PPKM dan Dimensi Diskursifnya
Oleh : Yusep Ahmadi F
Mahasiswa Program Doktor Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia dan Dosen IKIP Siliwangi
Islitah PPKM merupakan singkatan dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Sebetulnya PPKM ini merupakan kelanjutan dari berbagai kebijakan yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Merajalelanya penyebaran Virus ini membuat pemerintah dengan sigap memberlakukan sejumlah kebijakan di semua aspek kehiduapan, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan, sosial, agama, budaya, pariwisata dll. Sebelum ada istilah PPKM pemerintah meberlakukan kebijakan dengan istilah PSBB, yakni singkatan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar. Secara umun esensi dari dua kebijakan itu sama, yakni membatasi ruang gerak masyarakat dengan tujuan agar penyebaran virus Covid-19 berkurang dan bahkan terputus. Istilah PPKM yang kemudian diproduksi dan direproduksi secara masif dan terstruktur berubah menjadi sebuah wacana yang menuai berbagai tanggapan. PPKM sebagai sebuah wacana tersebut telah membawa pesan dan perubahan sosial bagi masyarakat. Dan pada tataran seperti inilah wacana dapat dikatakan sebagai praktik sosial (Fairclough & Wodak, 1997).
PPKM, khususnya PPKM darurat dinilai memiliki aturan lebih ketat dibanding PSBB, oleh karena itu kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan penyebaran virus Covid-19 secara signifikan dan masyarakat Indonesia dapat terbebas dari bahaya virus Covid-19 ini. Akan tetapi, PPKM darurat yang diberlakukan pemerintah dengan tujuan yang baik tersebut ternyata tidak sepenuhnya diterima dan dinilai baik oleh masyarakat. Banyak golongan masyarakat yang justru dirugikan dan dibuat sengsara akibat pemberlakuan PPKM darurat ini. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terbatas kepada kelompok masyarakat, pada awal-awal pemberlakuan PPKM darurat yang sangat ketat mengakibatkan perekonomian para pedagang kecil, tukang tambal ban, dan semacamnya terpuruk bahkan berhenti. Mereka merasa pemberlakuan PPKM darurat tersebut justru membuat mereka susah. Alih-alih akan “disehatkan” dan dijauhkan dari bahaya virus, mereka justru merasa dizalimi atau merasa diperlakukan tidak adil. Hal itu disebabkan bantuan sosial untuk penanganan Covid-19 di beberapa daerah belum merata dan belum memadai, bahkan ada juga yang dikorupsi pejabat publik.
Di lain pihak, sekelompok masyarakat lainnya justru merasa PPKM darurat benar-benar membuat mereka merasa lebih nyaman dan aman. Akibat pemberlakuan PPKM darurat ini sebagian masyarakat dapat bekerja di rumah tanpa harus berjibaku di kerumunan kantor atau jalanan umum ketika sedang dan akan bekerja. Beberapa profesi seperti pengajar, programmer, pebisnis e-commerce, dan konten creator misalnya, dapat bekerja dari rumah atau melakukan Work From Home (WFH). Mereka benar-benar merasa sangat diuntungkan dengan pemberlakuan PPKM darurat ini karena walaupun mereka bekerja di rumah, mereka tetap mendapatkan gaji atau penghasilan sebagaimana mestinya.
Setiap wacana termasuk wacana PPKM, menurut Fairlclough (1992) memiliki dimensi diskursifnya. Dimensi diskursif wacana berkaitan dengan proses bagaimana wacana diproduksi/ direproduksi dan dikonsumsi. Dimensi diskursif wacana bergantung pada nilai-nilai, aturan, norma, konteks sosial dan ideologi si pembuat wacana dan si pengonsumsi wacana. Secara umum pemproduksi wacana PPKM darurat adalah pemerintah pusat. Namun, dalam tataran yang lebih opersional wacana PPKM darurat ini direproduksi oleh berbagai macam pihak, seperti perangkat pemerintahan dan media massa. Wacana PPKM yang direproduksi (ditampilkan dan direpresentasikan) oleh Satpol PP pasti berbeda dengan PPKM yang direproduksi oleh media massa tertentu yang kontrapemerintah atau oleh pihak tertentu yang merasa dirugikan.
Sebagai contoh, tampak bagaiamana oknum Satpol PP Semarang mengamankan para pedagang yang masih berjualan di masa pemberlakukan PPKM darurat dengan cara menyemprot warung dan merampas secara sepihak barang yang ada di warung. Hal itu tampak tegas namun tidak humanis dalam memberlakukan PPKM darurat tersebut. Hal itu pun menuai banyak kritik dari berbagai pihak, seperti dari Anggota DPR Fraksi PKS Bukhori Yusuf yang menyoroti tindakan arogan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Semarang dalam penertiban sejumlah warung usaha saat razia di masa PPKM Darurat (Merdeka.com. 8 Juli 2021). Uniknya setelah “kegaduhan” ulah oknum Satpol PP Semarang tersebut terjadi, wacana PPKM darurat ini direproduksi oleh Satpol PP Kota Bogor dengan representasi yang berbeda. Hal itu disebabkan ada proses diskursif baru yang menyertai wacana PPKM darurat tersebut, yakni kejadian yang ada di Semarang yang banyak menuai kritik. Sebagaimana yang diberitakan oleh Suara.com (14 Juli 2021) Satpol PP Bogor menegur para pedagang yang masih melanggar di saat PPKM darurat sambil membagikan sembako. Tentu saja hal semacam ini akan berpengaruh terhadap pemaknaan (pengonsumsian) wacana PPKM darurat oleh para pedagang yang masih melanggar tersebut. Dengan reproduksi dan representasi wacana PPKM semacam itu tentu dimaknai lebih positif dibanding dengan yang terjadi di Semarang. Hal semacam itulah yang oleh Fairclough (1992) disebut sebagai proses diskursif dan interdiskursif sebuah wacana.
Wacana PPKM tidak akan selalu menjadi wacana yang dapat direproduksi dan dimaknai sama oleh semua masyarakat. PPKM bisa dimaknai sebagai suatu kebijakan yang positif namun juga bisa dinilai sebagai kebijakan negatif, hal itu bergantung masyarakat mana yang mengonsumsi dan memaknainya. Terlepas dari semua itu, sebagai warga masyarakat yang baik mari kita reproduksi dan maknai wacana PPKM ini sebagai ikhtiar untuk menanggulangi wabah Covid-19 yang belum berakhir hingga saat ini.
***
Biodata Penulis
Nama: Yusep Ahmadi F.
Pekerjaan: Dosen IKIP Siliwangi (saat ini sedang studi Program Doktor Linguistik di Universitas Pendidikan Indonesia)