Refleksi R. A Kartini: Melanjutkan Perjuangan Hak Pendidikan Bagi Perempuan
Oleh : Irma Khairani (Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Nasional, Duta Baca Jawa Barat 2020)
“Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata… Dan bagaimanakah Ibu-Ibu bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”R.A. Kartini
Raden Ajeng Kartini dalam suratnya yang dikirim kepada salah seorang sahabat berkebangsaan Belanda yang bernama Nyonya Ovink menyampaikan bahwa, sangatlah penting bagi perempuan untuk mendapat pendidikan karena dari perempuanlah pertama kali manusia yang merupakan seorang anak mendapatkan pendidikan. Surat ini ditulis pada saat zaman kolonial, di mana perempuan tak dapat mengenyam pendidikan. Berbeda dengan saat ini, di mana peluang perempuan untuk mendapat pendidikan sudah terbuka lebar. Akan tetapi sangatlah mengecewakan jika melihat kenyataannya bahwa banyak perempuan yang tak dapat menikmati pendidikan.
Berdasarkan data statistik Kemdikdub (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) tahun 2017/2018 siswa laki-laki lebih banyak dari pada perempuan baik tingkat SD, SMP dan SMK. Pada jenjang SD siswa laki-laki sebanyak 13.288.345 orang sedangkan siswa perempuan 12.198.161 orang, jenjang SMP siswa laki-laki sebanyak 5.173.914 orang sedangkan siswa perempuan 4.951.810 orang, jenjang SMK siswa laki-laki sebanyak 2.798.615 orang sedangkan siswa perempuan 2.100.521 orang. Hanya pada tingkat SMA jumlah siswa perempuan lebih banyak dari pada laki-laki yaitu, siswa laki-laki sebanyak 2.128.893 sedangkan siswa perempuan 2.654.752.
Tentu banyak faktor yang menyebabkan keterbatasan kesempatan pendidikan bagi perempuan. Misalnya seperti faktor ekonomi, di desa masih cukup banyak perempuan di bawah umur yang dinikahkan karena keluarganya tak sanggup untuk memberi pendidikan yang tinggi.
Kemudian, pola pikir masyarakat yang maskulin dan patriarkal, perempuan dianggap hanya akan berperan pada ranah domestik yaitu, sumur, kasur dan dapur, perempuan hanya akan menjadi Ibu Rumah Tangga. Maka, tak ada urgensi untuk memberikan pendidikan tinggi bagi perempuan. Pertanyaannya, apakah masyarakat mengetahui substansi dari kodrat ? Apakah mengurus anak, sumur, kasur dan dapur itu kodrat?
Kodrat menurut Kamla Bhasin dalam bukunya Menggugat Patriarki merupakan potensi biologis yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan, yang secara fisik terberi sejak lahir. Mengurus anak, sumur, kasur, dan dapur bukanlah potensi biologis, karena hal tersebut dapat dilakukan baik laki-laki maupun perempuan. Kodrat yang sebenarnya memiliki makna sebagai peran kultural, di mana peran ini diciptakan oleh manusia melalui proses sejarah dan disosialisasikan terus-menerus, seperti mengurus anak, sumur, kasur dan dapur.
Indonesia juga telah mengatur hal ini dalam konstitusi, yang tertuang dalam undang-undang tentang hak asasi manusia dalam pasal 28C ayat 1 yang berbunyi:
“setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Pasal tersebut menyebukatkan “setiap orang berhak” yang berarti baik laki-laki ataupun perempuan berhak atas hak tersebut, berhak mendapat pendidikan agar laki-laki ataupun perempuan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Jelas, yang dapat merubah dan meningkatkan kehidupan tak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Maka sangat tak salah apabila perempuan mendapatkan pendidikan.
Semoga tak ada lagi kekhawatiran untuk memberi perempuan kesempatan yang layak untuk dapat berpendidikan. Apabila masyarakat telah sadar arti sebenarnya dari kodrat, segala pekerjaan yang selama ini ditimpakan sepenuhnya kepada perempuan dapat dikerjakan secara bahu-membahu oleh laki-laki dan perempuan, oleh suami dan istri. Sangatlah tepat apa yang disampaikan R.A. Kartini dalam suratnya, dari perempuanlah pertama-tama manusia mendapat pendidikan. Maka sangat baiklah apabila seorang Ibu juga seorang yang berpendidikan karena akan berdampak pada masa depan anak-anaknya, keluarganya dan dirinya sendiri.
Tulisan ini dibuat dalam rangka refleksi diri untuk mengenang perjuangan dari R. A. Kartini yang tak lama lagi hari kelahirannya akan kita peringati bersama-sama pada 21 April mendatang, dan mengenang pejuang perempuan lainnya. Mari teruskan perjuangan mereka, jangan kita sia-siakan.