Pokoknya¸ Kita Akan “Mudik”!
Tidak terasa Bulan Suci Ramadhan tahun ini akan sampai pada penghujungnya. Namun¸ kita masih dihadapkan pada dilema moral masyarakat terhadap pilihan mudik atau tidak. Saat ini¸ secara tegas pemerintah sudah melarang masyarakat untuk mudik ke kampung halamannya masing-masing agar penyebaran Covid-19 yang sudah hampir 3 bulan ini menjadi pandemic tidak meningkat.
Akan tetapi¸ himbauan pemerintah terkait hal tersebut nampaknya sulit untuk dilaksanakan secara utuh mengingat dilema moral yang terjadi pada beberapa individu lebih mengarahkan untuk tetap memaksa mudik. Misalnya¸ pada masa awal penerapan PSBB di beberapa daerah ditemukan beberapa kelompok yang nekat mudik dengan berbagai cara.
Apalagi setelah PSBB mengalami pelonggaran¸ peluang memaksa mudik tersebut semakin meningkat. Inilah yang menunjukan bahwa kecenderungan untuk tetap memaksa mudik masih ada. Namun¸ apapun yang terjadi kita harus paham bahwa cara berpikir bangsa kita dalam menghadapi persoalan mudik ini begitu beragam. Maka dari itu¸ diperlukan kesadaran pada setiap individu untuk berpikir dan bertindak secara bijaksana menyikapi dilema moral terkait mudik itu sendiri.
Di dalam ruang yang sifatnya kontemplatif¸ penulis mencoba merenungkan makna mudik ini ke dalam perspektif yang lebih mendalam lagi. Meskipun mudik saat ini merupakan aktivitas yang cenderung dianggap untuk tidak boleh dilakukan¸ namun pada dasarnya “mudik” merupakan sesuatu yang pasti akan dialami oleh setiap individu¸ lebih dari sekadar pulang ke kampung halaman menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ya¸ kita semua akan “mudik”.
Bukankah setiap ada orang yang meninggal lantas kita mengucapkan Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali)? Inilah bukti bahwa suatu saat kita akan “mudik”.
Terlepas dari makna mudik itu sendiri seperti apa¸ yang jelas firman Tuhan lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ini mengingatkan kepada kita sebagai manusia bahwa kita akan “mudik” kembali ke asal-usulnya (Sang Pencipta). Selama ini¸ makna mudik itu sendiri (mohon maaf apabila keliru) dipahami sebagai aktivitas berpulangnya seseorang ke kampung halamannya setelah sekian lama berada di perantauan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Maka¸ proses mudik yang selalu kita lakukan setiap tahunnya harus dipahami pula sebagai gambaran hakikat kehidupan manusia untuk selalu ingat bahwa suatu saat nanti pasti kita akan “mudik” kepada Sang Khalik. Maka dari itu¸ seyogiyanya kita harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk “mudik” yang tidak akan pernah kita ketahui kapan itu akan terjadi.
Lebih dari itu¸ pro kontra yang terjadi di masyarakat terkait larangan mudik ini memberikan pelajaran dan hikmah yang luar biasa bagi kita semua¸ terutama dalam suasana menjalankan ibadah puasa tahun ini. Perlu direnungkan¸ jika sebelum melakukan mudik kita selalu mempersiapkan/membeli pakaian yang bagus¸ maka “pakaian” yang harus kita persiapkan untuk “mudik” kepada sang Khalik pun harus bagus pula dengan cara mensucikan (bukan merasa suci) diri kita setiap saat.
Puasa yang telah dilaksanakan selama satu bulan penuh pun harus diimplementasikan dalam bentuk yang lebih mendalam lagi sebagai metodologi untuk senantiasa mensucikan diri kita dari hal-hal yang tidak baik. Selain itu¸ jika mudik tahunan menjelang hari raya Idul Fitri yang kita lakukan didasarkan atas kerinduan dan kecintaan kita kepada sanak saudara di kampung halaman¸ maka untuk “mudik” kepada sang Khalik pun harus didasarkan atas kerinduan dan kecintaan kita kepada-Nya.
Maka untuk menjadi pribadi yang penuh cinta dan kasih sayang¸ sudah seharusnya kita “berpuasa” agar tidak saling membenci¸ memprovokasi¸ serta memperlihatkan perilaku-perilaku lainnya yang merugikan orang lain. Bukankah hal ini lebih baik kita renungkan ketimbang ikut ke dalam ruwetnya persoalan mudik saat ini?.
Jika hal tersebut direnungkan tentu bisa menjadi modal bagi kehidupan kita sendiri di tengah pandemic covid-19 ini untuk selalu berupaya memperbaiki diri serta membangun kesadaran untuk mencintai sesama manusia¸ ketimbang saling lempar komentar negatif terhadap berbagai fenomena yang terjadi selama penanganan pandemic covid-19 ini.
Selain itu¸ hal tersebut dapat menjadi “pakaian bagus” untuk kita “mudik” kepada Sang Khalik. Lebih khususnya¸ cara memahami makna “mudik” mungkin bisa dilakukan dengan tidak memaksa mudik ke kampung halaman di tahun ini atau dengan tindakan lainnya yang relevan.
Dengan demikian¸ kita akan bermuara pada sebuah pertanyaan pokok: Jika memaksa mudik di tengah pandemic covid-19 ini masih dilakukan¸ akankah kita juga akan siap untuk memaksa “mudik” kepada Sang Khalik saat ini?. Tentu pertanyaan ini dikhususkan bagi penulis. Syukur-syukur dapat menjadi bahan refleksi untuk kita semua. Namun bagaimanapun itu¸ pokoknya kita akan “mudik”. Wallahu A’lam Bishawab.
(Penulis: Abdul Azis¸ Dosen Universitas Pendidikan Indonesia).