RUU Cipta kerja VS Undang-undang Ketenagakerjaan
JABARONLINE.COM – RUU Cipta kerja resmi disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR RI. Berbagai reaksi muncul dari masyarakat, salah satu hal yang paling disorot adalah mengenai perubahan dan penghapusan beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK).
Di media social muncul perbandingan antara UUK dan perubahan dan penghapusannya di dalam Undang-undang Cipta Kerja, diantaranya mengenai aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak, aturan mengenai hari libur, pengupahan pekerja, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan lain-lain.
Baca Juga : PC IMM Kota Bandung, Menyuarakan Aksi Demo Tolak Omnibus Law di DPRD Kota Bandung
Namun apabila dilihat ke dalam Undang-undang Cipta Kerja lebih dalam, apakah perubahan dan penghapusan yang ada benar-benar membuat cilaka seperti yang santer beredar di media social? Disini penulis mencoba untuk mengulas perbedaannya satu-persatu berdasarkan cluster bahasan.
Perbedaan Waktu Istirahat dan Cuti dalam Undang-undang Ketenagakerjaan (UUK) dan Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja)
- Cuti Mingguan
Pasal 79 ayat 2 huruf b UUK: Istirahat mingguan dalam 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pasal 79 ayat 2 huruf b UU Cipta Kerja: Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Melihat perubahan diatas, Undang-undang Cipta Kerja tidak lagi memberikan pilihan istirahat mingguan dan menetapkan istirahat mingguan kepada pekerja yaitu 1 hari untuk 6 hari kerja.
2. Istirahat Panjang
Pasal 79 ayat 2 huruf d UUK: istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Pasal 79 ayat 5 UU Cipta Kerja: Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Dalam undang-undang baru ini istirahat panjang tidak lagi diatur dalam undang-undang namun diserahkan untuk diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, dengan begitu pekerja melalui perwakilannya dapat mengajukan usulan kepada pengusaha mengenai kesepakatan istirahat panjang.
3. Cuti Haid
Pasal 81 UUK mengatur mengenai cuti haid bagi perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit.
UU Cipta kerja tidak mencantumkan mengenai perubahan atau penghapusan pasal 81 UUK.
Tidak dicantumkannya pasal mengenai cuti haid dalam UU Cipta Kerja bukan berarti tidak ada lagi cuti haid, tetapi pengaturan mengenai cuti haid masih berpegang dengan ketentuan dalam UUK karena dalam UU Cipta Kerja tidak ada perubahan atau penghapusan pada pasal tersebut.
4. Cuti Hamil-Melahirkan
Pasal 82 UUK mengatur mengenai cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan yaitu 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan, juga 1,5 bulan cuti apabila mengalami keguguran.
UU Cipta kerja tidak mencantumkan mengenai perubahan atau penghapusan pasal 82 UUK.
Pasal mengenai cuti hamil-melahirkan masih merujuk pada ketentuan dalam UUK karena dalam UU Cipta Kerja tidak ada perubahan atau penghapusan pada pasal tersebut.
5. Hak untuk Menyusui
Pasal 83 UUK: Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
UU Cipta kerja tidak mencantumkan mengenai perubahan atau penghapusan pasal 83 UUK.
Pasal mengenai hak untuk menyusui masih merujuk pada ketentuan dalam UUK karena dalam UU Cipta Kerja tidak ada perubahan atau penghapusan pada pasal tersebut.
6. Cuti menjalankan Ibadah Keagamaan
Pasal 80 UUK: Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
UU Cipta kerja tidak mencantumkan mengenai perubahan atau penghapusan pasal 80 UUK.
Pasal mengenai cuti menjalankan ibadah keagamaan masih merujuk pada ketentuan dalam UUK karena dalam UU Cipta Kerja tidak ada perubahan atau penghapusan pada pasal tersebut.
Penulis : Devyani Petricia, SH
(Advokat pada Kantor Lumbung Hukum)