalam pembelajaran, yang tak kalah penting tentu adalah manfaat meresapi makna nilai-nilai dalam karya sastra tersebut sebagai bekal dalam keseharian. Selanjutnya Aminudin (2011:62-63) secara garis besar membagi manfaat mengapresiasi karya sastra menjadi dua, yaitu manfaat secara umum dan manfaat secara khusus. Berikut penjelasan mengenai kedua manfaat tersebut : 1) Manfaat secara umum sebenarnya yang dimaksud adalah manfaat membaca sastra yang diperoleh oleh pembaca pada umumnya lewat generalisasi. 2) Manfaat secara khusus dapat diartikan pula sebagai manfaat yang dicapai oleh seorang pembaca sehubungan dengan upaya pencapaian tujuan-tujuan tertentu.
Saat ini kebutuhan sekolah berdasarkan pengaplikasian bahan ajar apresiasi sastra di kelas sangat beragam. Bahan ajar apresiasi sastra yang dipilih harus merepresentasikan nilai-nilai yang bisa diaplikasikan peserta didik dalam kehidupannya. Oleh karenanya salah satu hal penting yang wajib dilakukan oleh guru bahasa Indonesia adalah memilih bahan ajar apresiasi yang tepat dari berbagai pilihan yang tersedia.
Berdasarkan pengalaman dalam kegiatan KBM selama ini maka bahan ajar yang dipilih pada jenjang sekolah menengah haruslah bersifat rekreatif dan menyenangkan bagi mereka. Berdasarkan kriteria tersebut maka novel populer adalah salah satu bahan ajar yang direkomendasikan. Mengajak peserta didik membaca dan “mencintai” novel tentu bukanlah perkara mudah. Oleh karenanya seorang guru bahasa Indonesia haruslah jeli memilih dan memilah novel yang akan dijadikan bahan ajar.
Terkait dengan kriteria penentuan bahan pembelajaran apresiasi novel, maka Rahmanto (1988:27) menyebutkan tiga kriteria pemilihan bahan ajar apresiasi sastra yaitu: 1) Kriteria bahasa 2) Kriteria kematangan jiwa (psikologis) 3) Kriteria latar belakang budaya. Merujuk pada ketiga kriteria tersebutlah maka penulis merekomendasikan dua judul novel yang bisa digunakan sebagai bahan ajar apresiasi sastra karena mencerminkan nilai-nilai pendidikan multikultural.
Ada dua novel yang penulis rekomendasikan sebagai bahan ajar apresiasi sastra yang merepresentasikan nilai-nilai pendidikan multikultural di dalamnya. Rekomendasi ini tentu telah merujuk pada kriteria penentuan bahan pembelajaran sebelumnya.
Pertama pada jenjang sekolah menengah pertama penulis merekomendasikan novel Laskar Pelangi. Dari segi kriteria bahasa, pengarang menulis novel ini dengan bahasa yang mudah dipahami anak usia sekolah menengah pertama. Berdasarkan bahasa dalam novel yang ringan namun bermakna tergambar jelas bahwa kelompok pembaca yang ingin dijangkau penulis adalah anak yang baru memasuki usia remaja.
Selanjutnya dari segi kematangan jiwa, cerita dalam novel Laskar Pelangi dari unsur intrinsiknya sesuai dengan tingkat kematangan jiwa anak SMP. Alur ceritanya maju, temanya tentang pendidikan, dan latarnya di seputar kehidupan sekolah. Terakhir dari segi latar belakang budaya, jelaslah kiranya kriteria ini menjadi alasan paling jitu untuk memilih novel Laskar Pelangi sebagai bahan ajar di Pulau Belitung. Peserta didik tentu akan sangat tertarik dengan isi cerita dalam novel Laskar pelangi yang berlatar di daerah tempat tinggalnya sendiri. Beberapa setting dalam novel begitu dekat atau bahkan mungkin sama dengan kehidupan mereka. Di samping itu latar belakang budaya kehidupan dalam novel Laskar Pelangi erat hubungannya dengan latar belakang hidup peserta didik. Lantas mengapa novel terbitan Bentang Pustaka pada tahun 2005 ini bisa menjadi salah satu alternatif bahan ajar yang merepresentasikan nilai-nilai pendidikan multikultural? Novel ini menggambarkan bagaimana masyarakat etnis Melayu dan tionghoa di Pulau Belitung bisa hidup berdampingan dengan rukun.
Kedua etnis ini saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Nilai toleransi tergambar dengan jelas dalam keseharian anak-anak di SD Muhammadiyah. A Kiong yang merupakan keturunan Tionghoa bisa bersekolah dan membaur dengan teman-temannya di SD Muhammadiyah tanpa batas dan sekat. Mereka juga menghargai tradisi satu sama lain.
Memilih novel Laskar Pelangi dalam pembelajaran apresiasi sastra di jenjang SMP tentu akan memberi banyak dampak positif bagi penanaman nilai-nilai pendidikan multikultural. Peserta didik akan meneladani nilai-nilai multikultural yang mereka petik dari novel Laskar Pelangi untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan dengan latar atau setting cerita yang erat antara kehidupan nyata dengan cerita di novel.
Kedua pada jenjang sekolah menengah atas penulis merekomendasikan novel Yin Galema karya Ian Sancin. Novel populer bergenre fiksi sejarah ini mengangkat cerita Kerajaan Balok di Pulau Belitung pada zaman dahulu kala. Cover novel menampilkan ilustrasi seorang gadis Tiongkok yang cantik sementara cerita berlatar di tanah Melayu di Pulau Belitung. Hal inilah yang membuat novel ini semakin menarik. Seperti halnya novel Laskar Pelangi, novel Yin Galema ini pun memenuhi ketiga kriteria pemilihan bahan ajar.
Pertama dari segi kriteria bahasa, bahasa yang digunakan penulis dalam novel ini sangat sesuai dengan tingkat pemahaman anak usia sekolah menengah atas. Beberapa bagian yang menceritakan kisah asmara tokoh utama Yin Galema diceritakan dengan bahasa yang bisa dipahami anak sekolah menengah atas yang telah memasuki masa akhir usia remaja. Beberapa kosakata lokal dan asing dalam novel juga menggambarkan target pembacanya yang seusia anak sekolah menengah atas. Selanjutnya dari segi kriteria psikologis, kisah asmara Yin Galema dalam novel ini tentu sebuah selipan bumbu cerita yang setara dengan tingkat kematangan jiwa anak usia SMA yang telah memasuki masa pubertas. Unsur-unsur intrinsik dalam novel ini juga lumayan kompleks.
Misalnya saja, konflik cerita dihadirkan melalui permasalahan kehidupan orang dewasa lewat rasa cemburu. Alur ceritanya juga campuran antara alur maju dan mundur. Hal ini karena di beberapa bagian cerita seringkali tokoh mengingat masa lalu secara mendalam. Selain itu di awal cerita pada bab pertama sudah ditampilkan sebuah epilog yang merupakan penyelesaian dari peristiwa utama cerita. Loncatan-loncatan alur semacam ini hanya akan dipahami oleh anak dengan tingkat kematangan usia SMA. Terakhir dari segi latar belakang budaya, sama seperti novel Laskar Pelangi jelaslah kiranya kriteria ini menjadi alasan paling jitu untuk memilih novel Yin Galema sebagai bahan ajar pengajaran apresiasi sastra jenjang sekolah menengah atas di Pulau Belitung. Peserta didik akan memiliki ketertarikan khusus dengan novel Yin Galema karena rasa penasaran. Rasa penasaran akan kisah sejarah Kerajaan Balok yang hingga kini bisa mereka lihat sisa-sisa peninggalannya. Peserta didik secara tidak langsung akan merasa memiliki ikatan erat dengan novel ini karena setting cerita yang merupakan salah satu cikal bakal sejarah kerajaan di daerahnya.
Lantas mengapa penulis merekomendasikan novel terbitan Mizan Publika tahun 2009 ini menjadi salah satu alternatif bahan ajar yang merepresentasikan nilai-nilai pendidikan multikultural? Rasanya tidak berlebihan jika novel ini ditulis oleh pengarang karena ingin mempertahankan budaya toleransi etnis yang senantiasa terjaga di Pulau Belitung selama ini. Tak tanggung-tanggung kelima nilai-nilai pendidikan multikultural tergambar dalam novel ini. Pertama nilai demokratis tergambar jelas dalam novel ini melalui bentuk pemerintahan Kerajaan Balok yang mengikutsertakan andil seluruh rakyat lewat perantaraan wakilnya dan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban. Selain itu perlakuan yang sama pada seluruh rakyat dan asas musyawarah yang senantiasa dijunjung tinggi. Kedua nilai keadilan dalam novel ini terepresentasi dengan jelas lewat perlakuan dan kasih sayang seluruh anggota Kerajaan Balok kepada Yin dan kedua putri kerajaan lainnya. Raja dan istrinya tidak membedakan kasih sayangnya kepada Yin meskipun dia hanya anak angkat di kerajaan. Ketiga nilai toleransi tergambar jelas lewat dua bagian peristiwa dalam novel. Pertama saat Yin berduka atas kematian orangtuanya. Seluruh orang memberikan kebebasan kepada Yin untuk melarungkan dukanya. Mereka menghargai perubahan sikap Yin karena sedang berduka. Kedua kebiasaan Yin sebelum menjadi mualaf yang melakukan peribadatan sesuai keyakinannnya.
Kebiasaan ini dibiarkan oleh yang lainnya karena mereka menghargai keyakinan yang berbeda dengan mereka. Selanjutnya novel ini memuat banyak sekali prinsip-prinsip keagamaan di dalamnya. Ada banyak aktivitas rutin anak-anak di kerajaan yang menggambarkan kebiasaan beribadah. Selain itu ada banyak petuah dari sesepuh kerajaan mengenai pelajaran hidup yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip dalam agama islam. Terakhir representasi nilai-nilai kultural. Beberapa bagian cerita dalam novel menggambarkan perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat masyarakat Balok. Masyarakat Balok sebagai masyarakat Melayu menjunjung tinggi segala adat-istiadat dalam berbagai kegiatan sehari-harinya , seperti tata cara makan, tata cara pernikahan, tata cara pergaulan muda-mudi, dan tata cara adat cerai mati. Berbagai hal tersebut merupakan identitas masyarakat Melayu Balok.
Kegiatan pembelajaran pada hakikatnya adalah mencecap saripati dari materi pembelajaran untuk bekal dalam kehidupan. Bukan hanya sekadar menghapal dan merapal jengkal demi jengkal materi lantas setelahnya berlalu begitu saja. Menggunakan novel Laskar Pelangi dan Yin Galema dalam pengajaran apresiasi sastra selayaknya paket “combo”. Menanamkan nilai-nilai pendidikan multikultural secara menarik, mengenal dan memahami khazanah kekayaan budaya daerah sendiri, serta menumbuhkembangkan motivasi berliterasi, menulis dan membaca secara mendalam. Lalu darimana harus memulainya? Tentu dari diri kita sendiri dan mulai saat ini juga. Selamat “berubah” menjadi pengajar bahasa Indonesia yang “bermakna” pada seluruh pendidik bahasa dan sastra Indonesia, rekan sejawat yang tercinta.
Penulis : Apriani Yulianti, S.Pd. Gr.
(Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 3 Gantung)