Periset BRIN Soroti Dampak Pembangunan IKN Terhadap Pendapatan Daerah
JABARONLINE.COM - Hubungan keuangan pusat-daerah hari ini menarik perhatian para peneliti di Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri (PRPDN) BRIN. Apalagi sejak diundangnya UU. No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pelaksanaan desentralisasi fiskal dinilai semakin tidak jelas arahnya.
Apalagi dalam kurun waktu lima tahun terakhir, para akademisi dan peneliti apatis dan apriori terhadap kecenderungan resentralisasi politik dan pemerintahan. Bentuk dari kegelisahan tersebut, Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri (PRPDN) BRIN menggelar seminar nasional bertajuk “Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Yang Adil dan Bertanggung Jawab (05/12/2023) di Hotel Bidakara Jakarta”
Hadir sebagai narasumber yakni Horas Maurizt Panjaitan (Plh Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri), Sandi Firdaus (Direktur Dana Transfer Umum Kemenkeu), Tri Dewi Virgianti (Plt Deputi Bidang Pengembangan Regional KemenPPN/Bappenas), Rendi Solihin (Wakil Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara), Septian Hario Setio (Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves). Agus Eko Nugroho (Kepala OR Tata Kelola, Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat BRIN).
Dalam sambutannya, Agus Eko Nugroho mengatakan hubungan keuangan pusat-daerah masih dinilai tak adil bagi daerah, karena dana bagi hasil yang dialokasi ke daerah belum sesuai dengan ekspektasi daerah, terutama daerah penghasil sumberdaya alam. Sudah seharusnya daerah memperoleh porsi besar dana bagi hasil atas ekplorasi sumberdaya alam di daerah mereka.
Seminar ini juga menghadirkan Hetifah Sjaifudian (Anggota Komisi X DPR RI) yang mengulas berbagai persoalan sebagai dampak keberadaan Ibukota Negara (IKN) dalam hubungannya dengan kebijakan keuagan daerah.
Mardyanto W. Tryatmoko (Kepala PRPDN BRIN) dalam sambutan penutupnya bahkan mengatakan, bahwa keberadaan IKN mendegradasi potensi pendapatan daerah di Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar Rp. 5,8 triliun per tahun, dan potensi kehilangan dana bagi hasil dari sektor migas sebesar Rp. 1,9 triliun per tahun. Tentu saja kehilangan pendapatan daerah tersebut akan berdampak juga terhadap upaya Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara meningkatkan pembiayaan Pembangunan daerah mereka, termasuk Upaya menekan angka kemiskinan di sana, katanya.
Seminar ini diharapkan menjadi bahan pemikiran bagi seluruh pemangku kebijakan untuk menimbang ulang berbagai kebijakan hubungan keuangan pusat-daerah supaya hubungannya lebih adil dan bertanggung jawab.
(Disha/Spr)