Sarjana di Tepian Baskom
SARJANA, KATANYA…
Tegar tersenyum, akhirnya mimpinya sebagai guru bergaji layak tinggal menunggu waktu. Menunggu ketuk palu Sang Pemangku Kebijakan yang belum bisa bijaksana. Bergaji layak merupakan doa lama yang tak pernah absen menyelip di antara deretan doa yang berderet bagai kereta api butut di negeri yang katanya tanah surga. Negeri makmur loh jinawi. Negeri para wali dan raja. Negeri para pelaut yang mulai hanyut, Negeri para petani yang perlahan-lahan hampir mati. Negeri yang mulai ngeri oleh serbuan globalisasi. Negeri yang hampir saja mati suri oleh jemari luar negeri. Negeri makmur jibar jibur. Negeri tongkat dan kayu jadi tanaman. Negeri indah tiada tara jangan sampai melarat apalagi sekarat meski banyak yang mudarat mending kita kopi darat.
Katanya, ya katanya. Sebab setelah lulus sarjana dengan nilai IPK di atas rata-rata, Tegar tak pernah menerima honor mengajarnya lebih dari satu juta rupiah dalam hidup dan mimpinya. Meski surga bukan berarti uang, melihat buruh-
buruh bergaji di atas dua juta membuatnya sedikit terpukul dan terpuruk dalam rasa bersalah dan gelisah. Tegar merasa bersalah kepada mak dan bapaknya yang telah membiayai kuliahnya dengan jerih payah, dengan keringat dan air mata. Dengan mengorbankan sepetak tanah yang tertinggal. Yang tersisa tinggallah yang tersisa.
―Lihatlah si Marno! Lulus SMA kerja di pabrik gajinya
lebih dari dua juta,‖ begitu sahut Mak Yati dengan maksud menyindir dan memotivasi Tegar.
Mak Yati ialah ibu yang setia menemani Tegar, sarjana kere yang belum berhasil.
―Lalu untuk apa kita sekolah tinggi-tinggi kalo nantinya
jadi seperti Tegar?‖ Begitulah gema-menggema di Kampung Babakan, Desa Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Kiranya begitu deru-menderu di kampung halaman Tegar. Tegar menjadi percontohan sebagian besar orangtua untuk tidak menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi, apalagi se- tinggi langit. Cukup sampai sekolah menengah atas saja. Buat apa kuliah? lebih baik kuli… ah.
Tegar punya telinga untuk mendengar keadaan sekitar, punya bola mata untuk melihat dunia sekelilingnya. Jadi tentu saja gunjingan kegagalannya lambat laun sampai juga ke hatinya. Berita itu datang melalui murid-murid polosnya yang mengelu- arkan kata spontan dan tanpa sensor di sekolah tempatnya mengajar.
Waktu itu, seperti biasa sebuah intermezzo mengawali pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Setelah bertanya apa
kabar dan mengabsen siswa, Tegar bertanya tentang cita-cita dan harapan siswa. Dado, salah satu murid bertubuh tambun, dengan polos dan lantang mengatakan sesuatu yang menghentikan sejenak detak jantung Tegar.
―Aku ingin menjadi buruh pabrik. Cita-citaku jadi buruh
pabrik yang sukses.‖
Ucapan Dado diamini seisi kelas. Sebuah cita-cita spontan dan lantang. Namun, menyayat hati Tegar. Lagi-lagi Tegar hanya menghela napas dalam-dalam. Ada guratan pilu di wajah- nya. Ada garis sendu mendalam di matanya. Ada lukisan kelabu melingkar di benak Tegar. Ia kembali menghela napasnya da- lam-dalam.
Di tepian baskom Tegar melamun. Baskom berisi kue kreasi Mak Yati enggan ia titip ke koperasi dan kantin sekolah di ujung ruang kelas. Tegar bukannya tak butuh uang, cita-cita Dado, siswa berbadan tambun, yang membuatnya enggan mengantarkan combro and the gank ke koperasi sekolah. Tegar merasa sangat gagal menjadi contoh untuk siswa-siswanya. Me- rasa tak bisa memberi teladan. Mungkin jika Tegar tak nyambi di sekolah sebagai tukang kue, siswa-siswanya punya mimpi kuliah seperti dirinya. Tak ada yang salah dengan buruh pabrik memang, tapi buku The 8th Habit karangan Stephen R. Covey membuatnya gelisah gundah gulana bukan main.
Zaman akan memakan buruh-buruh dengan lahap tanpa ampun dan tak berperikemanusiaan. Kapitalis. Robot-robot menggantikan peranan manusia. Mereka yang bekerja dengan fisik semata akan pu- nah dengan sendirinya.
Jepang misalnya. Negeri Matahari Terbit yang pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun itu pun telah mengganti peran pramusaji dan tentara dengan robot-robot super canggih ciptaan mereka. Andong di Indonesia pun mulai punah dan berganti oleh mesin beroda dua yang kita kenal sebagai ojek. Ojek-ojek menyingkirkan peranan andong dengan sendirinya. Jasa ojek online menghambur di kota-kota besar. Andong-andong melangka. Ojek-ojek beranak-pinak tanpa ba- pak. Teknologi seakan memperkosa nilai-nilai tradisonal yang agung. Itulah yang ditakutkan Tegar. Kegelisahan Tegar yang mungkin tak terpikirkan oleh sebagian orang. Tak terbayangkan oleh banyak orang.
Cara terbaik mengubah pola pikir murid dan masyarakat hanyalah dengan menunjukkan kesuksesan. Sayangnya, kesuksesan sebagian besar masyarakat sering diibaratkan gelimang harta. Karena Tegar tak punya apa-apa setelah lulus sarjana, maka tergolonglah ia sebagai manusia gagal. Manusia tidak sukses. Apa yang mesti ditunjukkan Tegar selain keseder- hanaan dan keramahtamahan? Selain kejujuran dan nilai-nilai luhur budi pekerti? Bukankah semua itu kekayaan? Bukankah? Ah, hanya segelintir orang yang akan beranggapan bahwa etika dan moral adalah kekayaan yang hakiki.
Meski begitu, tak seluruh masyarakat memandang sinis pekerjaan Tegar sebagai guru, beberapa orang masih menghargai dan menghormatinya. Toh kesuksesan si Encep, tetangganya itu, pun berkat guru IPA-nya di sekolah dasar yang mengajarinya membuat sabun, bukan menghafal pengertian
sabun dan zat-zat yang terkandung dalam sabun. Ingat itu! Di tepian baskom, Tegar merenung.
Haruskah sarjana pendidikan seperti dirinya membuat sa-
bun?
Tentu saja membuat sabun bukan pilihan terbaik bagi
Tegar. Ia paham tak punya keterampilan dan minat untuk menjadi pengusaha sabun seperti si Encep, tetangganya yang tergolong sukses.
Di tepian baskom Tegar kembali melamun, kembali me- renung. ―Sabun?‖ Otaknya berpikir keras. Berpikir dan berpi- kir. Gelisah dibawanya dalam sarapan pagi, dalam tidur dan mimpi, dalam jamban saat buang air besar, di kelas saat mengajar, di ruang guru saat melamun. Tegar berpikir keras mencari dan mencari jalan keluar atas masalah dan permasalahan hidup dan kehidupan.
|
KENANGAN… KENANGLAH
Daaris duduk dekat deretan bangku kuliah yang sedikit goyah yang mulai pikun oleh sang waktu. Sampah-sampah tisu dan bekas minuman mineral berserakan di lantai ruang kelasnya yang sederhana bercat putih yang mulai kusam warnanya. Tong sampah seperti tiada guna. Gunanya tiada. Kesadaaran pemilik sampah mesti diingatkan dengan sanksi. Mereka yang mem- buang sampah sembarangan mesti dihukum seberat-beratnya. Seadil-adilnya.
Mata Tegar menerawang menembus sinar yang menyelinap lewat jendela nako ruang kuliah yang terasa sunyi. Kaca-kaca yang sedikit berdebu sesekali membuat Tegar bersin. Motor-motor menyemut di lapangan parkir bertarif tanpa atap. Ada goresan pensil 2B dengan kata-kata sedikit nakal dan frontal berceceran di keramik putih polos ukuran 30 meter yang sedikit pun tak menggoda Tegar untuk membacanya.
―Sendiri lagi?‖ tanyaku.
―Yap,‖ jawab singkat pria berambut poni yang kocak tapi menjengkelkan bagi sebagian besar teman-temannya di kelas A. Kocak sebab ia suka melawak dan bercanda tapi, lebih sering terlihat asyik menyendiri dengan pensil kayu bermerek AB, penghapus putih, dan file bututnya bergambar penyair W.S. Rendra dan Erros Sheila On 7. Bagi Daaris, imajinasi adalah segalanya, maka dalam sesi diskusi di kelas ia sering kali nyeleneh dan sukar dimengerti oleh beberapa orang. Imajinasinya di luar jangkauan teman-teman sekelasnya. Tegar sendiri kadang mengerti, tapi lebih sering tidak paham. Sebagian malah mencemooh dan mengolok-olok. Namun, jangan tanya kemampuannya berpuisi dan bermusik, ialah jagonya. Daarislah sang juaranya. Beberapa mengakuinya, sebagian biasa saja, dan selebihnya memuji di depan kemudian mencemooh di belakang karena iri. Ya… sebuah rasa yang menandakan ketidakmampuan. Tegar sendiri menikmatinya mesti kadang tak mengerti maksud puisi yang dibacakan Daaris.
―Absurd,‖ pikir Tegar.
Tak terasa kursi-kursi mulai penuh oleh mahasiswa kelas A semester dua angkatan sebelas, rekan sekelas. Tegar bergegas mencari tempat di barisan terdepan. Prinsip Tegar yang terdepan ya duduk di depan. Duduk di belakang, menurut Tegar, adalah suatu kebodohan dari bagian budaya feodal yang menempatkan pribumi untuk duduk di belakang para priyayi dan bangsa asing. Duduk di belakang membuat mata biru Tegar mengantuk, belum lagi jajaran belakang sering kali diisi oleh mahasiswa yang tak punya motivasi belajar. Mahasiswa yang
sesekali mencuri-curi bermain ponsel atau mengobrol pelan bergosip riang. Istilah Tegar, mahasiswa sebatas mahasiswa. Tapi, itu tentu saja berbeda dengan ―si Poni‖, panggilan akrab Tegar untuk Daaris, yang sedikit ngeyel dan tak pernah mau duduk di deretan depan dengan satu alasan: kita berbeda atau kita unik. Satu manusia dengan manusia lainnya berbeda. Selain itu, Bhinneka Tunggal Ika selalu jadi jurus utamanya untuk ngeles dan menang dalam perdebatan panjang tanpa presenter cantik seperti Tina Talisa dan Najwa Shihab.
Hangat? Ya tentu saja. Pagi ini perkuliahan strategi belajar mengajar, dosennya seorang ibu berkacamata dengan tatapan mata yang tajam dan wibawa keibuan. Kharismatik dan berwibawa. Beliau terlihat selalu bersemangat dan penuh perencanaan. Beliau salah satu dosen favorit Tegar dan Daaris. Ya, Bunda, begitu sapaan Tegar dan Daaris kepada beliau, piawai menguasai kelas. Kisah inspirasi sebelum pembelajaran yang memotivasi merupakan sarapan yang mereka berdua tunggu-tunggu. Sangat menyentuh. Selain itu, model-model pembelajaran yang menarik membuat Daaris yang tak pernah memuji turut berkomentar.
―Mestinya guru-guru ketemu Bunda, biar tahu caranya
mengajar. Biar mengerti strategi mengajar. Biar belajar mengajar lebih mengasyikkan,‖ ketus Daaris berkomentar di kantin kampus sambil menikmati sajian makan siang.
Selain itu, perjumpaan Daaris dengan Bunda, Dr. Hj. Eri Sarimanah, M.Pd, membuatnya mengerti potensi lain dalam dirinya. Maklum, yang Daaris pahami tentang dirinya hanyalah
menciptakan lagu dan berteater. Tapi siang itu, lewat sedikit sentuhan di pundak, pujian atas kemampuan membaca dan memahami wacana membuat Daaris sadar bahwa kecepatannya membaca melebihi teman-temannya, termasuk Tegar sahabat- nya yang meraih IPK tertinggi di kelas. Sejak hari itu, membaca adalah kegemaran baru Daaris yang merenggut sebagian cintanya pada gitar kusam bergambar Sheila On 7. Buku adalah teman, membaca itu sahabat, dan menulis adalah saudara kembar. Bermusik dan bersastra adalah jiwa, adalah ruh. Mem- baca membuatnya produktif menulis.
Coretan tinta biru terakhir yang Tegar baca di file Daaris menggambarkan bahwa ia bukanlah seorang ahli gambar. Namun, ia seorang penulis, guru, seniman panggung, dan pengusaha.
―Sebuah keinginan yang terlalu rakus dan mustahil,‖ pikir
Tegar.
Namun, untuk Daaris, keyakinan adalah segalanya. Kalaupun semuanya tak teraih, paling tidak dia sudah mampu mengutarakannya pada Tuhan. Pernah punya mimpi. Pernah bermimpi.
Buat Daaris juga, ―Seseorang tidak lebih besar daripada
impiannya, gagasannya, harapannya, dan rencananya. Seseorang mempunyai impian dan impian untuk memenuhinya. Impian itulah yang menjadikannya seseorang.‖
LEFT VS RIGHT
―Imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan, Gar. Temu- kan potensi dirimu, lakukan yang kaugemari dan yang kaumi- nati, yang kau sukai yang menjadikan kau senang dan dianggap bukan beban. Dua puluh persen otak kiri, delapan puluh persen otak kanan, bukan setengah-setengah. Bukan setengah- setengah. Dunia telah membuktikan bahwa pengguna otak ka- nanlah yang menguasai dunia. Mereka yang berimajinasi dan berkarya…. Tapi, mesti kauingat aku ini minoritas karena sejak SD sampai perguruan tinggi kita dididik untuk mengembangkan otak kiri saja, padahal yang terpakai di masyarakat sering kali justru sebaliknya.‖
―Sebagai contoh Gar, pesepak bola kaya Ronaldo dibayar
mahal bukan karena hafalannya tentang pengertian sepak bola, jenis-jenis menendang atau hafal luas lapangan sepak bola. Keterampilan bermain bolalah yang menjadikannya bernilai mahal dan dielu-elukan jutaan umat manusia. Contoh lain, Reza
Rahardian dibayar fantastis bukan karena hafalannya mengenai pengertian drama atau jenis-jenis drama, melainkan karena keterampilannya bermain drama dalam layar lebar. Hafalan tadi di otak kiri, nah aplikasinya bagian otak kanan, Gar. Right?‖
―Gar, sebagai golongan pengguna otak kanan, aku pun
butuh teman golongan pengguna otak kiri karena pengguna otak kanan biasanya ceroboh, kurang teliti, tidak suka diatur- atur, tidak sistematis, sedikit ngawur. Atas dasar itulah aku berteman denganmu. Biar kita saling mengisi dan saling melengkapi. Saling mengoreksi dan meluruskan. Bukan saling menjatuhkan atau menjauhi. Kuncinya kita mesti saling mema- hami dan menghargai.‖
Lamunan bertepi, seekor anak tikus kehitaman melompat ke dalam baskom merah yang warnanya memudar. Tegar ter- jaga. Kaget. Ada amarah dan kesal. Tegar berlari meraih sapu, mengejar tikus-tikus nakal bukan koruptor tapi sama kotor. Masuk sang tikus pada meja belajar tua nan usang dimakan rayap. Tertinggallah kotoran tikus yang berceceran di buku- buku lama perkuliahan Tegar. Pemandangan menjijikkan itu menggelitik batin sarjana berprestasi seperti Tegar di tumpukan buku lama bersama butiran kayu yang rapuh termakan waktu. Seiring lenyapnya tikus, ada secarik kertas dengan gambar gedung sekolah dan sosok menyerupai Tegar sebagai pemiliknya dengan identitas kecil bertuliskan: Daaris, Sang Pembelajar.
Kerinduan memang hadir seperti embusan angin laut, se- maunya, bahkan tersembunyi penuh misteri. Kerinduan itu
pulalah yang membawa Tegar tersenyum mengenang masa ku- liahnya bersama Daaris. Kekonyolan, canda, dan tingkah aneh di luar imaji membuat empat tahun terasa singkat dan berlalu begitu cepat untuk sebuah kisah bernama persahabatan. Meski selalu bersama, tak pernah ada rasa bosan, justru memperkom- pak dan mempererat. Di mana ada Tegar, di sana ada Daaris. Begitu pun sebaliknya, di mana ada Daaris, di sana ada Tegar.
Sebuah persahabatan mirip lagu Dudung dan Maman milik
band The Changcuters serta mirip cerita anak dari negeri Jiran Upin & Ipin. Perpisahan dirasa secepat cahaya mentari yang hadir di bumi dan sekilat petir di tengah rintik hujan bulan Juni. Hujan di bulan Juni.
―Apa kabar, teman?‖ bisik Tegar dalam hati yang mengge-
napkan kerinduannya yang agak lucu.
Tegar benar-benar dilanda kangen bersama mimpi, angan, dan harapan sukses yang terlukis di dinding hati yang biasa Te- gar panggil ―Bintang Harapan‖. Kerinduan itu pun memuai ber- sama malam biru dengan segala keindahan dan misteri di da- lamnya. Malam penuh tanya. Tanya pada malam biru. Langit penuh titik cahaya bintang yang kerlap-kerlip menggoda. Siapa penguasa bintang? Siapa pencipta bintang? Tuhanlah pencipta bumi, langit, dan seisinya.
|
TERSELIP DI BALIK DUKA
Gelap terasa ada dan nyata, terjaga di tengah malam meru- pakan rutinitas Tegar yang membawanya merasa nyaman dalam ketiadaan dan ketidakberpunyaan. Sebab lewat malam, Tuhan menyejukkan dan mendamaikan hatinya. Lantunan Alquran fasih berkumandang merdu menyirami kalbu nan layu. Hati yang tersiram. Sebab malam merupakan ketenangan dan kedamaian sentosa. Sepenggal doa setelah salat tahajud meng- getarkan hati Tegar, bibirnya melantunkan doa, kedua tanganya menengadah ke Arsy tempat Sang Pencipta bersemayam. Ber- doalah Tegar penuh khusyuk.
“Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Engkaulah penegak langit,
bumi, dan alam semesta serta segala isinya. Bagi-Mulah segala puji. Engkau Raja penguasa langit dan bumi. Bagi-Mulah segala puji, pe- mancar cahaya langit dan bumi. Bagi-Mulah segala puji, Engkaulah yang hak dan janji-Mu adalah benar. Perjumpaan-Mu adalah hak, Firman-Mu adalah benar, surga adalah hak, neraka adalah hak, nabi-nabi adalah hak benar, Nabi Muhammad saw. adalah benar,
dan saat hari kiamat itu benar. Ya Allah kepada-Mulah kami berserah diri (bertawakal), kepada Engkau jualah kami kembali, kepada-Mulah kami rindu, dan kepada-Mulah kami berhukum. Ampunilah kami atas semua kesalahan yang sudah kami lakukan dan yang sebelumnya, baik yang kami sembunyikan atau kami nyatakan. Engkau lagi Tuhan yang terdahulu dan Tuhan yang terakhir. Tiada Tuhan melainkan Engkau Allah Rabbul-alamin, Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan Allah.”
Tegar beristigfar beberapa kali. Kemudian beranjak dari posisi berdoa. Malaikat-malaikat Allah azawajala mencatat doa- doa umat manusia tanpa terlewat. Tanpa pernah terlewat.
Tegar kemudian bergegas meraih tumpukan berkas
lembar jawaban siswa-siswa yang belum sempat terjamah dan terdampar lesu di meja kerjanya yang sendu dan rapuh oleh waktu. Meja kerja pemberian tetangganya yang iba pada ke- luarga Mak Yati. Tegar sempat menolak, tapi Nek Encah terus memaksa, terus mendesak. Terus-menerus. Hingga tak ada alasan untuk menolak pemberian.
Tegar paham betul pentingnya evaluasi dalam proses pembelajaran, tidak ada pembelajaran tanpa evaluasi dan sebaliknya, tidak ada evaluasi tanpa pembelajaran. Begitulah kiranya pesan dari Dr. Roy Sandi Rahmat, M.Pd saat perkuliahan evaluasi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di masa silam yang membekas dalam hati. Dosen bercambang dan bertopi mirip penyair Putu Wijaya itu memang ahli dalam mata kuliah evaluasi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain itu, puisi karya Agus R. Sarjono yang pernah dibaca
Tegar saat lomba Kreasi dan Bahasa Indonesia selalu menghantui dan memaku dalam hati Tegar bila ingin bermain- main dengan nilai. Bayangan itu menari-nari dalam benaknya. Tegar membaca dengan penghayatan tingkat tinggi dan ekspresi yang memecah sunyi.
Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono
Selamat pagi Pak, selamat pagi Bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu. Karena tak cu- kup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi per- hatian dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.
Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah
pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai
panglima palsu. Mereka saksikan ramainya perniagaan
palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan
mendatangkan berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan
hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka uang-
uang asing menggertak dengan kurs palsu sehingga semua
blingsatan dan terperosok krisis yang meruntuhkan peme-
rintahan palsu ke dalam nasib buruk palsu. Lalu orang-
orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mende-
batkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu
yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.
Tepuk tangan peserta berderai, juri pun terpukau. Gadis mungil di sudut panggung menatap penuh harap.
―Andai aku…,‖ bisiknya dalam hati.
Sambil menunggu panggilan azan subuh, Tegar mengoreksi dengan pulpen merah satu demi satu karangan narasi deskripsi siswa. Sebenarnya, tak ada kesalahan dalam proses pembelajaran, hanya saja ia mesti meluruskan hal yang salah sebagai bentuk evaluasi. Tegar selalu menegaskan pada siswa-siswanya bahwa kesalahan itu hal biasa. Thomas Alva Edison dalam percobaannya 999 kali gagal dan pada percobaan keseribu itulah ia berhasil. Jadi, jangan takut mencoba.
Bersama alunan merdu azan yang memecah sunyi di ujung
masjid, tugasnya sebagai guru mengoreksi pun berakhir. Hasil- nya cukup menggembirakan, membuatnya tersenyum bangga. Meski masih banyak yang mesti diperbaiki, siswa-siswa SMP mampu mengarang dengan keterpaduan dan sesuai dengan to- pik yang diinginkan Tegar. Alhamdulillah, ada bangga berge- rayang hangat. Pembelajaran berhasil.
Tema karangan adalah keluarga. Siswa diminta mendeskripsikan ruang kamar tidur. Siswa berkelompok untuk mendiskusikan kamar tidurnya masing-masing. Kemudian mencari kata-kata pilihan untuk dirangkai menjadi kalimat. Pembelajaran bahasa hendaknya utuh dan terpadu. Pendekatan whole language, kenangan Tegar pada Prof. Sabarti M. K. yang sangat menginspirasi Tegar di masa kuliah. Pembelajaran akan membentuk pengetahuannya sendiri dengan tidak memisah- misahkan empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis yang diajarkan terpadu dan alami.
―Gar, ingat! Siswa membentuk sendiri pengetahuannya
dan belajar secara nyata. Hendaknya kamu membaca buku karangan Goodman dan Weaver untuk memahaminya lebih dalam. Baca, ya! Bukunya nanti Ibu pinjamkan,‖ tutur beliau. Dosen super pengamal ilmu ―padi‖ di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia.
―Baik, Prof. Terima kasih.‖
Tegar tak sabar ingin membaca, ingin melahap.
Lamunan Tegar berakhir di ujung pena yang berkeringat usai berlari penuh lelah di tempat yang terasa panas dan gerah. Sesekali ia mengipaskan bukunya, menciptakan sedikit embusan angin menahan gerah yang menjadi-jadi.
Dari karangan siswanya tersebut, Tegar mengenal sebagian dari kehidupan siswa-siswanya, anak-anak yang dididik dengan ketidakberadaan. Anak-anak yang berkeinginan sekolah lebih besar dari rasa takut ditampar ayah karena mengamen lebih menjanjikan daripada seharian di sekolah untuk belajar. Anak-anak yang menganggap hujan sebagai rahmat Tuhan karena dari mengojek payunglah mereka menikmati semangkuk bakso dan cilok saat jam istirahat di kantin. Membeli sesuatu dari hasil jerih payah sendiri rasanya akan berbeda dengan membeli dari pemberian. Rasanya berbeda, ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata ataupun kalimat. Berbeda. Kepuasan tersendiri dan rasa sayang menjajankannya. Jadi dilema, tapi aroma bakso Mas Saimo selalu menggoda. Lahap
penuh tawa. Semoga besok hujan kembali. Hujan artinya rahmat. Rahmat bukan berarti hujan.
Tegar mengerti betul keadaan siswa-siswanya. Ia juga pa-
ham bahwa tidak semua orangtua mengerti pemikirannya. Bahwa sekolah merupakan salah satu tempat untuk mencari ilmu, di sinilah anak-anak akan membangun mimpinya untuk tidak hanya mengamen dan mengemis. Di balik Istana Bogor terselip derita siswa-siswa Tegar. Maka, saat meja-meja di ruang kelas yang penuh coretan spidol hitam dengan nama- nama samaran dan tipe-x yang memperkumuh ruang kelas tanpa kehadiran bocah-bocah lugu berseragam putih biru, Te- gar seakan mengerti kenapa hari ini siswa-siswa absen. Bersekolah berarti mengeluarkan uang, sementara mengamen artinya menghasilkan uang. Orangtua yang belum paham masa depan karena perut tak bisa mengerti arti lapar, apalagi mesti menunggu sampai masa depan, menunggu sampai nanti. Kerja itu menghasilkan uang, sekolah menghabiskan uang. Sebuah pandangan salah kaprah, tapi Tegar tak berani menyalahkan, tak mampu mengutarakan. Sebab lapar mudah membangkitkan amarah. Lebih dari itu, kelaparan kadang memperkosa keimanan dan menelanjangi agama.
Jika beras beserta lauk-pauk sudah menggenapi keluarga
mereka, Tegar yakin meja-meja kelas akan terisi dengan sendirinya. Kelas akan riuh oleh canda tawa. Lalu saat guru petugas piket bertanya adakah yang tak hadir, kelas pun menjawab kompak, ―Nihil,‖ yang berarti tidak ada yang absen.
Guru piket memuji seraya mengacungkan jempol. Seluruh siswa tersenyum. Tegar turut tersenyum.
Tegar tidak sendirian di ruang guru yang lusuh
bertumpuk berkas dan buku-buku tugas yang menyapa dengan hampa. Gerah terasa, sinar mentari menerobos dengan paksa lewat pintu ruang guru yang kusam tak terjamah perawatan berkala. Ia menyelinap lewat, tanpa permisi dan salam selamat pagi mentari. Semaunya, Tuhan punya kuasa. Ia Maha Menghendaki.
Celah-celah udara berdebu tak terjamah penjaga sekolah yang sudah tua dan beruban. Mengobrol bukan ingin Tegar, tapi berdiam membisu membentuk persepsi buruk. Menyapa saja tak cukup bermartabat di sekolah ini. Basa-basi juga masih kurang dirasa. Manusia kadang lupa bahwa kita tercipta dengan satu mulut dan dua telinga, itu artinya Tuhan meminta kita untuk lebih banyak mendengar dari pada banyak berbicara. Tapi bincang-bincang Ibu Dian dan Pak Udi lewat juga ke te- linga kanan Tegar dan membekas pada memorinya yang tajam. Selalu sama topik pembicaranya, tentang kesejahteraan guru, tentang upah yang kurang dari Rp15.000,00 per jamnya, tentang keadilan yang tak adil. Di mana Pancasila?
Lusa Bu Dian pergi tanpa kabar. Menghilang bagai hantu,
tak berbekas seperti kentut. Siswa-siswa kehilangan bidadari kelasnya. Anggun, kulitnya yang kuning langsat dibalut dengan hijab menambah kecantikannya. Ibu cantik, ibu lucu. Hasilnya anak-anak terlihat terbengkalai bersama ruang kelas gaduh yang tak ubahnya pasar tradisonal menjelang hari raya besar umat
Islam. Ribut tak terkendali bagai angin tornado yang berputar- putar. Tegar mengamati dari ruang guru penuh cemas dan gelisah. Siapa yang salah? Yang tak bersalah anak-anak generasi penerus bangsa yang lugu dan sedikit dungu. Duka pendidikan mendung di langit cakrawala di nusantara. Indonesia berkabung untuk sementara.
Tegar berinisiatif memberikan tugas tambahan berupa
Lembar Kerja Siswa (LKS) dan berpesan jangan ribut.
―Huus, anak-anak jangan ribut, ya,‖ pinta Tegar seraya telunjuknya menyentuh bibir.
―Kerjakan LKS halaman 66, ya. Tugasnya dikumpulkan di
meja piket!‖ lanjut Tegar.
―Baik, Pak!‖ seru kelas sembilan A dengan lesu sambil menggerutu.
―Kasihan kelas sebelah sedang belajar,‖ mohon Tegar pada
siswa yang tak memanfaatkan momen bebas.
Belum lepas ingatan kepergian Bu Dian, seminggu kemudian Pak Edi, guru senior yang ambisinya menjadi kepala sekolah, terjegal pihak yayasan yang kurang suka sifat buruknya menghasut guru-guru untuk kenaikan honor. Ia akhirnya dipecat dan hilang bersama kenangan yang menggebu penuh nafsu serta kekecewaan.
Di sekolah ini tak ada ruang bebas untuk guru-guru yang kritis, juga terasa sempit untuk guru-guru beridealisme tinggi. Meski demokrasi dijunjung tinggi dan digembor-gemborkan di ujung tiang tertinggi, nyatanya cuma yang pandai menjilatlah yang mendapat ruang luas meraih jabatan dan dilibatkan dalam
segala kepanitiaan serta mendapatkan jabatan lebih cepat dari semestinya. Karena gaji guru relatif kurang, maka sampingan dari kepanitiaanlah yang menjadi rebutan. Menjadi pemicu konflik dan kecemburuan. Saling sikut mirip kucing yang bere- but ikan dan tulang belulang. Lapar. Meong… meong…
Di sekolah ini kritis itu dilematis, sementara like or dislike juga virus yang belum ada obatnya di apotik ataupun rumah sa- kit berstandar internasional. Jangan bicara kompeten di sini, bicara saja perihal yang menguntungkan yayasan dan para pe- tinggi sekolah. Puji-pujilah pimpinan dan ketua yayasan dengan senyum palsu dan kinerja palsu. Pernyataan Soe Hok Gie ―lebih baik diasingkan daripada menyerah dalam kemunafikan‖ sudah tak laku, sudah jadul, sudah kuno, sudahlah…. ―Lebih baik menjadi penjilat daripada diasingkan‖ jadi pedoman baru yang laris manis di tempat ini, di ruang kemunafikan bersama kepal- suan yang diagung-agungkan melebihi segala-galanya. Mereka yang menjilat secepat kilat meraih jabatan. Melesat bagai roket, kemudian akan terjatuh saat rezim berganti. Begitulah yang dipelajari oleh Tegar. Suasananya mirip dengan puisi pamflet karya Daaris beberapa tahun silam.
Kemerdekaan di atas kaki sendiri yang kukagumi Kadang
merepotkan. jiwa-jiwa yang menTuhankan manusia kadang diuntungkan. Mereka tak terjamah aturan. Melesat bagai ro- ket. Kemudian terjatuh secepat kilat saat rezim berganti.
–kataberkata-
Tegar mengenang kebersamaannya bersama Pak Edi beberapa minggu yang lalu di ruang guru. Bicara empat mata, berdua saja berteman angin. Bola matanya merilik kanan kiri mengawasi sekeliling ruang. Berbicara pelan. Sedikit mirip berbisik.
―Ini bukan kerja sosial, Pak Tegar. Ini yayasan, benar gak?
Dari dulu saya ngabdi jadi guru di sekolah ini, tapi mana balasannya? Yang capek siapa? Yang kaya siapa? Buat makan saja saya kas bon sana-sini. Ngutang sana-sini. Mesti ada revolusi besar-besaran, Pak. Pak Tegar mau bantu saya?‖
―Bantu apa?‖
Teng teng teng, bel masuk mengharuskan Tegar pamit dan meninggalkan Pak Edi tanpa koalisi dan komitmen yang pasti.
Tegar tak mengiyakan ajakan Pak Edi. Kemudian pamit izin untuk kembali mengajar. Itulah kenangan terakhirnya bersama Pak Edi yang membuatnya penuh tanya. Siapa yang
salah dan mesti dipersalahkan? Siapa yang mesti dipersalahkan dan salah? Siapa yang salah menurut Tuhan?
Sepi sendiri itu semakin dekat lagi nyata adanya. Ruang
guru laksana pemakaman di perkampungan kuno yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan. Sunyi. Mencekam dan senyap oleh sepi yang kesepian. Hanya ada Bu Nani, Pak Tohir, dan Pak Amad Fattanah selaku kepala sekolah yang juga bertugas sebagai pegawai negeri sipil di SMP Negeri Ciawi. Bapak Kepala Sekolah memang hanya tiga hari saja hadir di SMP, tugasnya digantikan wakil kepala sekolah bila beliau berhalangan. Wakil kepala sekolah merupakan kerabat pemilik yayasan dan kepala sekolah. Dinasti sekolah dibangun sekokoh Tembok Cina dan setinggi Menara Eiffel di Paris, Prancis. Nepotisme merajai, merasuki ruang-ruang pendidikan yang suci lagi bersih, dan mengubahnya menjadi benalu dan bakteri. Bukankah jabatan yang dipegang oleh bukan ahlinya hanyalah menunggu kehancuran. Menunggu hancur. Right? Datanglah beberapa tahun lagi ke sekolah ini. Waktu akan menjawabnya! Waktu akan menjawab tanya dan kegelisahan. Tapi Tuhan gak pernah ingkar, gak pernah boong.
Menyalahkan keduanya tentu bukan hal bijak. Menyelesai- kan masalah kronis dunia pendidikan yang sudah akut juga bu- kan hal yang dibenarkan. Setiap manusia punya hak untuk me- milih jalan hidup sesuai hati dan keinginannya, termasuk pilihan Pak Edi dan Bu Dian. Begitu pula dengan Tegar yang bertahan hampir tiga tahun di sekolah yang membayarnya dengan kece- riaan, ketulusan, dan semangat belajar siswa-siswa serta warna-
warni ketidakberadaan yang membuatnya lebih bersyukur atas hidup dan kehidupan keluarganya. Sampai pada akhir, sebuah pertanyaan yang tak pernah mampu dijawab.
―Kenapa guru-guru di sekolah kami sering pamit dan
berganti, Pak?‖ sebuah tanya dari siswa-siswa lugu dan belum mengerti arti apa-apa.
Di tepian baskom tempatnya bercermin, Tegar mere- nung. Kelak, dewasa akan menjawab tanya. Waktu akan men- jawab setiap tanya. Setiap tanya akan ada jawab. Pasti!
Tegar mencoba menawar pada keinginannya, pada cita- cita dan rasa bersalah. Berbekal gelar sarjana berprestasi, pengalaman berorganisasi, dan kemampuan berbahasa Inggris yang dirasa cukup serta sertifikat beberapa perlombaan yang ia juarai, Tegar berusaha meredam dan berdamai dengan hati dan pikiran. Gelisah mendera bercambuk di hati terdalam. Kegelisahan mendera bagai komedi putar di pasar malam di perkampungan.
Tegar mengerti bahwa membuat Mak Yati bangga dan ba- hagia adalah alasan yang tepat untuk melangkah. Ia paham bahwa adakalanya kita mesti meninggalkan jejak kaki dan me- langkah maju ke depan. Dirasa cukup dengan pengalaman mengajar selama empat tahun, berorganisasi, dan segudang penghargaan tingkat provinsi dan nasional, Tegar mencoba membenarkan keputusannya menerima ajakan dan tawaran Mrs. Adri, kepala sekolah berwawasan internasional di daerah Depok, untuk bergabung di tahun ajaran baru. Sebuah ajakan yang berawal dari undangan Tegar mendeklamasikan puisi da-
lam rangka workshop puisi dengan tema Puisi Back to School ber- sama penyair ternama, Taufik Ismail. Tegar terlibat dalam pro- gram pemerintah tersebut. Bekerja sama dengan salah satu pe- nyair idolanya membuat Tegar bersungguh-sungguh dalam se- tiap penampilannya. Hasilnya, pujian untuk Tegar tidak kalah dengan puja dan puji untuk sahabatnya, Daaris, Sang Pembela- jar. Daaris yang mengajari Tegar berpuisi di sela-sela waktu perkuliahan kosong.
Tegar salat istikharah di sepertiga malam, Tuhan menjawabnya lewat kemudahan dan kelancaran langkah. Jawaban tidak hadir dalam mimpi, melainkan lewat kelancaran proses rekrutmen, tes akademik, tes wawancara, tes TOEFL, dan tes mengajar yang dilalui Tegar dengan sangat baik serta memuaskan. Tegar melangkah menyongsong kehidupan baru di sekolah dengan atmosfer yang pastinya akan jauh berbeda. Very different from the old school. Sebuah perbedaan yang signifi- kan dan mengubah sudut pandangnya tentang dunia pendidikan di Indonesia. Tentu saja keputusan meninggalkan sekolah ini setelah tugasnya sebagai guru kelas sembilan berakhir. Setelah habis masa kontrak.
Tahun ajaran baru, Tegar memutuskan mengundurkan diri. Pamit pada kepala sekolah, guru-guru, pelaksana sekolah, dan tentu saja pada siswa-siswa yang sangat berarti untuk Te- gar. Benaknya bersiap melangkah. Bismillah….
Seluruh siswa kelas sembilan lulus Ujian Nasional dan berhak menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Se- moga! Tegar merasa lega, plong. Misinya di sekolah sederhana
penuh riang tawa telah usai di ujung kisah di akhir cerita. Tuhan memberinya misi baru di sekolah baru, tentu dengan tantangan baru yang selalu menambah gairah mengajar diiringi rasa ingin tahu yang baru. Semangat baru, bismillah tawakaltu….
Beberapa siswa berlarian menghadap Tegar dengan kece- riaan. Di antara mereka ada yang memberikan kenang- kenangan berupa baju batik dan kemeja sederhana bukan merek ternama dalam bungkus kado. Bagi Tegar bukan masalah harga, tapi ketulusan siswa-siswanya memberilah yang membuatnya terharu dalam lantunan lagu yang samar oleh angin yang ber- dansa tanpa gaun pesta dan hingar-bingar lampu disko. Orang kaya memberi itu biasa, orang tak mampu memberi itu luar biasa. Jangan menunggu kaya untuk memberi karena berpura- pura kaya dengan memberi artinya memberi kemungkinan bagi Tuhan untuk kita memerankan orang kaya yang sesungguhnya. Semoga! Sementara orang kaya yang berpura-pura miskin akan memerankan kemiskinannya di lain waktu. Semoga! Untuk Tu- han, mengganti peranan manusia itu semudah membalikkan kedua tangan. Mudah sekali, sangat mudah, dan teramat mudah untuk-Nya.
Pesta perpisahan sederhana di ruang kelas kali ini benar- benar jadi perpisahan yang sesungguhnya, perpisahan yang sebenarnya buat raga Tegar karena hati tak mampu berpisah, tak bisa dipisahkan. Keceriaan dan kesedihan sama saja pada siang waktu itu. Tiada beda keduanya, keduanya samar saat itu buat Tegar. Membekas dalam hati Tegar yang rapuh penuh tanya. Lantungan lagu Terima Kasih Guru membawa haru yang
tanpa sadar membuat Tegar berkaca-kaca mesti kacamata menutupi mata birunya. Ia bahkan tak mengerti arti air matanya sendiri. Tidaklah dipahaminya. Pipinya yang kuning langsat basah berlinang air mata. Tegar menunduk menyeka kesedihannya. Bukan… menyeka keharuannya yang takjub.
―Terima kasih semua,‖ bisik Tegar dalam hati.
SEKOLAH BARU, SEMANGAT BARU
Sebuah gerbang parkir yang megah menyambut Tegar. Salah satu petugas security lengkap dengan atribut pengaman memberi hormat sambil menundukkan badannya yang sedikit tegap.
―Maaf, ingin bertemu dengan siapa?‖ tanya salah satu dari
petugas keamanan kepada Tegar.
―Mrs. Adri Nurcahyani.‖
―Sudah buat janji?‖
―Sudah.‖
―Dengan siapa?‖
―Tegar.‖
―Sebentar, Pak Tegar.‖
Sambil meminta Kartu Tanda Penduduk, petugas security berkumis tebal dan bertopi hitam lengkap beridentitas ―Asep‖ di nametag-nya menelepon Bu Adri. Setelah percakapan singkat via ponsel, Pak Asep memberikan tanda pengenal bertuliskan visitor yang mesti Tegar kalungkan. Tegar pun dipersilakan untuk menuju gedung A lantai 3, ruang vice principal. Letaknya
di sebelah ruang guru (teacher‟s room). Setelah mengucapkan terima kasih, Tegar menelusuri paving block berkanopi yang me- redam terik mentari di siang bolong dengan hamparan tananam minimalis dan bunga mawar di kanan kiri yang terawat. Taman- taman mini yang indah.
Beberapa office boy berseragam khas berwarna biru langit terlihat mengepel lantai sampai mengkilap. Setiap detail mata memandang, setiap itu pula Tegar disuguhi kemegahan yang bergelimang. Mobil-mobil menyemut di basement parkir beserta motor-motor besar penuh daya tarik. Seluruhnya bermerek ternama, bersupir pribadi dengan tanda pengenal yang dikelola pihak sekolah sebagai upaya melindungi siswa, aman dari pen- culikan dan kejahatan dalam bentuk apa pun. Maklum, bebe- rapa siswa di sekolah ini keturunan bangsawan dan pejabat ke- namaan di republik ini. Ingat, kejahatan timbul kadang karena ada kesempatan. Right?
Melewati parkiran mobil seperti menampar kehidupan
ekonomi Tegar. Sakit namun tak boleh iri, dilarang dengki apalagi sirik. Tegar sendiri wajib berpindah-pindah angkutan umum setiap hari untuk sampai di sekolah. Berdesakan dengan ibu-ibu yang menggendong bayi, menghirup bau beraneka ra- gam khas pasar tradisonal yang becek dan kotor, dan harus ber- sabar menunggu angkutan umum penuh sebelum kemudian Pak Supir menginjak pedal gas dengan perasaan tak bersalah. Ya begitulah, lelah namun indah.
Teriakan calo-calo di terminal dan pasar menjadi warna sendiri yang memperunik perjalanan Tegar untuk sampai di
sekolah tempatnya mengajar. Sebuah perjalanan yang penuh kesan karena setiap harinya selalu saja ditemuinya keunikan- keunikan tersendiri di angkutan umum. Itulah hikmahnya. Se- lain membaca, menulis merupakan hal yang sangat menyenang- kan untuk dilakukan di angkutan umum. Tegar selalu menu- liskan perjalanannya pada binder kusamnya. Sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia, ia mesti menjadi model nyata bagi siswanya. Akan terlihat lucu jika mengajarkan menulis, namun tak pernah menulis. Akan jadi apa siswa-siswa Tegar?
Terpampang luas lapangan sepak bola berstandar nasional lengkap dengan rumput sintetisnya, menghijaukan pandangan lengkap dengan tempat berteduh para pemain bola cadangan. Sebuah kolam renang dengan keceriaan siswa-siswa berpakaian renang beserta tempat rehat seperti yang ada di pantai Kuta Bali, menghiasi percikan air yang menari-berdansa. Mengasyikkan… belajar sambil bermain. Bermain sambil belajar… asyik….
Siswa-siswa berseragam sekolah yang berbeda dengan ketentuan pemerintah. Mereka mirip siswa-siswa di sinetron salah satu televisi swasta nasional. Sebuah tayangan sinetron yang berlatar sekolah, namun jarang beradegan aktivitas bela- jar, hanya didominasi dengan adegan percintaan remaja yang terkadang kurang pantas. Menjadi sebuah tayangan yang kurang pantas disaksikan karena bukan tuntunan yang didapat. Tanpa sadar tayangan memengaruhi cara pandang siswa. Di sanalah peranan orangtua mestinya dimainkan.
Menelusuri gedung A di sebelah barat, kedua bola mata Tegar dimanjakan oleh lapangan basket berbangku penonton dengan kapasitas 1.000 orang. Fasilitas olahraga ini mungkin saja menjadi salah satu magnet bagi orangtua untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah mewah ini. Adu gengsi sama dengan adu mahal. Kebanggaan tak bertepi bila kita mampu menyekolahkan anak-anak di sekolah bertaraf internasional dengan biaya bertarif internasional pula. Bangga- nya? Ibu-ibu muda terlihat menunggu anak-anak mereka di salah satu sudut ruang sambil mengobrol. Kulitnya terlihat terawat berkala. Beberapa tampak seperti warga keturuan Tionghoa bermata sipit. Ibu-ibu muda berponsel keluaran ter- baru atau gadget termahal asyik memperbincangkan teknologi. Memotret itu semua, Tegar menghentikan langkahnya kemu- dian menulis sajak pamflet.
Kebanggaan tak bertepi saat punya HP dan Gadget baru: Saling adu canggih
Pada adu mahal
Gengsi tikam Fungsi
Padahal tanpa telinga dan mata
HP dan Gadget-mu Cuma RONGSOKAN
–kataberkata-
Gedung-gedung berlantai empat menjulang meraih awan di setiap penjuru angin menambah kemegahan di luar logika. Sekelebat mengembalikan bayangan Tegar sebagai guru yang berasal dari kota kecil. Sebuah pemandangan berbeda yang tak pernah ditemui di SMP dan kota halamannya, Kampung Babakan, Desa Sukarja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Ada rasa iba mendera-dera tapi juga takjub bukan kepalang. Ternyata di bagian dunia lain terdapat sekolah dengan segala fasilitasnya yang wah nan megah. Tegar tersenyum na- mun, masih tak mengerti perbedaan yang ada. Senyumnya me- nipis. Adilkah? Sebuah tanya yang tak mampu dijawab. Panca- sila punya siapa? Siapa punya Pancasila? Pancasila punya si kaya? Si kaya punya Pancasila. Si miskin punya?
Sesampainya di ruang vice principal, Ibu Kepala sekolah menyambut hangat Tegar. Ia dipersilakan duduk di bangku tepat di hadapan Ibu Kepala sekolah yang beribawa. Usai bercakap-cakap, ia pun menjabat tangan Tegar.
―Selamat bergabung, Pak Tegar. Selamat mengajar di
sekolah kami‖
Tahun ajaran baru menyapa penuh mesra. Rapat persiapan pembagian tugas mengajar di tahun ajaran baru digelar. Mrs. Adri terlihat sibuk menyiapkan slide tayangan, beberapa wakil principal sangat antusias dan terlihat tenang menyiapkan administrasi. Mereka terlihat profesional dan cekatan dengan gadget ternama yang menambah nilai kepercayaan diri. Merek Samsung tertera jelas dari arah tempat duduk Tegar. Slim dan terlihat elegan.
―Pasti harganya sangat mahal,‖ bisik Tegar.
Tegar masih merasa asing di ruang rapat dan ruang kelas yang nyaman. Sebagai guru baru, ia hendak menunjukkan kedisiplinannya. Hadir sebelum rapat dimulai. Mungkin sekitar
30 menit 45 detik untuk menunggu serta mengenali lingkungan sekolah dan guru-guru rekan barunya. Tegar duduk di kursi jajaran depan urutan kedua dari sebelah kanan, sebuah kebiasaan di masa kuliah yang menjadi budaya. Benar saja firasatnya, satu per satu guru mulai menampakkan batang hidungnya menduduki kursi yang tersedia di ruangan yang nyaman penuh downlight dan ukiran gypsum berestetika di langit-langit atap gedung lantai dua dengan AC yang menyejukkan dan pengharum ruangan aroma jeruk yang memanjakan penciuman Tegar. Tak ada debu dan gerah. Tak ada sarang laba-laba dan genangan air bekas hujan semalam. Belum lagi sajian di meja yang menggoda mata dan lidah. Kue dan buah-buahan segar yang sering absen di sekolahnya terda- hulu. Kenyang memang tak memicu daya pikir, namun mem- beri energi untuk itu.
Guru-guru hadir tanpa sapa, tanpa assalamualaikum, dan tanpa jabat tangan. Tegar mencoba berdamai dengan ketidak- biasaan. Ia merasa asing di negerinya sendiri. Tempat baru, bu- daya baru. Tapi, mohon jangan dustakan budaya kita, Tegar berharap. ―Good morning everybody‖ menggantikan sapa dan sa- lam yang artinya mendoakan keselamatan bagi yang disapa. Ini hanya masalah culture, tak mesti ambil parang lalu berperang sambil menyerang mencari pemenang. Menang jadi arang, ka-
lah jadi abu. Yang kalah dan yang menang sama-sama belagu.
Right…
Perkenalan awal membuat Tegar grogi, kurang percaya diri. Sesekali ia menggerakkan kedua kakinya mencoba rileks sambil melempar senyum indah pada beberapa rekan guru di hadapannya. Kadang kala pula Tegar minum air mineral untuk menetralkan ketegangannya. Tegar merasa seluruh guru me- merhatikannya. Ritual itulah yang selalu ia lakukan dalam keadaan tak nyaman. Ia memperolehnya dari Ibu Hj. Cucu Reswati, M.Pd., dosen mata kuliah Keterampilan Berbicara dan Pewara Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di kampusnya dulu. Dosen yang mengajarkan menjadi MC untuk pernikahan beberapa tetangga di kampungnya. Bila menikah nanti, Tegar berharap beliaulah yang memandu upacara adat pernikahannya. Harapan dalam hati, semoga…
Tegar paham betul kemampuannya berbahasa Inggris tidak sebaik keterampilannya berpidato Bahasa Indonesia. Sebelum penyampaian program dan pembagian tugas mengajar, Mrs. Adri mempersilakan guru-guru untuk memperkenalkan diri secara berurutan. Mulai dari Mr. Anto, Mrs. Yuli, Mr. Gerad, dan tentu saja kini giliran Tegar. Keempat rekan guru mem- perkenalkan diri dengan kemampuan Bahasa Inggris yang sangat baik serta pengalaman yang luar biasa. Mr. Anto dan Mr. Gerad lahir di Jerman. Keduanya pernah bekerja dan menetap di luar negeri beberapa tahun. Sementara Mrs. Yuli pernah bekerja di Bank Indonesia dan lulusan Universitas Trisakti, salah satu universitas terbaik di Indonesia yang tergolong mahal dan bo-
nafide. Universitas yang tercatat mesra di buku-buku sejarah. Tegar semakin minder. Semakin tak karuan. Universitas Tegar belumlah punya nama besar. Untung saja pengalaman, prestasi, dan keterampilan serta karya-karya Tegar menyelamatkannya dari seleksi superketat berstandar internasional. Membuatnya layak dan diterima mengajar di sekolah internasional yang diimpikannya, dicita-citakannya.
Jika diamati, hanya ada dua guru lulusan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Itu pun dari Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Pendidikan Indonesia. Selebihnya lulusan luar negeri dan praktisi sejati, bukan lulusan FKIP. Jikalau ada yang iseng-iseng jadi guru, mereka mengajar juga di sekolah internasional ternama di Indonesia, semisal Binus dan Global School, bukan sekolah di kampung.
―Sekolah internasional memang lebih percaya pada
praktisi, Pak,‖ sahut seorang guru di samping Tegar.
―Guru olahraga di sini semuanya atlet, bukan lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Guru ekonomi di sini juga dari Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya dan berpengalaman di bank–bank ternama. Mereka cenderung mengajarkan teori. Siswa di sini butuh bukti nyata Pak, bukan teori saja,‖ tambahnya
―Oh, begitu ya, Bu.‖
―Iya. Nama saya Disya Kartika, Pak. Panggil saja Disya.‖
―Saya, Tegar. Muhammad Tegar Mubarock.‖
―Senang bisa jumpa dan semoga kita bisa bersinergi.‖
―Sama-sama, semoga.‖
Keduanya tersenyum. Perkenalan yang membekas dan berkesan.
Rasa kurang percaya diri pada Tegar membuatnya
menggaruk-garuk kepala dan terbata-bata dalam mem- perkenalkan diri. Meski sudah diawali dengan ―Rabbisyrahlii shadrii wa yassirlii amrii wahlul „uqdatan min lisaanii yafqahuu qaulii‖ yang berarti, ―Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuanku dari lidahku agar mereka mengerti perkataanku. Amin‖, Tegar nyatanya tak sempurna mencuri perhatian pimpinan dan rekan yang hadir. Semuanya karena pengalamanya mengajar yang mungkin tak seberapa dibanding rekan guru yang lain. Kemudian latar belakang lulusan universitas swasta di Bogor membuatnya rendah diri dan membunuh rasa percaya diri dalam sekejap.
Tegar tahu itu bukanlah dirinya yang sebenarnya. Hanya butuh waktu untuk beradaptasi mengembalikan rasa percaya diri. Heem, sesal Tegar di akhir pengenalannya sebagai guru baru Bahasa Indonesia. Ia menghela napas pendeknya dalam- dalam. Rapat kali ini sangat berbeda, diawali dengan celoteh yang mengundang lelucon serta game-game yang menarik perhatian. Rapat nyatanya membuat semua guru berpikir krea- tif dan produktif dalam memberikan ide dan gagasan. Teknik baru seperti ini membunuh ketegangan dan kekakuan. Fakta- nya, jauh membuat Tegar nyaman dan bersinergi dengan pro- duktivitas. Mestinya gaya rapat ini menular di sekolah-sekolah reguler yang biasanya kaku. Jika kita sudah merasa tegang dan
kaku, dipastikan ide-ide itu pun tak akan muncul dan takut. Tegar mengamati dengan saksama. Rapat yang menarik meng- hasilkan program kerja yang luar biasa. Rapat di sekolah ini bu- kanlah seperti menghadiri sesi pemakaman, melainkan seperti taman bermain yang menggembirakan. Ide-ide hidup dan me- nyembur di tempat dan suasana yang menyenangkan. That is fact, right?
Apa pun itu, hari ini merupakan hari bersejarah dalam
kehidupan Tegar. Doa dan LOA (hukum tarik menarik) menemukan jalan takdirnya. Doa Tegar terjawab meski menunggu dua tahun. Ia resmi diterima mengajar di sekolah berwawasan internasional yang membuat Mak Yati menyunggingkan senyum dan mulai memuji. Namun, tetap bawel untuk urusan tidak meninggalkan salat dalam keadaan apa pun.
―Meski sibuk, solat tong ditinggalkeun. Da etamah tiang
agama. Aya masjid, kan? Mun jamaah, 27 pahalana. Tong poho solat terus sodakoh ke mun gajian. Sisanya nyicil motor we. Sapatu lain geus jore?‖1
―Iya, Mak,‖ Tegar cukup mengiyakan karena membantah
akan panjang ceritanya.
Di tepian baskom sambil mencuci tangannya dan mengakhiri santap malam yang sederhana bersama keempat
adiknya tercinta, Tegar bersyukur atas pengalaman barunya
1 “Meski sibuk, salat jangan ditinggalkan. Itu tiang agama. Ada masjid, kan? Kalau jemaah, 27 pahalanya. Jangan lupa salat terus sedekah kalau sudah gajian. Sisanya nyicil motor aja, sepatu udah jelek?”
dalam hati. Pengalaman merupakan guru terbaik. Paling tidak mimpinya mengajar di sekolah internasional menjadi kenyataan dan bukan sekadar harapan. Semua berawal dari mimpi yang dikejar dan dijaga karena Tegar paham betul kesuksesan merupakan semangat yang terus-menerus bukan semangat sesaat. Right?
Berbeda dengan sekolah umumnya, di sekolah ini guru tidak masuk ke ruang kelas secara berkala atau sesuai jadwal mengajar. Tegar hanya tinggal menunggu murid-muridnya ma- suk kelas Arts setiap jam pelajaran berakhir. Moving class menjadi istilah yang sangat asing di telinga Tegar. Istilah ini tak pernah ia temukan di bangku perkuliahan dan Praktik Pengalaman La- pangannya di SMA Negeri 6 Kota Bogor. Di sekolah interna- sional ini pun guru tidak dibebani dengan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan silabus yang menguras energi dan malah membuat guru mengabaikan tugas pokoknya sebagai pengajar. RPP hanya dalam bentuk lesson plan yang jauh lebih singkat, sementara silabus berganti jadi lesson description. Administrasi sangat simpel. Namun, lebih efektif dan berman- faat. Tak dapat diingkari, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi menjadi kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Perenca- naan itu tujuh puluh persen, pelaksanaan itu dua puluh persen, dan evaluasi sepuluh persen. Right?
|
PERKARA BARU
Kelas Arts menjadi homebase Tegar bersama guru Bahasa Inggris yang merupakan native speaker (penutur asli). Tegar memang- gilnya Mrs. Jenefer, guru kelahiran Manchester yang sudah mengabdi selama lima tahun di sekolah mewah ini. Pengab- diannya tergolong lama karena menurut kabar angin yang berembus, guru-guru di sini paling lama bertahan selama ku- rang lebih tiga tahun. Beberapa dari mereka tak tahan dengan kompetisi yang ketat yang menimbulkan persaingan tak sehat. Selain itu, tingkah laku beberapa siswa borjuis yang kurang menghargai guru menjadi alasan guru-guru berhenti dari seko- lah sebelum kontrak usai, meski mereka dikenai penalti dua kali gaji. Bagi sebagian guru, uang bukan segalanya tapi, harga diri lebih dari sekadar ―materi‖. Guru-guru tanpa makam pahlawan itu gugur sebelum berperang. Menangis dan meratapi takdir dalam ruang kelas yang senyap. Guru takdirnya digugu dan di-
tiru. Bila muridnya sudah enggan memahami takdir itu, pan- taskah sang guru menjadi guru? Pantaskah? Layakkah?
Tegar sendiri tak banyak bicara dengan Mrs. Jenefer.
Hanya saling menyapa salam di pagi dan sore hari saat bel pu- lang berdering. Bertanya pun jikalau dirasa perlu dan hanya yang menyangkut pekerjaan. Budaya barat memang lebih indi- vidualis, sangat berbeda dengan budaya timur yang hangat dan ramah. Mrs. Jenefer lebih sering terlihat asyik dengan laptop Toshiba ungu berukuran 14 inci atau asyik membaca buku ba- caan berupa novel-novel karya William Shakespeare, John Steinbeck dengan karyanya Of Mice and Men, atau sesekali men- jamah novel The President karya Angel Asturias, ada juga J.K. Rowling dengan Harry Potter and the Philosophers Stone.
Lambat laun Mrs. Jenefer tak lagi sibuk dengan dirinya. Ia mulai bercerita tentang penyesalan menikah dengan pria Indonesia. Menurutnya, pria Indonesia kurang bisa bertanggung jawab dan mengartikan kebebasan sebagai sesuatu yang salah kaprah. Kebebasan yang kebablasan. Kebebasan itu semestinya diiringi dengan rasa tanggung jawab. Padahal menurutnya, ia telah menggadaikan iman dengan cinta. Sejak menikah, Mrs. Jenefer berganti nama menjadi Siti Aminah Jenefer yang sekali- gus mengubah kolom agama Kristen di KTP-nya menjadi Islam. Tegar sendiri tak ingin terlalu turut campur dalam masalah ke- luarga teman satu ruangnya itu. Namun, kebersamaannya dengan wanita Inggris ini membuatnya semakin mengerti arti perbedaan budaya yang menambah keimanannya kepada Tuhan.
Kebersamaan yang tak pernah disadari menjelma menjadi rasa terpendam. Perhatian dan pengertian janda muda nan can- tik beranak satu itu yang sedari awal Tegar anggap biasa, nyatanya merupakan rasa cinta pada pria yang baru beberapa bulan dikenalnya. Namun perhatian yang diterima hanya Tegar anggap sebagai perhatian seorang rekan kerja. Tak lebih.
―Don‟t do anything that makes me jealous, Honey,‖ merupakan
kalimat perpisahan di awal pengalaman Tegar mengajar di se- kolah internasional.
Mrs. Jenefer akhirnya kembali ke Inggris membawa luka dan cinta yang tak berbalas oleh Tegar. Mungkin ia sengaja ingin meninggalkan Tegar atau hanya pergi sementara waktu untuk menenangkan pikiran dan perasaannya. Entahlah. Cinta memang berbeda dengan rasa ingin memiliki. Pria lugu yang polos dan belum mengerti arti cinta itu hanya punya satu kata di benaknya: ―sukses‖.
Beragam peristiwa mewarnai detik demi detik warna ke- hidupannya. Membandingkan sekolah dulu dan sekarang bukan hal yang biasa. Apalagi berandai-andai kembali mengajar di se- kolah SMP bukan pula keputusan yang tepat. Setidaknya, itu buat Mak Yati dan adik-adiknya. Bila rindu murid-murid yang memberi salam dengan tulus, rasanya Tegar ingin kembali ke sekolah yang tak pernah memberinya honor tiap bulan namun, mampu memberi senyum lewat ketulusan anak-anak jalanan mengikuti proses pembelajaran itu. Pengandaian itu ditepis Tegar karena sadar Tuhan tidak suka melihat umat-Nya berandai-andai.
Di sekolah internasional ini, ia merasa seperti robot yang kaku dengan bunyi bel sebagai tombol kendali. Robot dengan remote control. Teng masuk, teng istirahat, teng snack time, teng lunch time, teng go home. Hal itulah yang membuatnya jenuh dan tak kerasan. Belum lagi beban kerja yang sangat merepotkan dan waktu yang terbuang di jalan membuatnya ingin segera pulang berjumpa dengan emak dan adik-adiknya. Namun, ma- salah sebenarnya yang mengganjal di hati bukan itu. Tegar tak suka diabaikan, tak bisa tak diperhatikan oleh siswa. Melihat beberapa siswa tak menghiraukannya dalam pembelajaran membuatnya naik pitam, penuh kesal. Tegar berusaha mencari strategi dalam memulai pembelajaran. Segala cara ditempuh. Berbagai pendekatan dicoba. Beberapa media diperlihatkan, hasilnya nihil.
Permasalahan inilah yang hinggap pada sebagian besar guru di sekolah yang kemegahannya meruntuhkan keteguhan profesi guru. Membentak tak diperbolehkan di sekolah yang sebagian besar orangtua muridnya berpengacara pribadi ini. Guru-guru bertanggung jawab penuh atas siswanya lewat pro- gram yang bernama Duty Teacher. Siswa-siswa dipantau aktivi- tasnya saat di luar jam pelajaran, waktu istirahat, lunch, dan snack time. Bila terjadi incident, celakalah sang guru Duty. Ber- siaplah kena tegur pihak sekolah, yayasan, dan caci maki sege- lintir orangtua yang kecerdasan emosionalnya minus 90 derajat. Pokoknya datang sehat tanpa cedera, pulang mestilah seperti kedatangannya. Tak boleh kurang apa pun. Namun, tidak se- mua orangtua begitu. Hanya segelintir saja, sebagian kecil saja.
RESAH
Tegar serba salah, ia gelisah. Ada ganjalan di hatinya yang tulus nan bersih. Kadang menurutnya, ketegasan bisa jadi solusi setelah cara-cara damai tak mempan ditempuh. Ketegasan tipis sekali bedanya dengan predikat galak, berkorelasi dengan sifat jahat. Tegar ingin sesekali membentak, tapi tak mampu, tak kuasa, tidak juga berdaya, tiada daya, dan upaya. Emosi yang dipendam menjadi bola salju yang semakin hari semakin meng- gumpal membesar namun, tak pernah mencair. Tegar takut kehilangan emosi yang akhirnya meruntuhkan kesabaran. Ia mulai bimbang bila mengingat perbincangan dengan Daaris di sela-sela menunggu dosen.
―Rutinitas itu membuat kita tidak kreatif, Gar,‖ tutur
Daaris.
―Sok tahu kau,‖ bantah Tegar.
―Aku baca di buku Yoris Sebastian.‖
―Siapa dia?‖
―Penulis buku.‖
―Nenek-nenek tatoan juga tahu dia penulis, kau kan bilang baca di buku.‖
“Entrepreneur muda yang mencetuskan I like Monday dan general manager Hard Rock Cafe termuda di Asia yang berada di Bandung dan Jakarta.‖
―Masa iya? Pinjam ya bukunya.‖
―Beli napa, cuma empat puluh lima ribu di Gramedia. Beli pulsa aja bisa, buku itu teman, Gar.‖
―Iya ntar aku beli, membaca itu sahabat. Bener gak?‖
―Iya. Komunikasi itu penting tapi, membaca jauh lebih penting. Makanya ayat yang turun pertama bunyinya ―bacalah‖ bukan ―SMS-lah‖ atau ―teleponlah‖. Ngerti kan?‖
―Iya, iya. Up to you-lah. Serius kalo rutinitas membunuh kreativitas?‖
―Serius, Gar. Bodo amat kalo gak percaya. Eh, balik duluan
ya, mau manggung di Kafe Daun tar malem.‖
―Okelah. Judul bukunya apa?‖
―101 Creative Notes.‖
―Sip.‖
Bayangan Daaris pamit tergesa-gesa dari bayangan Tegar. Pelan-pelan tinggal bayang dan perkataannya yang membekas sampai detik ini. Bersama hilangnya bayangan Daaris di kepala dan matanya, Tegar tersadar dari rutinitas yang membuatnya sedikit jadi lebih kaku.
Tegar masih asyik menikmati secangkir teh hangat dan pisang goreng yang disuguhkan Wilma, adik bungsunya
tercinta, di lantai dengan tikar samak butut yang membuatnya tak bersentuhan dengan lantai secara langsung. Sedikit menghangatkan dan menghapus dingin. Di tepian baskom berisi air jernih Tegar bercermin, semoga ada jawab atas risauku. Tuhan, beri aku petunjuk. Tunjukkan jalanku. Tunjukkan… tunjukkan padaku.
|
MARI BERKARYA
Sebuah pamflet perlombaan teater tingkat nasional untuk siswa SMA se-Indonesia menarik Tegar untuk membacanya berulang-ulang. Pamflet yang terpampang di display sekolah sebelum masuk ruang kelas Art sangat menggoda pikirannya. Berulang-ulang Tegar membaca ketentuan lombanya, waktu perlombaan, pendaftaran, biaya, hadiah, dan batas akhir pen- daftaran perlombaan. Ia memerhatikan dengan saksama, mengingat-ingatnya dalam memori. Ada keyakinan untuk mengikutinya, tapi keraguan membebani dan sedikit mengendorkan niat serta ambisinya. Namun, perkataan ―jika tidak ada risiko, tidak akan ada nada penghargaan‖, kalimat yang dibaca di buku J. Pincott dengan judul S.U.C.C.E.S.S., menikam keraguannya. Tegar paham benar mengambil risiko merupakan tindakan kreatif, itu yang diajarkan Daaris Sang Pembelajar padanya. Tegar memutuskan tanpa menimbang- nimbang. Tanpa rasa takut. Tanpa pikir-pikir, tapi berpikir.
Ia teringat sebuah kisah tiga ekor anak burung dalam pohon di tebing yang terjal ditinggal induknya mencari makan. Dalam perjalanan, sang induk tertembak dan menjadi santapan makan malam pemburu. Ketiga anak burung menunggu mena- han lapar dalam sarang. Mereka berdebat panjang, berdiskusi
alot.
Burung paling besar berniat terbang. Namun, gaya gravi- tasi membuatnya terjun. Saat terjun burung besar berpikir. Sayap mana yang harus dikepakkan? Yang kiri atau yang kanan? Pernapasan apa yang mesti digunakan? Bagaimana cara terbang- nya? Akibat terlalu lama berpikir, burung pertama akhirnya mati, jatuh di tanah. Mati dia dimakan cacing tanah karena ter- lalu banyak berpikir lupa ambil keputusan.
Burung kedua memilih hal yang sama, terjun dengan me- lakukan kepakan sayap secara acak namun sambil berpikir. Ia kepakkan sayap kanan kemudian diteruskan dengan sayap ki- rinya secara bergantian. Sang burung mencoba menyinkronkan keduanya dan akhirnya sang burung terbang. Terbang jauh dan semakin jauh hingga menemukan makanannya. Ia berpikir sam- bil memutuskan dan melakukan, kemudian mencoba! Berpikir sambil bertindak.
Tragis burung ketiga memutuskan diam saja dalam pohon
yang tampak tua. Burung ketiga tidak mengambil keputusan apa pun. Menunggu penuh harap induknya pulang. Akhirnya sang burung mati kelaparan, menjadi tulang belulang dalam sarang. Berdiam diri artinya mati.
Bagi Tegar, cerita yang didapatnya dari Dr. Deddy Sofyan, M.Pd, dekan di kampusnya beberapa tahun silam, sangat menginspirasi dalam hal kepemimpinan dan kebija- ksanaan yang membuat Tegar menaruh hormat seluas samudra di lautan luas tanpa batas.
Tegar mengutarakan maksud pada Mrs. Adri di sela-sela kesibukan memimpin sekolah dengan beragam tantangan dan masalah yang sangat luar biasa.
Tegar membuka pembicaraan di ruang principal room se- belum waktu lunch tiba.
―Siang, Bu.‖
―Siang,‖ jawab Mrs. Adri dalam duduknya.
―Ada apa, Pak Tegar? Ada yang bisa saya bantu?‖ lanjut
Mrs. Adri.
“Eeem begini Bu, bagaimana jika kelas Art diikutkan lomba teater di Taman Ismail Marzuki?‖
―Boleh juga, siapa yang ngadain?‖
―Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bu.‖
―Se-Jabotabek, bukan?‖
―Se-Indonesia, Bu.‖
―Pak Tegar yakin?‖ Ada jutaan keraguan pada mata Mrs. Adri.
―Maksud Ibu?‖ Tegar terlihat masih bingung.
―Maksud saya, yakin menang gak? Soalnya rekam jejak kita jelek dalam lomba teater, selalu kalah. Anak-anak kita tak ber- bakat, Pak.‖ Bu Adri tersenyum menyembunyikan rasa malu.
―Coba dulu saja Bu, bukannya kalo gak mencoba kita gak
akan tahu?‖
―Dasar, bisa saja Pak Tegar ini.‖
―Serius Bu, kalo gak nyoba, kita gak akan pernah tahu ber- hasil or gak, right?‖
―Biayanya berapa tahun ini?‖
―Lima ratus ribu untuk pendaftaran, Bu.‖
―Maksud saya, biaya pementasannya?‖
―Kalo dihitung-hitung, kena tujuh juta, Bu.‖ Tegar terlihat berat menyampaikan nominalnya.
―Besar juga, ya.‖
―Tergolong murah Bu, biar nanti saya siasati di kostum dan properti agar lebih minimalis budget-nya.‖
―Pak Tegar yakin sekali, memang hadiahnya berapa?‖
―Tujuh puluh lima juta, Bu, untuk juara pertama.‖
―Wah, besar juga, juara kedua berapa, Pak?‖
―Saya tidak berpikiran juara kedua, Bu. Makanya yang saya lihat hanya juara satu,‖ Tegar mencoba meyakinkan atasannya. Sedikit tersenyum untuk meyakinkan atasannya.
Mrs. Adri terkagum sejenak, ―Pantas Mrs. Jenefer suka
Pak Tegar.‖
―Maksud Ibu?‖
―Maksud saya… besok ajukan saja anggarannya. Saya ACC. Namun, Pak Tegar sendiri yang mesti menemui Mrs. Lee di gedung yayasan. Jelaskan yang mesti dijelaskan, Pak. Nanti saya komunikasikan secara lisan. Ingat Pak, gunakan Bahasa Inggris. Mrs Lee gak ngerti Bahasa Indonesia.‖
―Siap, Bu.‖ Tegar tersenyum. Trust me, ibuku yang bijak.
Tegar kegirangan keinginannya disetujui pimpinan. Di hadapannya terbayang tepuk riuh audiences atas kemenangan. Tegar paham di sekolah ini biaya bukan masalah, justru yang menjadi tantangan adalah minat dan motivasi siswa. Maka Tegar mulai memperkenalkan deklamasi puisi, drama, dan teater sebelum materi pembelajaran dimulai. Ia berharap siswa- siswa tertarik dan antusias terhadap sastra. Ketertarikan akan melipatgandakan keinginan yang akan menjadikannya kesungguhan.
Sejak saat itu, Tegar mengawali pembelajaran dengan mencontohkan deklamasi puisi atau bermonolog singkat. Siswa- siswa speechless. Kagum dan mulai tertarik dengan sastra. Mulai banyak bertanya tentang deklamasi puisi, mulai minta diajari musikalisasi puisi. Mulai mengerti monolog, kemudian ingin belajar bermonolog. Strategi belajar Tegar berhasil. Alhasil, siswa-siswa menikmati pembelajaran. Daya tarik Tegar mengu- bah pandangan umum tentang sastra yang dianggap tidak modern.
Tegar menghirup udara sukses seperti masa kuliahnya dulu bersama Daaris saat menjuarai lomba teater tingkat uni- versitas se-Jabodetabek di Universitas Negeri Jakarta. Tegar belajar dari Daaris cara mengemas pementasan teater dengan spektakuler. Daaris yang mengajarinya bermain teater, begitu pun sebaliknya. Tegar pulalah yang mengajari Daaris untuk ti- dak lupa pada Tuhan. Keduanya saling melengkapi, saling mengingatkan. Berteater tak mesti melupakan Tuhan.
―Bukankah beberapa sajak yang pernah dibaca sangat religius? Mestinya itu mendekatkan kau dengan sang pencipta,‖ pinta Tegar pada Daaris di sore yang dilengkapi rintik hujan.
Mendung menaungi langit, gelap. Hujan enggan pulang. Tapi, cahaya nakal masih tersisa. Akan ada pelangi melukis langit indah. Pelangi ciptaan Tuhan. Sajak karya Daaris meng- hiasi mading edisi religi.
“Terdampar para sorban di neraka Peci-peci bersuci dengan wiski Kitab dimengerti tak terjamah
Para pendusta bertasbih kebohongan
Sajadah alas kefasikan
Aduh… Ngenes lakon para mubaligh palsu
–kataberkata-
Di tepian baskom Tegar bercermin lagi, lagi, dan lagi. Ia berlatih mimik dan ekspresi wajah. Senam wajah sesekali. Membuatnya tersenyum, menangis, terharu, kaget, bahagia, bersedih, lucu dalam cermin baskom berisi air. Wajahnya membayang dan sedikit tak rata karena goyang. Tak ada rotan akar pun jadi,S tak ada cermin baskom pun jadi. Tegar berlatih dan berlatih. Berlatih lagi dan berlatih lagi. Tegar berlatih
hingga dirasa cukup. Hingga keringatnya membasuh kemeja kotak-kotaknya yang sedikit kusam berwarna biru tua. Tegar mesti menjadi model untuk siswa-siswanya. Guru juga model, model belum tentu guru. Right?
|
YUK, KITA MULAI!
Ruang Arts, 09.00 WIB
Sifa Ning Nurmala, salah seorang siswa kelas sebelas, memimpin briefing di ruang Arts gedung C lantai dua. Walaupun hanya beberapa orang yang hadir, namun breafing tetap berjalan dengan baik. Ruangan dengan cermin di setiap sisinya memang di-setting untuk kegiatan berkesenian, termasuk latihan drama dan musik. Di ruang ini pula segala alat musik tersedia dan be- bas untuk diapresiasi, bebas untuk dijamah asal bertanggung jawab. Segala fasilitas yang tak dijumpai di sekolah-sekolah umum kebanyakan. Pantaslah jika per bulan orangtua siswa- siswa di sini mesti membayar SPP tiga juta rupiah. Nominal yang sangat luar biasa bukan? Semuanya berupa uang, bukan daun pastinya. Dengan biaya lima bulan SPP di sekolah ini, itu sudah dapat melunasi biaya kuliah Tegar hingga meraih gelar sarjana. Tidak semua barang yang mahal itu berkualitas, tapi yang berkualitas itu pasti mahal. Right?
Kelas Arts selalu saja sedikit peminat. Orangtua lebih menjerumuskan anaknya untuk memilih kelas sains. Ada kebanggaan dan gengsi yang luar biasa bila anaknya masuk kelas IPA. Sebuah keputusan dan persepsi yang dirasa kurang bijak. Bagi Tegar, mungkin saja di kelas Arts-lah anak-anak akan me- napaki takdirnya untuk sukses karena sesuai bakat dan minat. Ini jelas menentang takdir Tuhan dan menentang teori kecerdasan majemuk karya Gardner yang menjadi pembicaraan dewasa ini. Persepsi bahwa terbukanya kesuksesan yang luas bagi anak-anak science masih menjadi momok yang menghantui kelas-kelas bahasa. Kadang-kadang Tegar geram dengan orangtua yang memaksakan kehendaknya. Ingin rasanya Tegar mengatakan, ―Yang sekolah itu anak Bapak, bukan Bapak. Yang sekolah anak Ibu, bukan Ibu. Yang sekolah siapa?‖
Kelas sebelas terdiri dari tiga siswa: Sifa Ning Nurmala, Tari Pradita, dan Astrini Adiwiro. Sementara kelas sepuluh ti- dak jauh beda nasibnya, hanya empat siswa: Maya, Dio, Juna, dan Pirlo. Sementara kelas dua belas yang siswanya hanya em- pat orang pun, tidak diizinkan mengikuti latihan oleh pihak se- kolah dan yayasan karena memasuki persiapan ujian nasional.
Mereka merupakan anak-anak yang berbeda pandang, be- rani mengambil risiko dan tak menghiraukan permintaan orangtua. Berani menentang pola pikir. Mereka adalah siswa- siswa tepilih dan pilihan Tuhan yang berjodoh dengan Tegar. Tidak ada yang kebetulan di muka bumi, termasuk takdir yang mempertemukan Tegar dan mereka. Selalu ada misi besar di setiap kelahiran manusia. Manusia hadir membawa misinya
masing-masing, besar dan kecilnya sesuai peruntukan. Terma- suk Tegar dengan misi dari Tuhan.
Naskah drama karya Tegar dengan beberapa tambahan
kreativitas kelas Arts dibagikan oleh Sifa, pimpinan produksi Teater KUNCUP. Kelas Arts mulai berlatih. Dimulai dengan pemanasan berupa lari-lari kecil mengelilingi lapangan basket yang megah. Kemudian Tegar melatih pernapasan perut siswa- siswanya berulang-ulang. Tahap ketiga, siswa diminta ber- meditasi untuk melatih konsenterasi. Setelah ketiga tahap dilalui, Tegar memulai dengan latihan bernyanyi lagu-lagu dalam pementasan. Siswa-siswa terlihat bahagia dan menikmati. Setelah itu, baru membaca bersama-sama secara lantang dan benar selama satu jam lebih. Tegar menyimak dengan saksama dan mengomentari jika ada intonasi membaca yang salah. Proses reading naskah dengan mimik menyusul selama satu jam setengah, latihan berjalan hangat dan menyenangkan. Latihan dibangun dengan kesungguhan hati dan tujuan yang jelas. Meski canda mewarnai, latihan tetap berjalan serius. Latihan berakhir dengan letih, namun mimpi tak pernah berakhir… JUARA.
Tegar meminta siswa-siswanya memejamkan mata. Kemudian menginstruksikan untuk membayangkan tepuk tangan kemenangan dari para penonton, pelukan bahagia ke- menangan bersama orang-orang tercinta, dan tentu saja bayangan mengangkat trofi juara dan hadiah jutaan rupiah. Juara, hanya juara yang ada di benak. Proses imajinasi inilah yang diharapkan Tegar meningkatkan keinginan kuat untuk menjadi juara. Tegar tahu otak manusia tidak dapat membeda-
kan daya khayal dan kenyataan. Proses mengiring mereka pada tingkat otak bagian alfa diyakininya sebagai upaya meningkatkan ketelitian mereka membaca naskah dengan baik dan benar. Se- buah pengetahuan yang diperoleh dari workshop yang dikenal dengan istilah hipnoterapi.
―Semoga motivasi kali ini berhasil.‖ Doa Tegar dalam hati
tumbuh subur dan semakin luhur. Tegar sangat bersemangat. Semangat yang menular pada siswa-siswanya. Aura seseorang memang dapat menular. Menyemutlah bersama orang-orang yang punya semangat api yang berpikir positif.
Proses reading naskah dirasa cukup. Tegar mulai mengajak siswa-siswa berlatih sesuai dengan peranan dan mengajarkan blocking yang sering kali terlupa. Adegan demi adegan dijalani dengan penuh kekurangan dan koreksi dari Tegar. Dio misal- nya, berperan sebagai seorang ayah namun, masih kurang ber- wibawa dan belum mampu menghayatinya. Tegar tak pernah membentak para pemain karena menempatkan dirinya sebagai teacher, bukan sutradara seperti Daaris jika dalam proses garapan teater kampus.
Tak jarang Daaris melempar air mineral bila pemain kurang konsentrasi atau membentak beberapa teman bahkan seniornya bila arahannya tak diindahkan pemeran yang menyimpang dari naskah. Daaris bahkan tak segan menghukum para pemain yang telat dalam latihan.
―Disiplin kalian mana? Ingat disiplin itu penting karena
menyangkut tiga hal: pertama, waktu; kedua, tanggung jawab;
dan yang ketiga, amanah,‖ bentak Daaris dan seketika wajahnya memerah.
―Tanya si Tegar kalo aku salah. Bener kan, Gar?‖ Daaris
meyakinkan teman-temannya.
―Udah, udah, latihan lagi, yuk,‖ Tegar coba mendinginkan suasana.
―Gimana mau sukses? Datang aja terlambat.‖
―Maaf, Kang,‖ Indah memelas. Salah seorang pemain itu tertunduk mendengar ucapan Daaris.
―Maaf. Maaf. Kau mirip tokoh ibu-ibu gembrot di sitkom
Bajaj-Bajuri. Nyaho2,‖ telunjuk Daaris menunjuk Indah.
Disiplin yang berlebihan berefek positif bagi sebagian te- man. Namun, beberapa di antara merea tak tahan juga dengan gayanya. Kemudian kabur dan mengundurkan diri dari teater. Uji mental dimainkan Daaris dalam teater binaannya.
Daaris seperti bukan Daaris yang kocak pada saat latihan teater. Canda dan tawa serta ocehan yang mengundang gelak tawa sirna bersama teriakan yang memecah ruang. Tegas tidak sama dengan galak. Namun, di akhir latihan, pria berambut poni itu selalu meminta maaf atas sifatnya. Itulah kebesaran hati yang diteladani Tegar untuk selalu meminta maaf di akhir latihan bersama kelas Arts. Jiwa kepemimpinannya dipupuk ber- sama Teater Diksatrasia yang didirikan di bawah kelembagaan
Hima Diksatrasia.
2 Tahu
Sebelum latihan usai, Daaris kembali menggetarkan semangat. Menyemangati dengan pantun gubahan Kang Wildan Fauzi Mubarock, Ketua Hima Diksatrasia tahun 2006 silam.
Bukan kuda sembarang kuda
Tapi kuda dari Sumbawa
Bukan hima sembarang hima
Tapi hima……………….
Seluruh anggota serentak menjawab kompak,
―DIKSATRASIA.‖
MERINDU LAGI
Lamunan bertepi di ujung rindu yang tak pernah layu. Pertemanan itu mahal dan bisa berjodoh dengan teman terbaik itu hal paling berkesan dalam kehidupan. Di balik sukses seseo- rang, ada teman-teman yang setia mendukung. Ada teman-te- man luar biasa yang menguatkan. Itulah kenang Tegar kepada Daaris, teman yang menginspirasinya dalam bersastra dan ber- teater. Teman sekaligus guru, sahabat dalam berkesenian yang pastinya mengasyikkan.
Tegar punya cara lain untuk membentuk potensi dan
mengoptimalkan kemampuan siswa-siswa bermain teater se- hingga menjadi juara, yakni kesabaran dan ketekunan tanpa ha- rus membentak.
―Izikan aku mengajar dengan caraku, Ris,‖ bisik Tegar da-
lam hati.
―Cara kita berbeda tapi tujuan kita tetap sama. Juara,‖
ujarnya dalam hati penuh geletar semangat yang sama sewaktu
bersama Daaris. Semangat api juara milik para pemenang, punya para juara.
Tegar dengan sabar mengarahkan anak-anak bermain
teater sebaik mungkin. Keringat membasahi dahi dan mulai mengganggu konsentrasi, mengganggu mata biru. Membasahi rambut hitamnya. Beberapa kali Tegar terlihat menyeka keringat dengan tangan. Tisu berjatuhan berguguran menyam- pah, tercecer di lantai. Menumpuk di tong sampah imut tanpa lukisan. Air mineral dalam dispenser menipis. Segelas air putih menghilangkan lelah dan mengembalikan staminanya. Tak bo- leh menyerah oleh rasa, rasa lelah, dan malas. Tak boleh.
Sifa berperan sangat baik penuh penjiwaan. Dia begitu
menjiwai dirinya sebagai penderita HIV. Tegar kemudian men- contohkan gaya bapak-bapak berjalan pada Dio. Ia mulai mengerti bahwa cara berperilaku seorang bapak berbeda. Dio berhasil melepaskan dirinya sebagai siswa dan memerankan to- koh ayah dengan ekspresif. Beberapa cuplikan film tentang ayah, Tegar putarkan di laptop Asus hitam yang merupakan pemberian dosennya dulu saat kuliah.
Sekelebat kenangan itu hadir.
―Ibu, maaf, apa boleh saya tulis tangan saja untuk tugas
UAS saya?‖
―Memang kamu tidak punya komputer, Gar?‖
―Belum, Bu.‖
―Jadi punya apa tidak?‖
―Belum, Bu.‖
―Bilang saja tidak, Gar.‖
―Berbeda, Bu. Belum itu kemungkinan untuk memilikinya besar.‖
―Ya sudah tidak apa-apa. Kalo tugasmu dapat nilai terbaik
nanti ibu hadiahkan laptop Asus, laptop lama ibu. Tapi masih bagus, Gar. Kebetulan bulan ini ibu mau beli yang baru. Oh ya, tulisanmu mesti mewakili fakultas juga, ya.‖ Tegas Ibu Dra. Sri Rahayu, dosen Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi yang beberapa kali sering memberi ongkos pulang bila berbarengan dalam angkutan 06.
Perjumpaan Tegar dengan beliau membuatnya mengerti bahwa ketulusan dan keikhlasan masih ada di bumi kampus yang relatif komersial. Selain itu, pemberian laptop itu sejalan dengan pemikiran para filsuf kenamaan, seperti Aristoteles dan Plato. Memberikan kail daripada ikan jauh lebih bermanfaat dan bermartabat. Cara cerdas. Akhirnya, dari laptop pemberian Bude (sapaan akrab) itulah Tegar mendapakan beasiswa atas karya tulis ilmiah yang menjuarai tingkat nasional. Hasil dari tulisan- tulisan yang dimuat koran pun menjadi uang jajan sehari-hari, menjadi ongkos kuliah yang selalu Tegar syukuri.
Dari artikel mengenai ujian nasional, cerpen-cerpen, puisi-puisi, tulisan esai, resensi sampai beberapa naskah drama, semuanya berawal dari jemari yang menari di keyboard laptop milik Ibu Sri yang sampai detik ini pun masih setia menemani tugas-tugasnya menjadi guru. Ketidakpunyaan bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang mesti ditertawai atau dicaci tanpa solusi. Sebagian lainnya berpura-pura turut prihatin padahal asyik menertawakan di belakang. Hanya sebagian yang
memberikan solusi tanpa caci. Jika empati sudah mati, untuk apa bergelar tinggi? Untuk apa jabatan tinggi? Untuk apa ?
Bukan masalah laptopnya yang biasa, tapi siapa yang
menggunakannya. Laptop itu berada pada orang dan di waktu yang tepat, serta pemberi yang tepat. Sempurnalah. Tuhan tu- rut andil dan menyempurnakan kehidupan. Sesuatu yang diang- gap seseorang tidak berharga adakalanya berharga untuk seseo- rang lainnya.
LATIHAN, LATIHAN, DAN LATIHAN
Latihan lagi, 09.30 WIB
Tari ikut menangis tatkala Astrini menangisi kepergian Sifa untuk selama-lamanya. Sebuah adegan yang mengharukan dan proses latihan yang gemilang menusuk perasaan meski be- lum menggunakan kostum sesungguhnya. Tegar tercengang kagum, Dio menyisipkan adegan batuk seorang ayah dengan sempurna meski Tegar tak mencontohkan caranya secara lang- sung. Tegar tersenyum. Pirlo memainkan sejumlah alat musik. Kemampuannya memainkan beberapa alat musik merupakan kelebihan yang sangat bermanfaat dalam pementasan. Tegar sangat piawai dan pandai mengoptimalkan kemampuan siswa- nya. Cerdas!
Mereka akan bermain musik secara live, bukan mengguna- kan rekaman audio seperti kebanyakan peserta lainnya. Tegar berharap tampil beda. Sebuah lagu karya Daaris berjudul Untuk Sahabat Tegar perdengarkan pada Dio.
Ceritakanlah sahabat ketika semua terjadi begitu cepat
Deras air matamu yang mengalir bagaikan
debu.
Sahabatku janganlah kaupergi Tetaplah di sini bersama kami Tanpamu tanpa dirimu Hidupku kini tiada berarti
Sahabatku… oh sahabatku janganlah kaupergi3
Jemari lentik Pirlo mulai memainkan piano dengan sem- purna.
Tegar sesekali mengiringinya dengan gitar. Akibat kurangnya pemusik, beberapa siswa kelas dua belas terpaksa turut andil memaikan alat musik tradisional. Harmoni meng- gelayut dalam nada romantis dan mengiris hati.
Tegar menginstruksikan untuk membentuk lingkaran ke- cil. Lagi dan lagi Tegar mengajak seluruh siswa berimajinasi. Tegar berusaha membentuk mental dengan memikirkan au- dience yang datang pada hari perlombaan.
―Bayangkan yang duduk di depan adalah para dewan juri.
Ada ribuan penonton dengan tepuk tangan dan celaan menghina dari peserta yang membawa aura negatif. Bayangkan
3 Gubahan Qanita Risya & Wildan F Mubarock, dimusikalisasikan oleh goup STANZA
orangtua kalian hadir, guru-guru, teman kalian, saudara kalian, dan pementasan kalian berjalan lancar dan memukau. Baiklah, buka mata kalian.‖ Seluruh siswa kembali membuka mata. Beberapa tersenyum nyaman. Senyum kemenangan.
―Lakukan hal ini di rumah, Arts! Ingat, otak kita tak bisa
membedakan khayalan dan kenyataan. Artinya, pementasan kalian nanti bukan yang pertama jadi tak ada yang mesti ditakutkan.‖
Tegar tak hanya mempersiapan fisik kelas Arts, namun juga mental juara pada diri masing-masing siswa. Pengalaman pertama membuat kita akan gugup. Cara ini Tegar yakini berguna untuk meminimalisasi rasa grogi dan deman panggung dalam perlombaan.
―Juara itu siap dalam segala hal termasuk mental dan fisik,‖
lanjut Tegar.
Seluruh kelas Arts mengangguk dan berteriak kompak,
―Siap, Mr. Tegar!‖
“Trust me,‖ tambah Tari
―Kita pasti menang, Sir,‖ sahut Juno.
―Kalo ada Dio, pasti menang.‖
―Huu,‖ semua menggoda dan menertawakan Dio.
Semua mengamini. Pirlo memegang salib yang dikalung- kan sambil menunduk penuh khidmat. Astari menengadahkan tangannya ke atas seraya berdoa.
Sebuah pemandangan kebhinekaan yang indah di tengah- tengah perbedaan yang ada. Di sekolah inilah pluralisme dijun- jung tinggi.
―Kelas Arts, we are the champion. Besok kita latihan kembali. Bersiaplah! Practice makes perfect. Practice makes perfect,‖ beberapa kali Tegar mengulang pepatah tua yang ditemukannya di buku pelajaran usang di meja belajar.
Siswa-siswa mulai meninggalkan ruang Arts dengan kegembiraan dan keyakinan menjadi pemenang dan juara. Beberapa supir pribadi terlihat menunggu di kantin sekolah sambil menikmati secangkir kopi pengusir suntuk dan kantuk. Satu per satu murid-murid meninggalkan sekolah. Tegar mere- bahkan dirinya di sofa ruang istirahat melepas lelah. Ia nyalakan musik sebagai teman kesendiriannya.
―Tuhan, izinkan aku mengakhiri semuanya dengan indah
dengan sempurna.‖ Doa Tegar bersama letih dan pegal yang mendera badannya yang tegap ikut bercerita.
Matahari bulat sempurna berwarna oranye di barat mengalihkan pandangannya dari angkutan umum yang melintas. Awan sesekali menutup keindahan matahari dengan sengaja dan menutup pancaran cahaya sinarnya ke bumi.
―Jangan salahkan awan, Gar. Angin yang membawanya
terbang menutupi matahari yang cantik,‖ bisik Daaris beberapa tahun lalu di lantai empat kampus, tempat kami biasa memandang awan dan langit luas yang tampak indah bila burung-burung beterbangan membentuk formasi dan saling beratraksi. Di sanalah Daaris menulis sajak-sajak berkualitasnya dengan damai dan penuh inspirasi. Di sana juga Tegar menulis cerita-cerita pendeknya. Kemudian keduanya saling mengo- reksi. Diskusi.
―Lihatlah, Gar. Di sana ada Tuhan sedang mengawasi peranan kita jadi mahasiswa di bumi-Nya. Manusia pada dasar- nya sedang bermain peran. So, berperanlah sesuai dengan peranan yang telah Tuhan berikan. Buat Tuhan, menggantikan peranan itu mudah. Ada jutaan tangan dengan derai air mata setelah lulus SMA dan tak mengenyam bangku kuliah. Bisa jadi doa dan keinginan mereka yang kuat menggantikan posisi kita sebagai mahasiswa yang tak berperan layaknya mahasiswa. Be- nar, gak?‖ tutur Daaris seraya menunjuk jauh ke langit.
―Sejak kapan kau jadi motivator? Di mana Tuhan?― tanya
Tegar.
―Di langit ketujuh.‖
―Buktinya apa?‖
―Kalo pidato.‖
―Maksudmu?‖
―Ya, kalo pidato saat menyebut nama Tuhan orang-orang menunjuk ke atas kan? Gak ada kan yang menunjuk ke bawah?‖
―Dasar, tapi iya juga ya kalo dipikir.‖
―Besok aku akan baca pidato mewakili himpunan. Lihat saja, akan kutunjuk Tuhan ke arah bawah.
―Jadi, nanti Tuhan yang di bawah gitu?‖
―Iya.‖
―Dasar aneh. Ngaco.”
―Mana kita tahu, Gar. Iya, gak? Bukannya Tuhan mengua- sai alam semesta? Jadi hak prerogatif dia dong tinggal di mana?‖
―Menurutmu, apa yang menjadi alasan orang-orang menunjuk Tuhan di atas?‖
―Imajinasi.‖
―Bukan,‖ balas Tegar
―Petunjuk orangtua.‖
―Bisa jadi, bisa jadi.‖
―Dasar, kaupikir ini acara kuis Uya Kuya. Film, Gar. Lihat saja film-film menayangkan para dewa di atas langit mengatur alam semesta. Mahabharata misalnya, Khrisna, atau film religi lainnya.
―I think so. Tapi, sebenarnya kita salah menafsirkan
keberadaan Tuhan, Ris.‖
―Maksudmu?‖
―Begini, Ris. Yang bertempat tinggal itu makhluk. Sedangkan Tuhan itu Mahasuci daripada makhluk. Mahatinggi artinya mahatinggi derajat dan menguasai seluruh alam, bukan tinggi tempat tinggalnya. Sucikanlah nama Tuhanmu yang Mahatinggi, artinya sucikanlah Tuhan itu dari sifat-sifat kekurangan dan sifat-sifat yang menyerupai makhluk.‖
―Penjelasan memukau, hebat. Dari buku apa?‖
―Dari Tafsir Quran Karim karangan Prof. Dr. H. Mahmud
Yunus.‖
―Kau sendiri yang menafsirkannya, Gar?‖
―Gaklah, bersama guru ngaji Ust. Mubarock pas SMA
dulu. Kalo tidak salah, surat Al-A’laa (Yang Mahatinggi)
DUNKIN DONUT
Seperti biasa, Tegar kembali menaiki angkot. Ia sengaja duduk di depan bersama supir. Jalan-jalan yang terlewat dia cermati dengan saksama berharap ada mesin ATM Bank Mandiri. Baru beberapa menit angkot melaju, mata biru Tegar menangkap ruko-ruko bermesin ATM.
―Stop!‖ minta Tegar seraya mengagetkan empat penum-
pang lainnya yang duduk di belakang.
Angkot Kijang hijau tersebut mengerem mendadak. Tegar meminta Pak Supir menghentikan angkotnya. Ia bergegas memberikan lembaran uang dua puluh ribu dari saku kemeja birunya, kemudian menutup pintu dan berlari kecil.
―Mas, kembaliannya,‖ terang supir berambut putih yang
sudah tak muda lagi.
―Untuk Bapak saja,‖ teriak Tegar.
―Terima kasih, Mas,‖ teriak supir angkot yang mengingatkannya pada sosok bapak.
Sesampainya di mesin ATM Bank Mandiri, Tegar menunggu seorang ibu muda yang sedang bertransaksi sambil menuntun putranya yang berseragam SD. Tak lama setelah itu, giliran Tegar yang untuk pertama kali masuk ruang ATM. Di- masukkannya kartu ATM dengan perlahan. Jarinya terlihat kaku menekan tombol. Tegar memilih cek saldo di sudut paling bawah. Detak jantung Tegar berkejaran. Melihat angka yang tertera, matanya tanpa sadar berkaca-kaca. Untuk pertama kali dalam hidupnya Tegar punya uang lima juta rupiah. Tegar tak percaya. Dilihat kembali jumlah nol yang tertera di layar. Beberapa kali dilihat tetap sama jumlah nol dan nominalnya berjumlah enam. Tegar bersyukur dan tanpa sadar sujud di ruang mesin ATM yang sempit. Ia serasa dalam mimpi tapi, sedikit cubitan pada lengan menyadarkanya. Ini nyata. Honor- nya lima juta. Lima juta honornya. Nikmat apalagi yang mesti didustai dari Tuhan? Alhamdulillah.
Antrean di luar mesin ATM, membuat beberapa di antara
mereka melongok melihat sosok yang berada di dalam. Mereka terlihat memerhatikan Tegar penuh rasa heran. Seorang pria tua berpakaian satpam bertanya penuh rasa ingin tahu.
―Kenapa, Mas? Kena tipu, bukan?‖
―Tidak, maaf. Hanya….‖
Tegar merasa malu karena membuat tiga orang menunggu lama di depan mesin ATM. Kemudian langkah kecilnya menjauh dan kembali bergegas mencari angkutan kota berwarna hijau. Tegar masih tak percaya dengan honornya. Te- gar bergelimang syukur. Tak percaya tapi nyata.
Tegar singgah di salah satu pusat perbelanjaan ternama di Kota Bogor. Ia teringat Wilma, adiknya, pernah menangis melihat teman bermainnya tak memberi Dunkin Donut saat bermain gambar di halaman rumah.
―A, Wilma hoyong4 donat.‖
―Ya beli wae atuh5.‖
―Bukan donat Bi Marsih. Donat, nu kos Hilda6.‖
―Donat kumaha7? Emang Hilda beli di mana?‖
―Dunkin Donat A, belina jauh di Jakarta cenah8‖
Mak Yati memotong, ―Wilma donat eta mah9 mahal, mending beli beras atuh atau donat biasa. Mahal Wilma. Enakan ge combro,‖ Mak Yati meledek.
―Ari Hilda mah da gaduh bapak, ari ade gaduh teu10?‖
―Tapi, pan Wilma mau, Mak.‖
Wilma terlihat kecewa dan menangis. Matanya memerah. Jawaban Mak Yati membuatnya sadar bahwa menjadi yatim ti- daklah mengenakkan.
Tegar mengikuti Wilma yang ngambek ke luar rumah.
―De, nanti kalo kakak gajian, ya,‖ bisik Tegar di bale de- pan rumah bersama rembulan setengah yang bersinar.
Rembulan seperti Dunkin Donut untuk Wilma.
4 Mau
5 Ya, beli aja
6 Donat seperti punya Hilda
7 Donat yang bagaimana?
8 Belinya jauh di Jakarta katanya.
9 Itu
10 Kalau Hilda punya bapak, kalau adik punya ga?
―Yang bener, Kak?‖
―Bener. Kakak janji. Asal nu rajin belajarnya, ulah males11.‖
―Enya, ade janji. Semester nanti Wilma pasti rengking hiji, Kak12.‖
Gadis lugu itu pun memeluk Tegar. Sambil tersenyum membayangkan nikmatnya Dunkin Donut.
Tegar tersenyum dan mengelus-elus rambut Wilma.
―Andai bapak masih ada,‖ sesalnya dalam hati.
Tegar tahu, sebagai anak tertua laki-laki dia bukan hanya sebagai kakak, tapi juga ayah untuk adik-adiknya yang beranjak remaja. Beban yang tidak ringan namun, itulah kehidupan. Kebahagiaannya adalah kebahagiaan dari keluarganya.
Seketika lamunan Tegar terhenti.
―Selamat sore,‖ sapa pelayan dengan senyum yang mele-
bar.
―Sore,‖ Tegar membalas sapa dengan ramah.
―Makan di sini atau dibawa pulang?‖ tanya pelayan sambil
kembali tersenyum lebar.
―Dibawa pulang, Mbak. Selusin yak, Mbak.‖
―Boleh. Ada lagi, Mas?‖ tanya pelayan. ―Minumnya seka- lian, Mas?‖ tambah pelayan.
―Tidak Mbak, terima kasih.‖
―Sama-sama, selamat menikmati.‖
Tegar berlalu dari kedai Dunkin Donut penuh raut berseri-seri.
11 Asal yang rajin belajarnya. Jangan malas.
12 Iya, adik janji. Semester nanti Wilma pasti ranking satu, Kak.
Tegar berharap sore ini tak terjebak kemacetan yang rutin setiap jam pulang kerja. Ia ingin segera tiba di rumah untuk memberikan donat pada Wilma dan keluarganya yang belum pernah menikmati Dunkin Donut. Harganya memang sangat mahal, dirasa cukup untuk makan tiga hari keluarga Tegar. Tapi, kebahagiaan keluarga jauh lebih mahal untuk Tegar. Uang bukan segalanya tapi segalanya tanpa uang bukan apa-apa. Salah?
Lampu lima watt menggantung menyambut Tegar di depan rumah, menerangi halaman rumah yang ditanami cabai, tomat, dan beberapa tanaman hias. Tegar mengintip dari jendela kamar depan tempat rayap bersembunyi dari manusia. Masih ada tanda-tanda kehidupan Tegar rasa, ia mengendap. Berharap memberikan kejutan. Radio peninggalan almarhum bapak masih berceloteh terbawa udara. Mak Yati selalu mendengarkan radio di sela-sela rutinitasnya mengaduk adonan bala-bala dan tempe goreng untuk jualan esok pagi.
Radio merupakan hiburan yang bisa keluarga Tegar nikmati setelah TV 14 inci mereka tersambar petir beberapa bulan yang lalu saat musim penghujan tiba. Sejak itu, radio merupakan sarana hiburan elektronik satu-satunya. Tanda kehidupan di tengah kehidupan yang tampak tak hidup dalam keluarga kecil yang sumpek oleh hiruk pikuk perkampungan yang tertinggal pembangunannya dibandingkan beberapa desa lainnya di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Tegar mengetuk pintu tripleks lembek berwarna cokelat pudar.
―Assalamualaikum… asalamualaikum,‖ Tegar merubah
suaranya menjadi berat mirip Kakek Tolib, tetangga sebelah. Suaranya berat dan tak seorang pun mengenalinya sebagai Tegar.
―Waalaikumsalam,‖ jawab Mak Yati dan adik-adiknya
terdengar samar.
―Saha sih malam-malam namu13,‖ ketus Rosid yang sedang memarut kelapa untuk santan nasi uduk.
Wildi kemudian bergegas membukakan pintu. Teriakan hore… hore memecah malam biru. Wildi berputar-putar mirip gasing merebut Dunkin Donut dari Tegar dengan cekatan. Wilma penasaran.
―Kenapa A? Ada apa A?‖ panggilnya keras pada kakaknya
Wildi dari dapur.
Merasa penasaran, Wilma pun bergegasa menghampiri. Ketika melihat bungkusan yang dibawa Tegar, Wilma tercengang. Ia tak percaya, malam ini kakaknya, menepati janji. Dunkin Donut kini di hadapannya. Dijinjing Wildi, kakaknya yang kedua. Tegar menepati janji. Wilma menutupi keharuan- nya dengan tertawa dan berteriak kegirangan.
―Makasih, Kak Tegar,‖ sahut Wilma dengan tulus pada Te-
gar.
―Wilma seneng banget, makasih Kak,‖ tambah Wilma.
―Iya, dimakan ya.‖
13 Siapa sih malam-malam bertamu?
―Pasti belinya jauh, di Jakarta bukan, Kak?‖
―Bukan, di Bogor juga ada. Udah, cepet makan. Nanti habis sama A Wildi.‖
Dengan sigap, Wilma menyantap makanan yang menu- rutnya mewah tersebut. Mulut Wilma belepotan penuh coke- lat. Senyumnya menyeringai. Mulutnya mengunyah, di tangan kirinya donat yang lain rasa karamel.
Melihat tingkah adiknya, senyum Tegar mengembang.
―Oh ya, besok kasih Hilda juga yah hiji.‖
―Tapi kak, Hilda kan pelit.‖
―Kakak kan belinya banyak, Wilma masih punya banyak. Ingat pesan Pak Ust. Mubarock kan? Berbagi itu membuka pintu rezeki lainya.‖
―Iya, Kak,‖ senyum Wilma mengembang.
Tegar hendak mengajarkan dua hal malam itu pada Wilma. Pertama, bahwa perbuatan buruk tidaklah mesti dibalas dengan keburukan. Kedua, berbagi merupakan perintah agama yang berbanding terbalik dengan hukum matematika. Kebaha- giaan sejatinya adalah memberikan kebahagian dan membuat orang lain bahagia. Itulah arti bahagia sesungguhnya. Gak per- caya? Do it now!
|
KEBANGGAAN EMAK
Di tepian baskom sambil bercermin, Tegar menyapa malam biru dengan bahagia bersama bulan semu yang merindu dan malam merona oleh bintang yang menghampar luas sejauh mata memandang. Bintang-bintang bertaburan dan sinarnya sampai ke rumah sederhana milik keluarga Tegar. Tegar memang tak punya lampu mewah tapi, masih punya bintang di langit atap rumahnya. Tegar memang tak punya kolam renang di rumah- nya tapi, punya sungai di seberang kampungnya. Tegar juga memang tak bergelimang harta tapi, kebersamaannya dengan emak dan adik-adiknya adalah harta yang tak ternilai harganya. Tuhan Mahaadil. Sangat adil.
Mak Yati menghampiri Tegar.
―Kalo punya uang, semestinya ditabung. Jangan beli yang mahal-mahal. Tegar kan gak punya motor,‖ selip Mak Yati saat adik-adik Tegar tertidur pulas di balik selimut, membuka per- bincangan.
Tegar mengiyakan sambil berlalu menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Membasuh, gemericik air menga-
lir.
Salat isya usai, Tegar memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan untuk Mak Yati.
―Mak simpen ya buat bayaran si Ade.‖
―Sabaraha iyeu teh14?‖
―Dua juta, sisana buat DP motor, kumaha15 Mak?‖
“Kegedean, atuh.‖
―Cukup, Mak.‖
―Ya buat Tegar saja atuh, buat beli HP Nokia sama motor
second. Nu bekas ge bagus iyeu16.‖
―Tegar beli yang baru saja Mak, nyicil waenya17. Kan kon- trak Tegar tiga tahun, Mak. Jadi, bayarnya pakai uang gajian.‖
―Terserah Tegar aja, tapi cari yang cicilana kecil nya. Dina
syariah wae, cek Bi Ida lebih murah cicilana18.‖
―Iya Mak, Tegar tidur duluan, Mak. Besok ada jadwal pagi
ngajar.‖
―Dah salat isya belum?‖
―Sudah Mak, kan barusan.‖
Mak Yati menghitung lembaran uang berwarna merah dari anak sulungnya tersebut. Bukan jumlahnya yang ada di pikiran
Mak Yati, melainkan keringat dan kerja keras anaknya di setiap
14 Berapa ini tuh?
15 Dua juta, sisanya buat DP motor, bagaimana Mak?
16 Yang bekas juga bagus ini.
17 Nyicil aja.
18 Di syariah aja, kata Bi Ida lebih murah cicilannya.
lembaranlah yang membuat Mak Yati meneteskan air mata haru sekaligus bangga yang meluap-luap.
―Maafkan Mak, Gar. Mak sayang Tegar,‖ ucap Mak Yati
lirih.
Kalimat yang biasa terlontar dari Mak Yati saat Tegar
masih SD namun, kini sudah jarang terlontar dimakan senja. Tepatnya sejak Tegar lulus sarjana.
―Pak, anak kita Si Tegar geus gede, geus bisa mere duit19,‖
ujar Mak Yati teringat suaminya yang damai di alamnya.
Mak Yati mengintip Tegar yang sudah terlelap dari balik gorden kusam berwarna hijau, pembatas kamar tidur sederhana milik Tegar. Ia bergegas mengambil wudu di kamar mandi luar rumah. Ia salat isya di penghujung malam berteman senandung kodok dan teriakan nyamuk yang mengganggu pendengaran yang liar mencari darah segar. Salat diakhiri dengan kedua tela- pak tangan menengadah penuh pinta dan harap. Doa-doa tulus mengalir dari lisan ibu yang sendu.
―Tuhan, bukakanlah pintu rezeki untuk anakku, Tegar.
Berikanlah keselamatan dan kesehatan untuknya. Amin.‖
Sajadah bermotif Kakbah membasah, sendu pun membunuh dinginnya malam Rabu yang berkabut. Malaikat mendengar doa ibu paruh baya dengan ketulusan yang suci penuh harap. Doa ibu mahadahsyat. Air mata pun terjatuh ke lantai tanpa mampu terbendung oleh apa pun dan siapa pun. Seluruh alam raya berseru, rasi bintang menari di awan ber-
sama gelap yang mempercantiknya. Rembulan menyungging-
19 Pak, anak kita Si Tegar udah gede, udah bisa ngasih duit.
kan tawa yang berderai memperindah alam. Suara Mak Yati beradu dengan isak tangisnya. Beberapa kali mukenanya mem- basuh air mata. Air mata sepanjang masa. Kasih sayang ibu tiada terkira, tiada tara, sepanjang udara.
Malam pun pamit, berganti waktu subuh dengan kabut yang menyimpan kemesraan berselimut. Malam pulang ke ri- baan.
Kongkorongok… kongkorongok….
Kokok ayam jantan tetangga rumah bersahutan memecah sunyi, membangunkan keluarga kecil Mak Yati bersama alunan muazin di ujung speaker yang melantunkan nada-nada harmonis. Bumi langit mengumandangkan kebesaran-Nya. Semesta berseru, ―Allah Mahabesar.‖ Bersama itu malaikat-malaikat menurunkan rahmat-Nya di tiap embusan napas jiwa yang berruh.
Azan subuh menyapa embun. Segalanya terjaga, Tegar bergegas. Wildi masih pulas memeluk guling bergambar bunga milik adiknya. Kemudian tersamar perintah dari Mak Yati.
―Bangun…. Wildi bangun…. Subuh. Subuh.‖ Suara Mak
Yati membangunkan adik-adiknya, terbawa angin dan udara yang kabur.
Tegar sarapan nasi uduk setiap hari bersama keempat
adiknya yang siap pergi ke sekolah menuntut ilmu dari bapak ibu guru. Tegar berangkat kerja penuh semangat mesti semalam tidur tak nyenyak. Dia bergegas penuh antusias dengan bismillah yang mengawali langkahnya yang gagah penuh keyakinan. Tegar mencium tangan Mak.
―Tegar kerja dulu, Mak.‖
Adik–adik Tegar menyerbu dan bersalaman pada Tegar sebelum berangkat, berharap dapat uang jajan tambahan. Tegar seakan mengerti dan memahami keinginan adik-adiknya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan membagikan kepada adik-adiknya.
Dari jauh Mak Yati mendoakan Tegar terlihat tulus penuh harap.
―Lihat kakakmu. Pinter, juga berbakti,‖ ucapnya pada
Wilma, adik bungsu Tegar yang belum mengerti apa-apa.
―Kakak kerja apa sih, Mak?‖ tanya Wilma penasaran.
―Ngajar di sakola, guru.‖
―Oh, Wilma mau jadi guru juga ah kayak Kakak Tegar.‖
Mak Yati tersenyum, seraya membelai lembut rambut anak bungsunya.
|
DARI TEGAR UNTUK EMAK SEKELUARGA
Waktu duha.
Mak Yati terlihat terawat menggunakan daster motif batik pemberian Tegar malam hari. Ibu-ibu tetangga sudah berke- lompok mengelilingi Mas Rudin, tukang sayur keliling, di ha- laman rumah Bu RT yang luas. Bu Yuyun menyapa Mak Yati dengan nada menyindir.
―Belanja, Mak? Tumben. Si Tegar masih jadi guru Bahasa
Indonesia?‖ ujar Bu RT sambil memamerkan perhiasan di lengan kanan dan kirinya.
―Alhamdulillah, masih Bu.‖
―Betah yah, padahal kan gajinya kecil. Mending ikut anak saya, Bu. Di pabrik Sanyo. Gajinya gede, Bu.‖
―Walah, Si Tegar maunya jadi guru. Teu bisa dipaksa atuh,
Bu.‖
―Beli apa, Mak?‖ potong tukang sayur yang setia dengan pekerjaannya.
―Aya ayam, ati ampela jeung cabe rawit teu?‖ ucap Mak Yati
sambil menunjuk beberapa sayuran segar.
Ibu-ibu terperangah penuh heran dan tanya. Mak Yati belanja banyak sekali pagi ini, pilihan menunya pun berbeda
180 derajat dari hari-hari biasanya. Bu Yuyun mulai panas kegerahan dan melirik Bu Imas yang kemudian menyindir.
―Waduh Mak, kalo belanja banyak gini mah atuh gaji si
Tegar teh seep sabulanen20, Ludes.‖
Mak Yati tersenyum. ―Bisa saja Bu Imas teh. Mangga sa- dayana21. Kuatir aya nu meser gorengan22,‖ Mak Yati pamit.
Setelah membayar Rp150.000,00 pada Mas Rudin, Mak Yati pamit meninggalkan geram dan rasa iri tanda tak mampu di pagi yang sejuk namun terasa panas bagi Bu Yuyun dan Bu Imas yang memang sudah merasa iri sejak Tegar melanjutkan ke perguruan tinggi dan lulus sarjana dengan predikat cum laude.
―Mau belanja daging gak ibu-ibu teh? Tong asin jeung sayur
wae atuh, supados aya gijina23,‖ tanya tukang sayur yang geram dengan gaya pembelinya.
―Moal24,‖ sahut Bu Imas dan Bu Yuyun penuh kesal, merasa
dikompori. Sebentar lagi kompor meledak. Duar Der Dor.
20 Tidak cukup untuk sebulan.
21 Duluan semuanya.
22 Takut ada yang beli gorengan.
23 Jangan ikan asin dan sayur aja, upaya ada gizinya.
24 Tidak.
―Sayur… sayur.. sayur….‖ Mas Rudin meninggalkan per- gosipan hangat ibu-ibu langganannya. Bergegas ia mencari re- zeki ke tempat lain berharap pelaris pagi ini menul ar ke kam- pung-kampung lainnya. Bismillah… roda sayuran melaju me- napaki jalanan.
―SAYUR…. SAYUR,‖ teriak Mas Rudin.
Mak Yati sengaja belanja meriah hari ini. Ia dan keluarga sudah lupa rasanya makan ayam dan daging, maka ia berharap malam nanti bisa memeluk rindu makan enak bersama keempat anak-anaknya. Sejak suaminya meninggal dan Tegar belum mampu memberi lebih, hanya kematian tetangga yang mampu menolong rasa rindunya makan daging.
Kalo ada tahlilan, ada sepotong daging untuk berlima nik- mat rasanya, meski kenyang belum terasa. ―Kak, hoyong deui25?‖ Kemudian tawa memecah.
Keluarga kecil Mak Yati selalu sarapan nasi uduk. Paling ditambah tahu dan tempe serta sambal dan lalapan dari kebun tetangga, yang spesial kecap manis ABC yang menambah rasa manis luar biasa di lidah. Sarapan pagi dan sore dirasa sama saja. Tiada beda. Bedanya, jika pagi mereka mengawali nasi uduk dagangannya, jika sore sisa dagangan yang tak laku. Apa pun itu, buat Tegar rasa syukur menjadikannya tidak kufur pada yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Syukurlah Tegar dan kedua anaknya yang lain tidak pernah
protes, kecuali Rosid yang kadang-kadang mengeluh.
25 Mau lagi?
―Tempe deui, tempe deui26. Kapan atuh Mak dahar jeung daging27. Kali-kali ka restoran padang atuh, Mak,‖ protesnya pada Mak Yati.
Rosid memang berbeda tabiat dengan kedua adik Tegar. Sifatnya yang keras dan kurang bersyukur dengan pilihannya di lauhul mahfudz yang terlahir dari Mak Yati dan Pak Mumuk se- sekali membuat Tegar kecewa dan geram. Sifat keras ini me- mang tabiat yang diwariskan almarhum bapak. Sifat yang ka- dang menjadi rindu tanpa akhir bila mengenangnya. Setelah bapak meninggal, Tegar tak pernah mendapat lawan debat yang sepadan. Perdebatan yang berakhir bila Mak Yati menengahi dengan sajian secangkir kopi dan pisang goreng hangat di atas
tikar.
26 Tempe lagi tempe lagi.
27 Kapan, Mak makan pakai daging?
SENANDUNG LAGU UNTUK AYAH
Suasana berubah penuh hangat. Canda tawa yang mahal ka- rena waktu tak bisa diputar kembali. Akan tetapi, sesal belum sempat menghajikan bapak semakin menjadi. Sesal selalu di ak- hir, tak pernah di awal.
―Pak, Tegar kangen.‖ Bibirnya tanpa sadar
membimbing kalimat rindu pada Bapak. Kalo sudah tiada kehadirannya, baru terasa,‖ lanjut Tegar sambil jemarinya memetik gitar.
Senandung Lagu untuk Ayah, karya terbaru Tegar yang hendak ia rekam bersama Daaris, persembahan untuk almarhum ayah, bapak.
Senandung lagu untuk Ayah
Ayah dengarkanlah lagu yang kucipta untukmu
Sebagai tanda kumerindukanmu
Lagu yang „kan selalu kunyanyikan untukmu
Sebagi bukti kumenyayangimu
Kauajarkan aku cinta
Kau kau kauajarkan ku hidup
Reff
Tuhan berikan aku waktu „tuk memba- las segala pengorbanannya
Tuhan berikan aku kesempatan untuk
membuatnya tersenyum bahagia, terse- nyum bangga
Ayah… oh Ayah…
Suara Tegar bercampur dengan isak tangis. Tegar menangis. Gitarnya menjadi saksi cinta pada bapak.
KEHIDUPAN YANG LAIN
Ada yang tak biasa hari ini. Setelah jam pelajaran usai, salah seorang siswa kelas Sosial membuatnya naik pitam. Misca, siswa mirip artis Nabila Syakieb dengan kancing kemeja bagian atas sengaja dibuka dan rok yang lebih mini dari teman-teman- nya. Seksi, tapi bukan pada tempatnya. Ini sekolah, bukan Pantai Kuta. Ini lembaga pendidikan, bukan diskotik.
―Sudah paham?‖
―Sudah,‖ jawab seluruh siswa
―Baiklah. Homework kali ini kalian menulis proposal kerja sama, yah.‖
―Untuk apa, Sir? Kita gak perlu membuat proposal, kan tinggal minta sama papah Misca,‖ tegasnya dengan sombong.
Ringan bahasanya tapi menukik, menyakitkan. Bahasa memang lebih tajam dari pedang. Tegar terdiam, dadanya sesak penuh bara api. Ingin marah tapi tak bisa, ditahannya jengkel
menjadi resah. Tegar meredam emosi dengan menghirup udara panjang-panjang.
―Pokoknya, minggu depan kumpulkan proposal kalian,
yang tidak mengumpulkan saya kasih nol.‖ Tegar menahan emosinya. Matanya sedikit melotot dan memerah penuh kesal. Tatapannya berfokus pada Misca.
―See you next time.‖ Tegar meminta kelas meninggalkan
ruangannya lebih awal. Tegar mengatur napasnya. Menahan kekesalan.
Permasalahan ini memang sempat Tegar utarakan pada wali kelas XII Sosial, namun jawaban Mrs. Dina siang itu kurang bisa dimengerti nalar Tegar.
―Kita mesti maklum Pak, harus lebih sabar. Mereka sudah
datang ke sekolah pun itu suatu yang berharga dan luar biasa. Sebenarnya mereka gak perlu sekolah dengan harta yang ber- limpah milik keluarga. Maklum saja Pak, mereka terbiasa di- manja, mereka adalah raja dan ratu kecil di istananya masing- masing, Pak. Sebentar-sebentar panggil pembantu. Ya maklum yah, Pak. Kita mesti maklum sebagai guru di sekolah interna- sional,‖ tegasnya meminta pada Tegar dengan nada memaksa.
Tegar tak ingin memperkeruh suasana dengan berdebat di ruang kelas yang mulai gerah oleh geram. Tegar mengiyakan saja dan meninggalkan homebase Mrs. Dina di ruang kelas Sosial yang ramai dengan display peta, foto pahlawan, jenis-jenis uang, bola dunia, dan bendera negara-negara.
Tegar merasa sia-sia dan membuang waktu secara percuma pada snack time kali ini. Ia terlihat sangat lelah. Bila
dilihat dari caranya memandang, langkahnya mulai gontai, kemudian perlahan bersandar pada kursi yang setia selama enam bulan menjadi teman resah. Alunan musik Buat Aku Tersenyum milik band Sheila On 7 menambah resah tak berujung. Tegar merebah lelah. Selalu ada keindahan tersendiri menikmati petikan gitar Eross dan suara Duta yang khas dan berkarakter.
Daaris mengusap biola kesayangannya penuh cinta dengan tisu. Daaris memperlakukan alat musik kesayangannya layaknya makhluk bernyawa. Sesekali rambutnya yang hitam terurai me- nambah karisma sebagai pendiri dan pencetus lahirnya grup musikalisasi puisi Senandung yang semakin populer dan men- jadi trending topic di sosial media dan YouTobe. Daaris begitu nyastra. Sastra abis dalam segala hal. Begitulah kesan yang dida- pat bila jumpa dengan pria yang enggan memotong pendek- pendek rambut hitamnya yang terurai itu. Tampan, pesona, dan bakatnya merupakan nilai jual dan paket komplit menapaki dunia hiburan. Menapaki jejak langkah seniman panggung yang Daaris impikan.
Kemampuan Daaris menggubah puisi penyair ternama
menjadi nada lagu seakan-akan siap menghipnotis audience yang hadir pada malam anugerah sastra di Taman Ismail Marzuki malam Minggu ini. Belum lagi wajahnya yang rupawan mirip Adipati Dolken versi gondrong siap menyihir penggila sastra dan penikmat musik Indonesia pada umumnya.
Beberapa penyair ternama tampak duduk di barisan terdepan sebagai tamu undangan VIP, seperti Taufik Ismail, Hamsad Rangkuti, Remi Silado, Jose R. Manua, dan beberapa penulis ternama yang juga tampak hadir dan memenuhi ruangan, Asma Nadia, Andrea Hirata, Habbiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa, Iwan Setyawan, Dewi Lestari, Ratih Kumala, Tere Liye, Khrisna Pabicara, Pipit Senja, Ayu Utami, Asrizal Nur, Gemi Mohak, dan Wildan F. Mubarock, sastrawan muda yang baru saja mendapat penghargaan sebagai penulis muda berbakat di Brunei Darussalam, turut hadir dan memeriahkan acara tiga tahunan itu.
Beberapa pejabat hadir bersama protokol yang tampak
gagah dan berwibawa, berpakaian safari hitam. Kaku membatasi gerak dan jarak antara rakyat dan pemimpinnya. Tampak M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, membacakan pidato sambutan dengan sangat formal dan penuh makna. Sesekali celotehnya mendapatkan tepukan tangan dari audience.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan beberapa pejabat dari kedutaan negara tetangga turut hadir serta memuji pagelaran seni tahun ini yang sangat megah dan berkualitas intenasional. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dijadwalkan akan menutup pagelaran sastra se-Asia Tenggara malam ini pun mewakilkan pembukaannya kepada Wakil Presiden, H. M. Jusuf Kalla.
Puisi karya W. S. Rendra, Sang Burung Merak, Seonggok Jagung digubahnya menjadi alunan musik yang penuh makna dan hikmah. Nada-nada yang tercipta menyampaikan pesannya
dengan tepat pada setiap pendengar yang hadir dengan antusias. Suara Sang Vokalis, Romi, yang berat, serak, dan berkarakter menenggelamkan suasana gedung pertunjukan yang megah oleh tata panggung berkelas dunia. Sinar kebintangan Daaris tak mampu dibendung oleh apa pun dan siapa pun malam itu. Suara Romi yang khas lagi-lagi menambah sakral dan mistis suasana pertunjukan. Tiupan alat musik djiridu Sang Pemusik, Acil, memecah melambangkan suasana mencekam dan kelamnya ke- hidupan. Lagi-lagi Daaris disorot oleh lighting berwarna putih, angle yang sangat menarik untuk dipandang. Sesekali Aray, Pemusik yang lain, memainkan triangle-nya penuh hikmat dengan tempo selaras. Harmoni. Teng teng teng, bunyi seder- hana tapi sarat akan makna menambah suasana mencekam. Daaris sesekali mengibaskan rambut yang terurai mengganggu pandang. Ia bersetubuh dengan puisi lewat gesekan dawai biola yang menafsirkan kata dalam puisinya. Biolanya seakan-akan berbicara menyampaikan pesan. Biolanya berdialog dengan pe- nonton. Dawainya seperti berdebat tentang kebenaran dan ke- burukan.
Penonton bersorak riuh ramai. Di sanalah hebatnya Daaris, ia tak mesti menjadi frontman untuk mendapat perhatian lebih dari penonton. Sedikit saja ia gesekkan dawai biola ke- sayangannya, sejuta tepukan menyapanya dengan sukarela tanpa paksaan dan pengondisian. Tidak ada penonton bayaran. Sedikit saja ia bergumam menjadi backing vocal, seluruh penon- ton menjerit histeris tersihir. Ya, Daaris sejak lahir sudah punya aura bintang kesuksesan. Aura bintang yang menakdirkannya
dipuja dan dipuji oleh penggemar musikalisasi puisi Senandung, meski sebenarnya puja dan puji hakikatnya untuk Sang Pencipta. Berhati-hatilah mereka yang dipuja dan dipuji.
―Lagi… lagi,‖ pinta penonton yang hadir dan penggemar
setia grup musikalisasi puisi Senandung meriuhkan gedung pertunjukan yang didominasi latar hitam. Daaris tersenyum lebar. Satu sapa terakhir giliran Daaris menjadi vokalis. Posisi biola Daaris serahkan ke Dinda, satu-satunya pemain wanita di grup yang memperindah pemandangan di atas panggung dengan variasi latar gedung menjulang dan pohon-pohon yang tumbang dan menyerah pada penebang yang kejam. Keduanya sama bimbang. Pohon dan penebang sama-sama bimbang.
Kali ini giliran Romi beraksi, lelaki yang pada saat penampilan awal menjadi vokalis tersebut bertugas membaca puisi di tengah-tengah lagu. Aray dengan piawai memainkan jimbe dengan ketukan dua per tiga.
Intro berakhir.
Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang Keabadian yang akan datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Tepuk tangan berderai membentur dinding-dinding ge- dung kesenian bersejarah milik pemerintah, memecah ruang dan waktu. Mengembuskan jeritan histeris, memecah udara. Ia membunuh dingin, bersamaan dengan itu menghangatkannya. Membunuh kesepian kemudian meramaikannya. Ia juga mem- bunuh rasa dan perasaan kemudian menghidupkannya. Tepuk tangan kekaguman berulang-ulang, riuh menggema-gema. Te- puk tangan bukti kepuasan penonton yang hadir di tempat sa- kral para sastrawan. Hanya di sini bertepuk tangan dimerdeka- kan dan dibebaskan sesuka hati. Berbeda dengan debat Capres tahun ini yang memenjarakan tepuk tangan, kecuali moderator mempersilakan. Tepuk tangan kok dilarang, tangan-tangan
yang bertepuk pun dilarang. Ia diperbolehkan jika boleh oleh moderator. Aneh. Dilarang bertepuk tangan. Tangan-tangan bertepuk pada udara yang hampa tanpa oksigen. Setelahnya baru teriak merdeka! Merdeka tapi diatur. Ngawur. Aneh. Lucu. DILARANG TEPUK TANGAN. LUSA, DILARANG TANGAN-TANGAN BERTEPUK SEBELAH TANGAN.
Beberapa memberikan siulannya dari kiri. Ada yang berte- riak-teriak menjerit histeris melengking. Bulu kuduk penonton berdiri merinding. Ada tatapan tak berkedip. Tiap fonem, morfem, kata, dan kalimat yang Daaris lantunkan dari bibir be- gitu penuh arti sehingga sampai pesannya pada pendengar. Se- gala yang disampaikan dari hati pasti sampai ke hati. Dari hati turun ke hati. Dari mata turun ke hati, dari hati naik ke mata. Tak ada bising dan kebisingan tersasar malam itu, ia tak tahu jalan pulang. Seluruh penonton terpukau dan merasa ada dalam pertunjukan itu sendiri. Mereka larut terbawa alunan nada mu- sik cerdas dan mencerdaskan. Aransemen musik dengan sentuhan berbeda. Mereka merasa menjadi bagian dari puisi yang disampaikan lewat nada-nada harmonis musikalisasi puisi Senandung. Duta asing sesekali terlihat bertanya maksud puisi yang dilantunkan pada penerjemahnya dan terlihat terpukau oleh Daaris dan kawan-kawan.
―Amazing,‖ kata itulah yang terlontar dari beberapa
penonton.
Pertunjukan yang sempurna pada bulan purnama yang agung. Dulce et utile. Semua beryanyi, semua berpuisi, semua bersastra. Seluruhnya menikmati.
―Keren banget, yah,‖ ujar salah seorang penonton wanita berperawakan langsing pada teman pria yang digandengnya.
―Banget. Itu alasan kenapa malam Minggu kali ini aku ajak
kamu ke sini. Gak ke XXI nonton film hantu yang cuma jual body
artisnya aja tapi, gak berkualitas. Hehehe.‖
―Baru tahu lo, kalo pertunjukan sastra tuh menarik banget.‖
―Masa sih, Sayang?‖
―Iya, serius. Biasanya kan ngebetein dan aneh. Lain kali ajak aku lagi yah, Sayang. Aku jatuh hati nih.‖
―Aku juga, Sayang.‖
―Bukan jatuh hati padamu, Sayang. Tapi, tuh sama yang main biola. KEREN BANGET. Kapan yah Senandung tampil
lagi?‖
―Gak usah nonton lagi,‖ jawab pria itu penuh kesal mendengar pacarnya kecentilan. Si pria berjalan mendahului pacarnya, sementara si wanita terlihat puas menggoda perasaan prianya yang terbakar cemburu. Cemburu buta. Dibutakan cemburu. Cemburu tanda sayang, cemburu tanda tak sayang.
Ya, bagi Daaris membuat wanita terpesona padanya adalah hal yang mudah. Mudah sekali. Dia terlahir untuk mudah di- cintai dan disayangi tapi, sulit untuk menerima cinta. Sukar ja- tuh cinta. Sekalipun dari bidadari surga. Kecuali… pada satu hal.
|
GETAR YANG BERBEDA
Pertunjukan berakhir, satu per satu penonton meninggalkan keluh kesah dengan membawa kebahagian dan nilai-nilai yang terselip dalam hiburan pertunjukan sastra. Gedung pertunjukan kemudian mulai sepi tanpa bahasa. Hanya ada lalu-lalang pedagang asongan rokok yang mengais rezeki dan deru gas motor serta mobil yang sedikit melengking. Kemudian hilang meninggalkan polusi ganas memangsa atmosfer bumi yang mulai bugil dan seksi. Bumi telanjang tanpa kaus dan kutang. Bumi yang tenggelam. Bumi oh bumi.
―Kita gak salat lagi, yah?‖ sahut Aponk, pemain gitar yang
sedikit masih ingat Tuhan.
―Mau bagaimana lagi?‖ Daaris sedikit membela.
―Maksudku, kita.‖
―Kecuali aku kan, Ponk?‖ tambah Romi yang Nasrani.
―Kita apa?‖ bentak Acil sambil memegang botol minuman keras.
―Kita kafir. Aku sih gak peduli. Masing-masing aja kali,‖
bentak Acil.
―Udah, udah, jangan bertengkar, Kak. Btw, tadi aku keren
gak main biolanya?‖ tanya Dinda pada semua.
―Bagus, kamu cantik, Din, malam ini,‖ lanjut Aray me- muji.
―Makasih banget, Kak Aray. Menurut Kak Daaris gimana?‖
pinta Dinda.
―Bagus.‖
―Terus?‖ pinta Dinda penasaran.
―Ya bagus, cuma masih kasar mainnya,‖ sahut Daaris.
―Heem,‖ Dinda menghela napas dalam-dalam. Tapi itu yang ia suka dari pria sebenarnya. Kejujuran. KEJUJURAN. Kejujuran yang semakin mahal karena langka.
Beberapa wanita lebih suka dibohongi dengan bualan- bualan yang memabukkan, membawanya terbang ke langit ketujuh lalu menjatuhkannya ke dasar samudra. Dinda bukan tipe wanita seperti itu. Bukan. Ia menaruh hati pada Daaris. Bagaimana dengan Daaris? Adakah rasa yang sama? Atau cinta bertepuk sebelah tangan? Bukankah bertepuk sebelah tangan dilarang seperti bertepuk tangan? Hehehe.
Seluruh pemain dan tim manajemen bergegas merapikan
alat musik. Jam di ponsel menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Acil harus pulang dibonceng Aray karena terlalu banyak minum alkohol. Kebiasan buruk yang belum hilang, meski Daaris pernah hampir menampar Acil penuh geram.
―Ini ritual, kalo gak minum, aku gak bisa perform.‖
Sugesti yang salah kaprah tapi, memang begitu adanya. Beberapa tidak bisa menghilangkan sugesti buruk sebelum pertunjukan. Rokok dan minum kopi merupakan salah satu ri- tual wajib beberapa sastrawan yang dianggap wajar nan muja- rab. Sementara mabuk dan berhubungan seks menjadi rahasia umum yang juga hadir sebelum pentas tapi, masih tabu untuk diungkap apalagi diutarakan. Sebagian kecil mengawali penam- pilannya dengan membaca doa dan memohon kelancaran ke- pada Tuhan. Sebagian kecil saja tapi, ada. Selalu ada kebenaran sekalipun di ruang dan waktu yang pudar oleh hitam. Di ruang abu-abu.
Sementara itu, Romi sang vokalis pulang sendirian
mengendarai mobil Corolla tahun 1976 berwarna merah pudar. Knalpotnya nyaring menyentak telinga, melengking. Melesat dan hilang bersama gelapnya kabut malam. Bising sekejap. Retro abis… bravo.
Daaris diminta Dinda mengantarkannya pulang sampai indekos.
―Kak Daaris, anterin aku, yah. Kakak bae deh. Kita kan satu
arah. Mau gak, Kak Daaris?‖ Dinda mendesak.
―Boleh,‖ Daaris mengiyakan keinginan Dinda.
|
ZAMAN WEDAN
Jakarta Selatan, 23.00
Pukul sebelas malam kepadatan mulai terurai dan berce- rai-berai. Jalanan lengang, jalanan rindu kendaraan. Remang- remang ibukota negara menggoda pengendara yang haus hiburan malam dan lapar kesenangan sesaat. Kenikmatan dunia. Club-club malam berkilau gemercik lampu warna-warni lengkap dengan wanita-wanita penghibur berbusana mini yang menan- tang syahwat dengan rokok di tangan kiri dan mengundang gai- rah. Seksi membuat lelaki hidung belang menelan ludah dalam- dalam dan berliur.
Kerlap-kerlip mirip bintang dari kejauhan memanjakan mata seluas mata memandang. Rumah susun dan tempat karaoke plus menjamur di musim penghujan yang sebagian di antaranya mengamuflase area prostitusi. Menjamur tumbuh di tanah yang katanya subur dan makmur bagi sebagian yang kufur dan takabur dan pasti terkubur karena uzur,
kemudian semuanya berteriak sukur. Dan pastinya akan dikubur. PASTI . Karena siapa yang berruh pasti kembali. Pasti kembali…
Istri-istri yang meninggalkan suami penuh rasa bangga dengan status wanita karier yang bingung baru pulang kerja di tengah malam menunggu bus-bus kota di halte-halte bus Trans Jakarta. Halte sesak oleh asap knalpot metromini putih hijau yang melintas berbau bahan bakar solar. Asap putih mengganggu pernapasan dan menimbulkan polusi.
Anak-anak yang butuh kasih sayang mereka titipkan ke babysitter terbaik milik perusahaan jasa ternama penyedia pembantu dan pengasuh anak serta orangtua jompo yang berduka. Yang aneh, mereka sendiri tak pernah menitipkan perhiasan dan uang dolar pada babysitter. Sebuah ironi dengan benang merah yang bernama emansipasi perempuan. Suami- suami salah masuk kamar saat istri-istri masih terjebak kemacetan yang menjadi rutinitas biasa. Di ruang kamar babysitter, suami-suami melepas manja dan mesra serta mengantisipasi bila istrinya pulang lebih awal dengan mengunci pintu depan dengan kunci tergantung dari dalam. Dikunci dan ditutupi serapat-rapatnya. Lupa? Tuhan Maha Melihat. Malaikat mencatat dan mendata dengan akurat. Tuhan bersemayam di Arsh ―mengawasi‖. Tak akan ada hal yang luput dari penglihatan-Nya.
Saat dede tertidur, ada ―dede‖ lain milik bapak yang
terbangun, yang akan memproduksi dede-dede lain yang akan dititipkan pada babysitter-babysitter lainnya dan akan menjalin
kisah dan cerita-cerita lainnya. Semuanya seperti tak pernah terjadi, bias oleh kemegahan kota ibu, ibukota. Jakarta, kota metropolitan yang gahar, membunuh nilai-nilai karakter luhur bangsa dan budaya timur. Budi pekerti dan pamali tak lagi sakti, malah terkesan norak dan kampungan. Menelanjangi agama dan tak mengindahkan kehadiran Tuhan.
Besoknya berulang
Dan berulang kembali
Kembali berulang hingga waktu menuntun kebenaran yang abu
Di sanalah Tuhan murka. Siapa yang sa-
lah?
Di sanalah Tuhan tak suka. Siapa yang salah?
Di sanalah Tuhan Durja. Siapa yang salah? Agama di kolor bapak dan menyelinap di celana dalam wanita. Aduhai…
Maka siapa yang salah jika bencana dan bencana singgah dan betah di negeri yang sebagian pendudukannya beragama tapi menjauhkan Tuhan dari kehidupannya? Padahal Tuhan te- lah berpesan, wala taqrabu al-zina, mendekatinya saja Tuhan melarang apa lagi melakukannya. Tuhan murka. Azab singgah lewat alam semesta yang tunduk pada perintah-Nya. Sayang penguasa mendeskripsikannya sebagai ujian atau cobaan dalam pidato resmi. Kita kepedean. Sangat percaya diri menganggap
sebagai orang beriman. Bukannya cobaan dan ujian itu untuk orang beriman? Dari mana kita tahu kita beriman? Mestinya istilahnya bencana saja. Bencana berulang, Tuhan titipkan pesan lewat alam yang digenggamnya. Beristigfarlah!
Gedung-gedung meninggi, menginjak paksa bumi yang ranum tapi sudah berumur. Tanah-tanah penopang menahan sakit beton-beton yang menancap hingga dasar. Long suffering. Tanah tersakiti tanpa mampu bicara.
Jauh di langit terhampar sebatas mata yang megah pesa- wat-pesawat komersial hilir mudik terkontrol menara kontrol yang super canggih dengan teknologi export made in Japan…. Menara-menara provider seluler menggenapkannya menjadi pe- lengkap. Menjulang tidak efektif, belum terintegrasinya peru- sahan untuk bekerja sama dan saling melengkapi, bukan saling bersaing dan menyaingi. Malam memang indah. Ia menyimpan keindahan dan misteri tak terungkap. Gelap dalam terang. Tuhan mahamencipta. Lukisan nyata tiada tara tiada bandingan- nya. -malam biru-
JATUH (TANDA TANYA) CINTA
Daaris memacu motornya dengan penuh hati-hati sambil me- nahan kantuk. Kelopak matanya meredup, menggelayut. Bebe- rapa kali Daaris menguap. Bola matanya lima watt.
Sepertiga jalan-jalan dilalui tanpa tanya dan bahasa. Tiada
yang berani memulai. Keduanya membisu. Mematung. Tak seperti biasanya. Ada getaran tapi tak dimengerti, tak dipahami.
―Kak, boleh aku peluk Kakak?‖ Dinda memulai pembica-
raan
―Apa? Gak denger tahu.‖
Suara Dinda terbawa angin malam yang tak mampu me-
nyelinap ke dalam helm Daaris sehingga pesan tak tersampai ke telinga.
―Aku ingin peluk Kakak,‖ teriaknya kencang.
Daaris tak tahu mesti jawab apa. Ia teringat teman lamanya. Seseorang yang pernah membuatnya lulus empat tahun. Padahal secara akademis, ia sadar ia bukan siapa-siapa.
―Kau nih, Gar, sudah mau lulus belum punya pacar, malu
napa? Nanti wisuda PW-mu siapa?‖
―PW apa sih?‖
―Pendamping weenak?‖
―Buatku pacaran NO, taaruf Yes.‖
―Dasar kau sok religius.‖
―It is my belief.‖
―Buat aku, pacaran boleh, asal gak zinah. Ini soal keyakinan, jadi berbeda itu indah.‖
Lamunan meretak….
Dinda memeluk Daaris dari belakang penuh cinta tanpa menunggu persetujuan.
―Sebenarnya, sejak Kakak ajari aku main biola di sanggar
Atika, aku udah jatuh cinta sama Kakak,‖ bisiknya di telinga kanan Daaris yang membuatnya sedikit kegelian. Sebuah pengakuan tulus dari Dinda yang melanggar norma tak tertulis sebagai wanita. Daaris merasakan getaran. Deg-degan. Inikah?
Kehangatan itu pun jadi nyata, malam Minggu di ibukota yang penuh rindu. Dua insan terpanah dewi cinta yang tersesat di jalanan ibukota yang padat. Panahnya mengarah tepat sasaran, tepat di hati keduanya. Di hati Dinda dan Daaris. Dua
―D‖. Dewi cinta pun terlihat enggan menemukan jalan pulang.
Ia betah berada bersama keduanya. Menjadi saksi bisu cinta.
Dinda menemukan ke mana mesti kembali. Ia adalah tu- lang rusuk yang dipisahkan Tuhan dari Daaris. Daaris sendiri seperti menemukan sesuatu yang pernah hilang dari dirinya. Melihat Dinda seakan melihat cermin dirinya. Sama seperti
Hawa yang tercipta dari tulang rusuk Adam. Begitulah mereka meyakini pertemuannya yang menjadikan mereka sepasang ke- kasih. Sepasang cinta. Dua sejoli…. Amboi.
Bintang-bintang membentuk hati secara utuh, sinarnya merah muda. Memancar menerangi Jakarta Selatan yang terang oleh bola lampu, baliho iklan rokok yang menginspirasi tapi menyebabkan kematian. Inspirasi untuk mati. Bulan setengah mulai tampak jelas seraya berucap, ―Woi, aku nelangsa nih, please kasih aku kesempatan biar bisa berjodoh sama matahari. Pertemukanlah aku! Pertemukan aku dengan jodohku!‖ Rem- bulan menangis, matahari tak tahu menahu.
Pohon-pohon palem memberi selamat, lampu penerang jalan genit berkelap-kelip menggoda sambil bernyanyi lagu cinta milik Dewa 19 gubahan Ahmad Dhani, sang maestro musik Indonesia.
Aku jatuh cinta untuk kesekian kali Namun baru kali ini kurasakan cinta sesungguhnya
Daun-daun kering tertahan, enggan untuk jatuh dari ranting-ranting menunggu jawaban cinta penuh rasa penasaran dan cinta itu berbalas. Cinta itu terjawab, tak mesti menunggu lama karena ini hanya soal cinta bukan bangsa. Ini soal cinta bu- kan negara. Bicara soal cinta, bicara soal hati. Bicara soal hati, bicara soal cinta. Bicara soal bangsa, bicara soal? Kepentingan, bicara soal kepentingan, bicara soal bangsat.
Berguguran daun-daun menguning penuh makna, kemu- dian satu-satu berjatuhan ke tanah penuh cinta yang kasmaran. Seperti jatuh cinta Daaris pada Dinda. Seperti Dinda yang me- mulainya dengan cinta. Cinta hanyalah cinta.
Daaris tahu benar ini cinta, bukan nafsunya. Dimintanya Dinda untuk memegang lebih erat lingkar perutnya. Dinda memeluk dengan erat, sangat erat. Terlihat ia memerah penuh ingin, tapi malu. Pelukan mesra. Bibir tipisnya begitu menggoda. Rambutnya terbawa angin menambah seksi dan eksotis. Bulu matanya lentik. Senyumnya mirip bulan sabit yang cerah merekah. Dinda mirip Raline Shah, bintang film 5 Cm. Cantik, manis, indah dipandang. Kecantikannya meluluhkan hati Daaris.
Daaris mengendarai motor dengan satu tangan sepanjang jalan, ia memperlambat laju motornya hingga 15 km/jam. Tangan kirinya menggengam jemari Dinda yang lentik yang erat memeluknya saling melengkapi. Halus dirasa. Sesekali ia menoleh ke belakang dan memberikan senyuman terbaiknya untuk Dinda. Senyum dengan lesung pipit yang menggoda. Dinda salah tingkah dan tersenyum penuh harap. Keduanya saling membalas senyum dan tersipu malu. Raga Dinda mere- bah pada pundak kekasih barunya yang lama diidam-idamkan- nya. Keduanya berpuisi sebagai tanda jadian sebagai kekasih baru. Keduanya melantunkan sajak cinta. Lirik romantis. Ber- puisi!
Aku ingin mencintaimu dengan seder- hana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan seder- hana
Dengan isyarat yang tak sempat disam- paikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Keduanya teriak kompak tanpa aba-aba, tanpa hitungan satu dua tiga, ―Sapardi Djoko Damono!‖ Dan tawa menelan mesra keduanya di atas vespa biru yang lucu. Cinta itu nyata. Rembulan membentuk hati. Asmara bertabur cinta berbumbu mesra. Oh… indahnya.
|
AKHIRNYA…. PUNYA MOTOR
Hujan deras, sopir angkot mengoleskan sampo dengan cekatan pada kaca depan mobilnya. Wiper bolak-balik menampar hujan yang turun di kaca depan. Kaca-kaca mobil mengembun mem- buat jarak pandang terhalang. Sopir-sopir angkot terlihat sibuk menyeka kaca dengan kanebo yang terselip di balik jok. Mereka begitu cekatan mejaga keseimbangan mobil di jalan raya yang banyak menyediakan lubang yang tergenang. Sesekali mobil bergoyang-goyang. Matanya tak terlepas dari spion dan kaca di depan yang berfungsi mengamati penumpang di belakang. Lampu-lampu jarak jauh kendaraan saling bertabrakan mencoba membuka jalan.
Deras hujan yang tidak biasa di Kota Bogor yang tenar dengan sebutan kota hujan sebab hujan tak mengenal bulan di Bogor. Sekalipun musim panas melanda, kota ini selalu hujan. Kebun Raya Bogor memang selalu ingin disirami setiap hari. Mungkin itu alasan Bogor selalu hujan. Mungkin? Tuhan Maha
Mengetahui meski ilmu pengetahuan mengiyakan. Tuhan men-
jaga.
Seorang anak mendekap ibunya dengan rasa takut sambil merengek ingin cepat pulang. ―Mak pulang… Mak pulang….‖
Sesekali kilatan petir mengukir indah di langit namun, tetap meninggalkan kesan menakutkan dan seram. Kilatan- kilatan mirip akar tanaman yang terbakar menyambar pohon- pohon yang menjarang di kota kecil yang mulai tergerus modernisasi dan pembangunan ruko-ruko serta perumahan bersubsidi. Pohon-pohon pisang yang mulai sulit ditemukan mengayun-ayun hendak roboh mencium tanah yang basah. Daunnya yang hijau muda sobek tak kuat menahan angin yang merobeknya dengan sengaja tanpa ampun dan tanya. Perumahan demi perumahan mulai terlewati. Orang-orang berteduh pada ruko-roko sepanjang jalan dan kios-kios kosong yang ditinggal pemiliknya. Beberapa berlarian mencari tempat berteduh dari hujan yang aman dan nyaman. Gapura menjadi alternatif pilihan. Ranting-ranting patah berserakan di jalan raya yang berlubang dan tergenang. Bunyi klakson kendaraan bersa- hutan memecah sunyi jalanan tapi, bunyinya kalah saing dengan bunyi petir dari langit yang menggelegar jantung. Beberapa kali penumpang di belakang mengucapkan astagfirullaahalazim dan membaca ayat kursi di ujung lidahnya.
Hujan deras yang ganas. Langit mungkin marah pada bumi dan penghuninya yang telah memperkosa kehijauannya secara paksa tanpa senggama dan kenikmatan. Bumi sudah tak perawan. Lapisan-lapisan menipis dan beberapa tampak bolong.
Kecil tapi, pasti membesar. Petir-petir seperti mengincar para keturunan jin iprit yang kabur tunggang-langgang dari antena ke antena televisi di bumi Indonesia yang penduduknya mulai menggilai boyband dan girlband serta menghabiskan waktunya menonton daripada membaca novel apalagi kitab suci yang terjaga kesuciannya karena jadi pajangan semata di rak-rak buku.
Film-film pilihan dengan rating terbaik ditayangkan
menjelang magrib sebagai upaya sadar atau tak sadar menghilangkan kebiasan mengaji anak-anak remaja. Siasat jitu yang memengaruhi pengajian mulai berkurang peminatnya. Mulai sepi. Entah kebetulan atau tidak, namun itu yang terlihat di kota kelahiran Tegar dewasa ini. Langgar-langgar sepi oleh anak-anak mengaji iqra atau juz amma, musala-musala sepi ha- falan doa iftitah dan bacaan salat bakda magrib menjelang isya. Selain itu, kebiasaan anak-anak membawa Alquran berganti dengan HP dan gadget. Sementara di rumah-rumah, anak-anak seru menyaksikan televisinya dengan khusyuk dan tertib penuh rasa ingin tahu. Tak beda dengan anak-anak, ibu-ibu muda disuguhi sinetron yang menguras air mata. Tepuk tangan riuh anak-anak iblis di bumi Allah sebagai perayaan misinya mulai membuahkan hasil. Bisik rayunya sukses. Sedikit lagi janjinya menjerumuskan keturunan Nabi Adam as menjadi kenyataan. Selawatan yang terdengar dari sesepuh kampung sebatas lewat saja meski makna yang terkandung di dalamnya sangat ber- makna. Penuh makna.
Eling-eling umat muslimin muslimat28
Hayu urang solat berjamaah magrib29
Eta kawajiban urang sadayana30
Eta kawajiban urang salerea31
Berulang-ulang tapi tak merasuki, hanya sebatas lewat saja. Lewat telinga kanan keluar telinga kiri. Sebagian malah mempermainkan liriknya. Aduh, Gusti.
Di bumi yang telah Tuhan ciptakan sebelum Adam as di- turunkan-Nya ke bumi. Bukan karena dosa Adam kita sekarang hidup di bumi atau mestinya kita di surga selama-lamanya jika Adam as dan Hawa tak memakan buah khuldi. Nyatanya bumi memang tercipta untuk dihuni manusia.
Hujan mereda dari amuknya yang centil, masih deras te- rasa adanya. Hujan pun kemudian mencoba berdamai dengan hujatan beberapa kota yang mengeluhkan kehadirannya. Hujan dituduh sebagai bencana. Hujan lagi, hujan lagi. Banjir lagi, banjir lagi. Hujan kok disalahkan? Yang salah kan manusianya sendiri. Beberapa menghujat kota di hulunya, beberapa me- nyalahkan program dan kinerja pemerintah yang tak becus dan menganggap tak tepat janji mengurusi masalah banjir yang rutin bila musim penghujan tiba. Sedikit sekali di antara kita yang menyalahkan diri sendiri karena sungai-sungai disulap menjadi
gorong-gorong dan bangunan liar sehingga ruang sungai
28 Ingat-ingat umat muslimin muslimat
29 Ayo kita salat berjamaah
30 Itu kewajiban kita semua
31 Itu kewajiban kita semua
mengalir menyempit dari asalnya. Menyalahkan diri karena buang sampah di sungai-sungai yang suci tak berdosa. Padahal di tepian sungai terpajang spanduk jangan buang sampah semba- rangan dan kebersihan bagian dari iman. Ingat, kebersihan ba- gian dari iman.
Bukankah kerusakan di muka bumi akibat tangan-tangan jail manusia itu sendiri? Telah tampak kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah menunjukkan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Right?
Polah tingkah manusialah yang menyebabkan bencana banjir karena sebenarnya istilah banjir itu sendiri ada sejak manusia mulai ada dan membangun tanpa tedeng aling-aling. Tanpa pikir-pikir yang merusak tatanan kota dan saluran air dan takdirnya. Para pengembang cuma pikir keuntungan di depan mata dan tak hirau hukum sebab akibat bagi anak cucunya.
Tegar memberhentikan angkutan umum berwarna hijau
muda bernomor 05 di salah satu gang menuju rumahnya. Butuh waktu untuk menemukan rumah yang terpencil dari jalan raya. Kira-kira 100 meter dengan berjalan kaki. Melangkahlah.
Ia kemudian memanggil bocah kecil yang menawarkan
payung penuh harap. Bocah lugu yang ceria menghadapi hujan nan deras mengguyur. Anak-anak yang membiarkan tubuh mungil mereka basah kuyup demi lembaran uang ribuan. Anehnya, mereka jarang terserang sakit karena kehujanan dan uniknya mereka punya daya tahan tubuh yang lebih baik dari orang dewasa sekalipun. Di sanalah kehendak dan kuasa Tuhan.
Orang-orang miskin jarang sakit. Jika pun sakit biasanya cukup minum obat warung atau dikerik pakai minyak goreng dan koin recehan kemudian sembuh dengan sendirinya. Sementara orang-orang kaya mesti ke dokter-dokter spesialis bahkan ke luar negeri untuk kesembuhannya. Tuhan Mahaadil bagi hamba-Nya yang kaya dan miskin. Tuhan Mahaadil. Ingatannya berkelana pada murid-muridnya di sekolah SMP YP beberapa tahun yang silam. Apa kabar semua? Masihkah kalian mengojek payung seperti dulu? Tegar berharap kalian sudah menjadi pengusaha payung. Amin.
Tegar menerobos gang-gang sempit yang padat, becek, dan kotor oleh selokan yang airnya hitam oleh limbah pabrik keripik singkong milik Hj. Ijah yang terkenal egois di kampung sebelah. Gang-gang yang tak pernah ada perubahan, kecuali warna cat beberapa rumah yang berganti warna menjelang hari raya. Gang-gang yang sama persis tatkala Tegar masih SMA dan menjajakan es mambo bersama Udin, teman bermainnya yang yatim, dari rumah ke rumah sambil menenteng termos es dan baskom berisi kue-kue kreasi Mak Yati.
―Es… es… es. Nu aus… nu aus32. Es mambo,‖ kenangnya.
Tikus-tikus got berukuran jumbo hitam menerobos go- rong-gorong dengan cekatan meloncat ke sana kemari. Induk ayam melindungi anak-anaknya yang masih beberapa bulan dengan sayap-sayapnya yang menghangatkan. Sesekali bunyi anak ayam terdengar pelan. Cit cit cit. Beberapa tetangga me-
nyapanya dengan ramah saat berpapasan.
32 Yang haus… yang haus…
―Hujan Pak Guru, mampir dulu.‖
―Makasih Bu, hatur nuhun,‖ balas Tegar. Tegar memperce- pat langkahnya yang kecil.
Tegar sampai di rumah dengan ribuan rintik hujan yang membuatnya tenang. Adik-adiknya memberikan senyum ter- baik. Baskom-baskom berantakan menampung bocor rumah sederhana yang rapuh oleh waktu, waktu, dan waktu. Genting- genting yang belum sempat berganti. Sebagian warnanya hitam dan kusam menyiratkan sang empunya rumah tergolong sangat- sangat sederhana. Tiang-tiang rapuh menambah jelas ketidakmampuan itu.
Tegar menerobos pintu belakang setelah salam mengawali
dengan tergesa-gesa. Sepatu dan kaus kakinya basah akibat menerjang kubangan kecil yang kotor di jalanan. Kemeja kuningnya lembap terpercik hujan yang ayu. Ia bergegas mencari handuk untuk membasuh basah rambutnya yang klimis. Ia bergegas menuju dapur yang amburadul perabotan rumah tangga butut kepunyaan Mak Yati yang bergantung pada paku-paku berkarat. Dapur yang tampak tak terurus tergerus waktu dan menghitam oleh asap dari kayu bakar. Tegar berharap handuk miliknya ditemukan di tumpukan pakaian yang belum di setrika di sudut dapur untuk mengelap wajah yang basah. Tegar bergegas. Ia tak ingin meriang kena hujan yang sensi. Sesekali tanyanya mengudara. ―Mak, handuk di mana? Handuk di mana, Mak?‖
―Di dapur,‖ balas Mak Yati dari kamar. Bukan handuk
yang ditemui, melainkan sebuah benda lain. Sesuatu yang
membuatnya tak menghiraukan rasa dingin, melupakan basah. Sesuatu yang sangat berharga dan ingin dimilikinya dari dulu. Keinginan yang tak pernah diungkapkan karena Tegar tahu diri. Kemudian Tuhan mengamanahkannya hari ini. Tuhan memberikan titipan-Nya sore ini. Ia menitipkannya pada Tegar di waktu yang tepat, saat mobilitas kerja begitu cepat dan kadang tak terkejar bila mengendarai angkutan umum. Saat berburu waktu mulai menderu-deru berebut. Tegar
terhenti sejenak tak percaya, jantung berdetak melambat dan berhenti, kemudian berdetak kembali menggambarkan kehidupan masih ada karena ruh masih terpenjara di raga. Tegar mendekat tak percaya penuh asa. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Tegar melihat motor baru idamannya nyata terpampang di depan kedua bola matanya yang biru. Di rumah sederhana. Di ruang keluarga yang hangat oleh canda dan riang tawa. Tegar mencoba menampar pipi berharap ini bukan mimpi. Ini bukan mimpi. Seberapa kali ia menampar pipi, sejumlah itu pulalah rasa sakit tamparannya.
Motor baru yang masih berbalut plastik lengkap dengan kardus berisi helm hitam bermerek HONDA dan jaket tipis kini ada di depan mata, persis dua langkah di depannya. Begitu dekat. Ia kemudian mengusapnya berulang-ulang penuh rasa syukur. Tegar kemudian sujud syukur di depan adik-adiknya yang turut girang dan senang bercampur haru. Akhirnya ke- luarga Mak Yati punya motor tahun ini. Tegar tersenyum pe- nuh haru, matanya yang biru berderai berkaca-kaca. Tegar me- nangis, namun bukan kesedihan. Mak Yati penuh bangga pada
Tegar untuk kesekian kali. Ia mengintip di balik gorden kamar dengan mukena kekuning-kuningan yang masih terbalut di tu- buh tuanya yang renta. Adik-adik Tegar terlihat norak dan se- nang kegirangan sesekali memegang dan mendudukinya.
―Hore, besok anterin Wilma sekolah ya, Kak,‖ pinta adik-
nya penuh manja.
―Enak aja, Aa dulu yang pinjam.‖
Semuanya terlihat tak sabar ingin naik motor keluarga. Ingin jalan-jalan sore saat ngabuburit di bulan Ramadan layaknya kebanyakan orang.
―Gak mesti nyewa atau gigit jari karena iri lagi. Nah, dari
dulu ke boga33 motor. Manya eleh ku tukang bakso34. Mang Ade ge boga dua motor,‖ sahut Rosid. Singkat, tegas, tapi menyayat hati. Semua tertawa. Tawa bercampur haru.
Gerimis bernyanyi nada mayor dan ceria, tawa-tawa menghunus sunyi nan kelam. Bahagia itu ada di keluarga seder- hana penuh cinta. Meski bagi sebagian orang motor itu seperti kacang yang berserakan di jalanan, buat Tegar dan keluarga Mak Yati, motor itu barang mewah dan mahal yang mesti disyukuri dan dizakati. Tegar berzakat untuk motor barunya. Motor baru menyambut pemiliknya yang baru dengan penuh
kegembiraan.
33 Punya
34 Masa kalah sama tukang bakso.
Pukul 10.00, mentari menyapa dari langit.
Tegar bergegas mengambil air wudu di kamar mandi. Diambilnya sandal jepit lain warna dari dapur terlebih dahulu. Tegar berusaha menjaga kesucian wudunya dari tanah yang mungkin bernajis. Tegar membasuh dengan tertib. Dimulai dengan berkumur, dua lubang hidung, wajah, kedua tangan, rambut yang hitam, kedua telinga. Dan terakhir kedua kaki Tegar basuh dengan air deras yang mengalir.
Tegar terlihat sangat rapi berbaju koko biru lebaran tahun lalu lengkap dengan peci hitam yang mulai kusam. Peci kesayangan, warisan almarhum bapak. Sajadah dengan corak masjid terdampar menunggu Tegar penuh sabar di sudut ruang tidur menghadap kiblat. Mengarah ke Kakbah, ke rumah Allah yang dijaga oleh malaikat dari fitnah dajal dan sekutunya.
Rakaat demi rakaat salat duha Tegar lalui dengan khusyuk. Kali ini duha Tegar empat rakaat. Siulan burung tetangga me- nyuguhkan bunyi-bunyi menarik tak mengganggu pendengaran. Ia khusyuk menghadap Sang Pencipta di waktu sebagian dari kita sedang bekerja. Waktu duha saat mentari mulai meninggi, Tuhan menyapa makhluk-Nya yang merelakan waktu bekerja barang sekejap.
Seusai salam, doa permohonan maaf Tegar lantunkan
dengan sungguh-sungguh memohon ampun dan hidayah. Me- nyusul setelah itu doa setelah salat, doa yang telah dihafalkan- nya sejak Pak Iwad, guru agama Islam di SMP, mewajibkannya untuk membeli diktat dan menghafal beberapa bacaan dengan paksa dan sedikit ancaman. Adakalanya kita menggunjingkan
segala sesuatu yang diwajibkan guru di awal, kemudian ber- terima kasih di akhir. Tegar berdoa, ia meminta pada yang Mesti Dipinta. Pada yang Mesti Dimohon. Kepada yang berhak dimintai pertolongan.
Wahai ALLAH, bahwasanya waktu duha itu waktu duha-Mu –
dan kecantikan adalah kecantikan-Mu – dan keindahan adalah keindahan-Mu – dan kekuatan adalah kekuatanMu – dan kekuasaan adalah kekuasaan-Mu – dan perlindungan itu adalah perlindungan-
Mu.
Wahai ALLAH, jika rezekiku masih di atas langit, maka turunkanlah – dan jikalau ada di dalam bumi maka keluarkanlah – dan jikalau sulit maka mudahkanlah – dan jika haram maka sucikanlah – dan jikalau masih jauh maka dekatkanlah. Dengan berkat waktu duha, keagungan, keindahan, kekuatan, dan kekuasaan- Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hamba-Mu yang saleh.
Amin… amin amin yarobalalamin.
Tegar mengusapkan kedua tangannya pada wajahnya yang menyejukkan jika dipandang. Tegar bercahaya. Cahaya dari pancaran hati.
|
SENANG NAMUN TAK BAHAGIA
Sukses pentas di Taman Ismail Marzuki dalam pentas sastra se- Asia membuat tim musikalisasi puisi Senandung menjadi headline dan incaran berita beberapa koran nasional dan televisi swasta nasional. Mereka menjadi incaran wartawan layaknya selebritas ternama. Kejenuhan masyarakat Indonesia pada musik dangdut dan melayu serta musik Korea menjadi magnet untuk genre musik baru yang tak hanya menyajikan hiburan, tapi sarat akan nilai-nilai dan budaya nasional yang kental dengan kearifan lokal. Dulce et utile. Musik yang ―menghibur dan menghikmahi‖.
Demam boyband dan girlband mulai sirna dan perlahan pasti tak diminati lagi. Musik K-Pop pulang kampung terusir dengan sendirinya. Para girlband ternama hilang namanya, dangdut mulai redup, musik melayu mati total, musik pop tak lagi populer. Musik jaz dan blues masih untuk pendengar setia. Tak ada peningkatan. Ini tahunnya musikalisasi puisi. Seperti
roda yang berputar. Adakalanya di atas, ada saatnya di bawah. Teruslah mengayuh rodamu untuk tetap di atas bila tak ingin terjatuh. Mengayuhlah! Bila tak ingin di bawah atau terjatuh, mengayuhlah! Alam raya bersenandung.
Ini sepeda baru
Dari papah dan mamah ku
Dipintanya kumelaju
Agar aku tak terjatuh
Gapai cita-citaku
Raih mimpi-mimpiku…
–kataberkata jilid album anak-
Seperti dunia perfilman yang mulai menayangkan film- film dari novel para sastrawan ternama yang best seller dan sukses merebut hati pecinta film nasional dengan memenangi beberapa anugerah perfilman nasional dan luar negeri, musika- lisasi puisi mulai menjadi tren musik alternatif di tahun ini. Mu- sikalisasi puisi bukan hanya pertunjukan eksekutif kalangan tertentu, namun sudah menjadi populer dan ada di beberapa acara musik televisi swasta seperti Inbox, Dashyat, dan YKS. Pencinta musik sudah jenuh dengan musik yang itu-itu saja. Be-
gitu-begitu saja. Musikalisasi puisi Senandung merupakan genre baru yang mewarnai dunia musik.
Buat Daaris, fenomena ini menjadikannya populer dan
terkenal di kalangan masyarakat Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Wajahnya yang wira-wiri di televisi swasta membuat ketampanan dan musikalitasnya berpuisi menghipnotis jutaan pencinta musik dari Sabang sampai Merauke. Siapa yang tak kenal Daaris ―Senandung‖ dewasa ini? Tak ketinggalan, acara gosip pun memberitakannya dengan beberapa artis cantik nan seksi pemeran FTV. Sebuah trik manajemen yang dikemas me- narik dan profesional menempatkannya di jajaran musisi dengan bayaran panggung mahal di tahun ini. Nilai jual musikalisasi puisi ―Senandung‖ pun melonjak dan mulai bersaing dengan grup band kenamaan seperti Noah, Mahadewa, TRIAD, dan D’Masiv. Beberapa kali Senandung mengisi acara penganugerahan bertaraf nasional. Beberapa penghargaan musik dimenangkannya. Mulai dari kategori grup musik pendatang baru hingga lagu terdahsyat. Tahun ini tahunnya ―Senandung‖, tahun ini ―Senandung bersinar terang‖.
Di balik kesuksesan ada sebersit cerita penyesalan. Kegeli- sahan dalam hati Daaris menyapa dengan lembut. Kesibukan- kesibukan bermusikalisasi puisi yang merenggut waktunya un- tuk menghadap Tuhan sebanyak lima kali sehari membuatnya kehilangan kedamaian dan nilai-nilai agama yang tertanam sejak kanak-kanak. Daaris terbawa arus lingkungan yang tak acuh dengan ibadah dan tergoda dengan hiruk pikuk dunia musisi yang membawanya semakin jauh dari Tuhan. Tuhan tak pernah
menjauh. Daaris tersesat. Puisi-puisi yang religius hanya mampu menyadarkan pendengarnya, namun tidak untuknya sendiri. Keimanannya terkikis dunia yang menggoda. Gersang, hati tak tersiram dan disirami. Daaris teringat ketakutan Tegar. Melalaikan kewajiban dan perintah Sang Maha Esa.
―Ris, aku keluar yah dari teater?‖
―Kenapa?‖
―Beberapa kali aku telat salat nih? Kau juga kan?‖
―Iya, tapi kan jarang.‖
―Tapi, aku takut kebiasan dan jadi terbiasa jadi budaya.‖
―Terserahlah, lagian aku gak punya hak buat maksa kau tetap di teater.‖
―Maaf ya, Ris. Tapi, tenang saja, aku akan tetap berteater selalu selamanya dengan jadi guru. Guru takdirku, Ris.‖
―Bagus itu. Berteater itu dari hati jadi lo dah gak sehati gabung sama kita-kita. Mungkin itu jalan terbaik, Gar.‖
Ketakutan Tegar akhirnya terjadi pada Daaris. Lupa perintah Tuhan. Daaris melupakan kewajibannya. Melalaikan- nya. Padahal pertanyaan pertama dari malaikat Tuhan adalah tentang salat. Siapa yang salatnya baik niscaya baik pula perila- kunya. Salat itu mudah, hanya saja sering terlupa. Salat mence- gah perbuatan keji dan mungkar. Salat itu tiang agama.
Apa Daaris harus meninggalkan segalanya? Apa ia harus melepaskan puja puji yang sedang disandangnya? Apa ia harus
… Ah! Tuhan seringkali menguji manusia dengan harta, tahta, dan wanita. Apa kali ini giliran Daaris yang diuji dengan tahta?
KUNCUP BERAKSI
Taman Ismail Marzuki, malam Minggu yang biru pukul 08.00 WIB.
Tepuk tangan mendera membahana, yel-yel pendukung
membentur suasana gedung pertunjukan yang ramai penuh an- tusiasme. Beberapa peserta mampu menyuguhkan pementasan yang ciamik dan mengundang decak kagum seluruh penonton. Sebagian peserta bahkan disutradarai oleh sutradara ternama dengan sanggar-sanggar teaternya yang sudah tak asing lagi di telinga. Tegar tak mengizinkan siswanya menyaksikan penam- pilan peserta lain.
Tampil setelah menyaksikan pementasan peserta lain me- mang bisa berdampak pada psikologi siswa-siswanya. Jika pe- serta tampil bagus, dapat berdampak pada rasa kurang percaya diri, kita jadi down. Bila peserta yang tampil biasa saja, dapat menambah rasa percaya diri dan menjadi motivasi. Untuk itulah
Tegar melarang siswa-siswanya menyaksikan peserta lain tam- pil. Bisa jadi bumerang dan penuh risiko, begitu pikir Tegar.
Siswa-siswa terlihat tak keruan di ruang ganti yang
disediakan panitia penyelenggara. Ruang ganti itu sedikit gelap tanpa cahaya dari luar. Hanya ada beberapa bola lampu 15 watt yang menerangi ruang ganti. Satu dua lampu hanya mematung tak menyinari. Mesti diganti sepertinya.
Ruang ganti memotret kecemasan dan rasa tak keruan
siswa-siswa Tegar. Teknik mengajak siswa-siswa membayang- kan suasana perlombaan setiap latihan berakhir sedikit berhasil, namun tetap saja grogi masih singgah mendera. Ketidakbiasaan dan atmosfer perlombaan menjadi alasannya. Grogi itu biasa, manusiawi. Normal. Wajar adanya. Toh sampai detik ini rasa gugup masih saja merasuki Tegar sebelum dia tampil di pang- gung. Rasa itu masih pula merasuki para penampil berkelas du- nia sekalipun. Grogi itu manusiawi. Siapa pun selagi masih ber- nama manusia, pasti mengalami stres. Stres itu positif. Kita ha- nya tinggal mengelolanya agar menjadi energi positif.
Tari mulai terlihat cemas. Tingkahnya sudah tak keruan, lucu melihatnya. Juna beberapa kali izin ke toilet untuk buang air kecil. Rini duduk kemudian berdiri, kemudian duduk lagi. Dio tangannya berkeringat dingin. Tari sedikit salah tingkah, bolak-balik mirip setrikaan tak jelas. Sifa terlihat biasa saja.
―Mister, aku ke belakang dulu, yah,‖ pinta Maya menun-
jukkan kegelisahannya.
Juna tak henti-hentinya komat-kamit berdoa menebas rasa grogi yang semakin menjadi-jadi. Tegar tersenyum kecil dan
memaklumi siswa-siswanya. Lucu dilihat tingkah siwa- siswanya. Tegar terlihat sedikit menahan cemas. Kecemasan yang disembunyikannya lewat canda tawa. Tegar menyeka ke- ringat dengan sapu tangan bermotif batik sambil menghela na- pas panjang.
Sore menjemput, malam menyambut. Beberapa menit lagi giliran kelas Arts yang akan tampil. Nomor undian 12 baru saja usai, Tegar dapat nomor undian 13 saat technical meeting beberapa hari lalu. Angka sial katanya. Tapi, Tegar tidaklah percaya. Takhayul, itu bantahnya. Yakin Tegar pada siswa- siswanya.
‖Tuhan suka angka ganjil dan 13 itu ganjil, artinya Tuhan
suka kita. Hehehe. Kita pasti juara,‖ Tegar membakar semangat siswa-siswanya. Semangat siswa-siswanya meledak.
Terdengar jelas dan lantang MC mempersilakan dengan penuh semangat. Jadi MC butuh kepercayaan diri dan keramahan meski dalam keadaan lelah. Mesti selalu tersenyum dan menyembunyikan kegalauan hati.
―Kita sambut penampilan dari teater Kuncup SBI Depok
Bogor dengan pembina teater Muhammad Tegar Mubarock, S.Pd dengan kepala sekolah Dra. Adri Nurcahyani, M.Pd. Selamat menyaksikan!‖ sahut MC dengan gaun kebaya modern yang anggun di atas panggung.
―Hadirin mari kita berikan tepukan yang meriah! Selamat
menyaksikan!‖
Tepuk tangan menyusul membahana, teriakan ―KUN- CUP, KUNCUP‖ mengisi ruang tanpa celah. Penonton berso- rak-sorai.
―Ayo KUNCUP… ayo KUNCUP…. Kalian pasti bisa!
Bisa! Kalian pasti bisa!‖ teriak Jonatan dan Aisyah, pendukung yang ikut rombongan bus sekolah.
―KUNCUP-nya satu, pendukungnya banyak,‖ teriak su-
porter.
Sebagian siswa dikondisikan hadir oleh kepala sekolah sebagai bentuk dukungan dan motivasi untuk sekolah mereka. Beberapa diwajibkan untuk hadir oleh guru kelas masing- masing. Mengharuskan itu lebih baik daripada mengimbau yang tak didengar, padahal hal yang diimbau itu bermanfaat. Seba- gian guru masih berpikiran kerdil dengan hanya mengimbau dengan alasan bermacam-macam. Bermacam-macam alasan. Banyak alasan. Dari mulai kejauhan tempat penyelengaraannya, pementasannya terlalu malam, harga tiket kemahalan untuk siswa, kecemasan jumpa dengan sekolah lain nanti terjadi tawuran dan kericuhan, takut nanti ada kecelakaan setelah me- nyaksikan pementasan, atau pulang berduaan terus hamil. Ta- kut pulangnya tabrakan. Takut… takut… takut. Takut ini, ta- kut itu. Takut orangtua siswa mengatakan kami menitipkan anak kami untuk DIBINA, bukan DIBINASAKAN. Ketakutan tak beralasan, ketakutan yang teramat bodoh untuk sebutan pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan tanpa makam pahlawan.
Pokoknya alasan yang mengerdilkan hakikat pembelajaran, membunuh arti pengalaman, mengkhianati nilai-nilai luhur
empiris. Belajar yang baik itu belajar secara kontekstual, belajar dari pengalamannya sendiri. Bukankah pengalaman adalah guru yang keras? Pengalaman memberikan ujian lebih dahulu dan pelajaran kemudian. Guru-guru kelak menyesal karena siswanya hanya menerima wawasan dan pengetahuan ala kadarnya. Pembelajaran cuma di kelas, hanya ceramah yang membosankan dan menjenuhkan. Gak bisa ini, gak bisa itu, gak bisa itu, gak bisa ini. Kurang referensi. Kemu- dian kalah saing dengan siswa lain. Bukankah apa yang ditanam itu yang dituai? Bukankah hasil yang dituai itu akibat kita mena- nam? Mewajibkan itu harus bila keyakinan tentang siswa-siswa kita dirasa kurang. Siswa-siswa sekarang nyatanya sebagian be- sar hanya mengejar nilai. Benar? Bila tak diabsen atau diutara- kan akan dinilai, maka kemungkinan besar siswa-siswa sekarang tidak akan hadir. Segala cara dihalalkan, termasuk menyontek, karena yang dicari adalah nilai. Nilainya berapa? Bukan sudah bisa apa. Nilainya apa? Bukan karyanya apa. Budaya yang salah dan mengakar dan menjadi-jadi. Nilai oh nilai.
Di sanalah peranan guru mestinya dimainkan. Guru mesti menciptakan dan mengondisikan. Kekhawatiran itu perlu tapi, tidak mesti berlebihan. Jangan lebay. Gak usah over. Kekhawatiran bisa diminimalisasi dengan pengawasan dan pengondisian yang bijak serta matang. Berpikirlah positif, maka akan menghasilkan hal yang positif karena apa yang kita pikir- kan itu akan menjadi kenyataan. Kenyataan itu dari apa yang kita pikirkan. POSITIVE THINKING. Do you think the same? I hope.
Segelintir guru turut hadir membawa sejuta dukungan tulus dan ratusan dukungan palsu. Memberikan doa kemenangan bahkan doa kekalahan. Siapa yang tahu niat keda- laman hati manusia? Siapa yang tahu dalamnya samudra hati manusia? Namun, perilaku kadang terbaca tanpa suuzon. Lewat bahasa, sikap, dan perilaku, kita membaca mana ketulusan hati, mana iri hati, mana dengki, mana kebenaran sejati. Mana? Kebenaran dan ketulusan serta keikhlasan tidaklah mampu di- palsukan.
Orangtua dan sanak famili mengantarkan anak-anaknya dengan kebanggaan. Lengkap dengan spanduk dukungan dengan ornamen-ornamen yang menarik perhatian seluruh pe- nonton. Yel-yel berhamburan mengikuti irama. Untuk kali ini, mereka tak memikirkan dirinya sendiri. Mereka tinggalkan kantor dengan rutinitas yang membuat jauh hubungan nasab dengan anaknya, pending urusan bisnis, cancel jadwal meeting meski itu teramat penting. Urusan arisan ibu-ibu sosialita kom- pleks perumahan elite, urusan saham-saham bermiliaran. Urusan ketemu selingkuh jika ada. Urusan nikah lagi jika ingin, urusan main golf dengan caddy-caddy cantik dan seksi, dan urusan shopping di mal-mal ternama di Jakarta dan Singapura. Urusan peresmian dan pembukaan toko cabang baru. Urusan melancong ke luar negeri untuk sekadar buang-buang uang atau sekadar belanja tas karya anak bangsa yang dikirim ke luar ne- geri dan berlabel barang luar negeri. Bangganya? Di mana letak kebanggaannya?
Pokoknya hari ini orangtua hanya ingin menyaksikan anaknya tampil dalam perlombaan dan menjadi aktor dalam pementasan perlombaan yang super bergengsi tingkat nasional, se-Indonesia. Bayangkan! SE-INDONESIA. Dari Sabang sampai Merauke. Tak ada urusan selain urusan anak-anak. Mereka bangga pada anak-anak yang kreatif dan berani mengambil ri- siko menang atau kalah. Berharap menang. Penuh harap. Se- moga tahun ini menang. Memboyong piala dan kebanggaan. Jangan ada tangis lagi seperti tahun-tahun yang lalu. Tahun-ta- hun yang kelam. Tahun-tahun sebelum Tegar mengajar. Ta- hun-tahun tanpa piala dan kebanggaan. Tahun-tahun yang mengecewakan semua pihak.
Dukungan yang luar biasa dan tidak biasa menambah ke- percayaan diri siswa-siswa Tegar. Perlombaan kali ini mempererat hubungan anak dan orangtua yang jarang berko- munikasi karena kesibukan, hubungan sesama teman yang renggang oleh pertengkaran kecil yang biasa, dan hubungan guru dengan murid-murid. Tentunya perlombaan juga akan menambah wawasan serta pertemanan baru. Pengalaman baru. Cerita baru dimulai, babak baru diukir. Sejarah baru saja ditu- liskan dengan tinta emas harapan. Kertas putih terisi mimpi. I hope Allah will always be with me.
Semua bersiap di ruang persiapan, ruang ganti. Pukul
18.30. Tirai tertutup, lighting membidik panggung. Tegar me- nyempatkan salat magrib dengan beberapa siswa yang muslim sebelum pentas. Tegar memimpin doa, doa panjang di ujung pinta, di ujung kesungguhan. Siswa-siswa terlihat sangat per-
caya diri. Tegar menaruh tangan di tengah-tengah lingkaran kecil, Sifa mengikutinya, seluruh pemain refleks mengikuti kompak menyimpan tangannya di tangan-tangan yang berbeda warna. Saling membahu, saling percaya. Hitam, putih, kuning, cokelat, berbeda warna, tapi satu tujuan, satu harapan, satu cita-cita: ―JUARA‖. Di sini perbedaan mengharmonikan peranan. Saling melengkapi, saling memahami. Berbeda itu in- dah, meski setiap keindahan bukan berarti perbedaan.
―KUNCUP, KUNCUP, K-u-n-c-u-p…. J-U-A-R-A. Hiya
Hiya Hiya Hiya,‖ teriak Sifa membahana dalam ruang ganti.
Semuanya melepaskan beban dan rasa grogi. Berteriak kompak, ―KUNCUP… KUNCUP.‖ Grogi terbunuh mem- buyar bersama embusan udara malam. KUNCUP lepas dari beban bebas tanpa rasa gelisah. Rileks menguasai pikiran dan gerak. Segalanya terkontrol dalam nalar dan dalam logika. Be- ban berat meninggalkan raga bernyawa. BEBAS. Kepercayaan diri kembali tumbuh.
Pertunjukan segera dimulai. Tegar mengamati dari belakang panggung, memberikan penguatan dan instruksi. Make up dan kostum yang sempurna menambah kepercayaan Tegar sebagai pembimbing. Kemampuannya merias wajah membuat karakter siswa-siswanya keluar lebih kuat sesuai dengan peranan. Teknik merias dipelajarinya saat mata kuliah Apresiasi dan Kajian Drama bersama Drs. Aam Nurzaman, M.Pd. Dalam lomba rias wajah per kelompok di kelas, kelompok Tegar dan Daaris juaranya. Tiada tanding kemampuan keduanya. Pembe- lajaran drama yang menyenangkan dengan pembawaan dosen
yang menarik perhatian dengan celotehan yang mengundang derai tawa. Membekas menjadi inspirasi dalam berkarya dan mengajar sastra.
Jangan ragukan properti karya Tegar, ia ahlinya. Bahkan lebih jago dari Daaris, sahabat dan guru teater Tegar. Donatur dari beberapa guru dan orangtua siswa yang care menjadi dasar Tegar memilih properti senatural mungkin. Sebaik mungkin. Kostum terbaik, properti yang sempurna sesuai dengan yang diperlukan dalam pementasan.
Kreativitas adakalanya butuh dana besar, namun tidak selalu. Untung saja di sekolah ini dana bukan masalah, bukan halangan besar. Perpaduan yang klop antara Tegar, seorang imajinator dan kreator, dengan didukung donatur kuat dari pihak sekolah. Saling melengkapi. Saling mengisi kekosongan. Tegar mengoptimalkan dukungan yang luar biasa besar dari se- kolah dan orangtua siswa. Ia berjanji akan memberikan yang terbaik atas pemberian terbaik dan kepercayaan pihak sekolah yang amat baik. Yang terbaik untuk kepercayaan terbaik. Ter- baik harga mati. Juara terbaik untuk kebaikan.
Penonton terkesima. Dibawanya mereka dalam suasana pementasan mengharukan. Penuh penjiwaan dan ekspresi. Kematian Sifa yang tragis menguras emosi seluruh penonton yang hadir, berlinang air mata. Belum usai air mata penonton terjatuh. Asrini memainkan perannya dengan penuh penjiwaan, Keren. Berteriak sejadi-jadinya. Stres, mengacak-acak rambut. Tatapannya kosong dan hampa. Terlihat gila dia melihat sahabatnya pergi untuk selama-lamanya tanpa kata di
pangkuannya. Kembali para penonton melanjutkan kesedihannya bertubi-tubi tanpa henti. Kesedihan tanpa akhir dan ujung. Air mata berderai. Mengapa kematian singgah di waktu yang tak tepat? Saat yang tak tepat. Saat kerinduan masih balita dan belum mampu bicara.
Penonton terlihat merasakan yang dirasakan Asrini yang ditinggal ibunya akibat kemiskinan sebelum sempat mengutara- kan kata ―sayang‖. Tak terdengar keriuhan. Senyap dan seluruh mata memandang panggung tanpa ragu dan tanpa menoleh. Pembelajaran yang bijak, sulit untuk kita mengucap sayang pada orang terdekat di sekitar kita. Saat ―tiada‖ baru terasa bahwa sebenarnya kita menyayanginya. Katakan sebelum terlambat. Begitu kiranya pesan yang ingin disampaikan lewat pementasan berjudul Katakan Kata oleh Muhamad Tegar Mubarock.
Seorang pria dewasa memeluk ibunya. ―Mah, Andi sayang
Mamah.‖ Ia beranjak dari tempat duduknya, menghampiri ayahnya yang duduk di samping ibunya.
―Pah, Andi sayang Papah.‖
Sebuah pertunjukan perlombaan yang berhasil menghipnotis penonton dan dewan juri. Naskah karya Tegar terlihat sederhana, namun sarat akan makna. Penuh akan nilai- nilai moral. Naskah yang baik didukung dengan totalitas pemain memang menghasilkan sesuatu yang sangat luar biasa. Pementasan yang menghibur dan menghikmahi. Pertunjukan yang menghipnotis.
Penampilan berakhir, seluruh penonton berdiri dan bertepuk tangan. Dari sudut berbeda teriakan ―KUNCUP,
KUNCUP‖ membentur suasana dan ruangan. Salam penghormatan terakhir, seluruh pemain bergandengan tangan di atas panggung dan menghormat ke arah penonton dan dewan juri. Kembali tepuk tangan menyambut. Tegar menghela napas. Leganya. Satu tahapan telah dilalui Tegar, tapi misi besarnya belum berakhir.
|
PERTEMUAN KEMBALI
Pukul 08.30 WIB
Kegelisahan mendera seluruh peserta lomba teater se- Indonesia. 35 peserta dari seluruh Indonesia telah tampil seoptimal mungkin. Seluruh peserta membawa kebanggaan masing-masing. Menampilkan yang terbaik dari yang mereka punya. Mempertaruhkan nama sekolah, membawa nama daerah. Membawa nama teaternya. Membawa namanya sen- diri. Membawa kebanggaannya masing-masing. Ketiga dewan juri terlihat sibuk menghitung nilai ditemani panitia perlom- baan di ruangan kecil yang terjaga dari manipulasi dan kepen- tingan. Yang menang hanya yang berhak. Kredibilitas juri diuji dan dipertaruhkan. Beberapa media cetak dan televisi meliput acara secara langsung. Media menjadi kontrol untuk menghin- dari kecurangan. Media layaknya polisi tanpa seragam. Di sini media memerankan peranannya.
Ajang lomba teater kali ini mirip dengan ajang pencarian bakat menyanyi beberapa tahun lalu yang sempat merajai rating karena ditonton oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Be- danya, jika acara pencarian bakat ditentukan oleh SMS, lomba teater kali ini ditentukan oleh ketiga dewan juri yang kompe-
ten.
Di sela-sela menunggu pengumuman pemenang, saat-saat yang ditunggu menjemput takdir, akankah ada pertemuan dua sahabat yang terpisah oleh ruang dan waktu? Tapi, selagi masih di bumi dan menghirup oksigen yang sama, kemungkinan berjumpa itu ada. Selalu ada.
―Hadirin, mari kita sambut bintang tamu malam ini, siapa
lagi kalo bukan grup musik Senandung. Selamat menikmati! SELAMAT MENYAKSIKAN.‖
Penonton menjerit histeris. Tirai dibuka. Teriakan semakin meninggi. Lampu sorot mempermegah suasana. Memperindah bola mata.
Senandung menghipnotis peserta lomba dan penonton yang kebanyakan siswa SMA dan orangtua siswa. Dari kejauhan Tegar mengamati Daaris. Matanya tak berkedip. Terlalu ba- nyak orang. Tegar sendiri tak yakin mata cokelat Daaris meli- hatnya di antara kerumunan ribuan orang-orang. Perasaan bangga menyelimuti hati Tegar, sahabatnya sudah membukti- kan janjinya. Menjawab bintang harapannya.
―Butuh totalitas, Gar. Biarkan kesarjanaanku menjadi ce-
rita dalam perjalanan hidupku. Hidup adalah pilihan hati.‖
Daaris memilih jalan hidupnya.
―Jadi, kau gak akan jadi guru?‖
―Begini saja, jika aku gagal jadi seniman panggung, aku jadi guru. Kau sendiri gimana, Gar?‖
―Aku mau ngelamar ke sekolah internasional saja.‖
―Kau kan punya bakat dan peluang besar di teater, Gar. Sayang tahu.‖
―Butuh totalitas, Ris. Jadi guru juga. Hehehehe.‖
―Dasar, jiplak, gak kreatif.‖
―Kan jadi guru gak mesti ninggalin dunia teater. Bener,
gak? Yang penting salat jangan ditinggalin.‖
―Oke. Tiga tahun lagi kita ketemuan di Puncak Gantole, tepatnya 7 Desember pukul 10.00 pagi. Setuju?‖
―SETUJU,‖ keduanya mengiyakan.
Puncak Gantole di Bogor adalah tempat terindah untuk melepas lelah dan penat, tempat tercantik membuang gundah. Tempat tertawa lepas dan membunuh kesedihan. Tuhan melu- kisnya dengan sangat sempurna, dengan keindahan tanpa batas. Lembah hijau nan indah, angin sepoi-sepoi berembus kencang membawa pilu dan keresahan. Memandang ke bawah, hamparan lampu rumah menerangi lembah. Memandang ke atas, bintang dan bulan memanjakan mata. Tempat yang mu- rah, namun teramat indah tidak ternilai. Mahakarya Tuhan. Tu- ris asing mengagumi dan hadir di setiap bulan. Eropa atau bah- kan Timur Tengah sering terlihat bertamasya. Gantole selalu ada cerita untuk dipahat dalam file kami berdua. 7 Desember pukul 10.00 WIB, kisah klasik untuk masa depan. Jangan lupa!
Tegar mengenang Daaris yang memukau di atas panggung. Da- sar seniman panggung, gila.
―Spektakuler, penampilan musikalisasi puisi Senandung
sangat menghibur. Senandung lagu untuk ibu mengakhiri pe- nampilan mereka. Sebuah lagu untuk ibu, berbaktilah…. Ber- baktilah. Senandung lagu untuk ibu, selamat menikmati.‖
#intro
Serunai menyunggingkan senyum nan damai
Indahnya pelangi takkan seindah se- nyum tawanya
Lembutnya kain sutra takkan selembut kasih sayangnya
Ibu….
Reff
Kau adalah pelita dalam gelapku
Kau adalah cahaya dalam hidupku
Kau adalah petunjuk dalam langkahku
Kau adalah segalanya bagiku, Ibu…35
Menyentuh hati, menggetarkan jiwa. Air mata berurai dan tepuk tangan mengakhiri. Beberapa peserta menyeka tangis.
35 catatan ciptaan Salamah & Wildan F Mubarock dimusikalisasikan oleh Group MPD.
SEMOGA MENANG!
Penampilan musikalisasi Senandung tak sanggup menghi- langkan rasa deg-degan serta penasaran yang mendera seluruh peserta dan pendukung dari masing-masing sekolah yang hadir termasuk Tegar dan siswa-siswanya. Cemas-cemas harap. Harap-harap cemas. Menunggu pengumuman. Menanti jawaban doa dan usaha. Tuhan mengabulkan atau menunda. Tiga puluh menit yang dijanjikan MC terasa sangat lama. Amat lama terasa. Menunggu dalam tanya? Tanya dalam menunggu. Seluruhnya tak ada yang beranjak dari tempat duduknya. Me- nunggu dengan harap penuh rasa tanya.
Tegar tak henti-hentinya berdoa dalam hati. Menyaksikan penampilan siswa-siswanya, ada keyakinan untuk bisa meme- nangkan perlombaan bergengsi tahun ini. YAKIN. Setidaknya dari 35 peserta hanya beberapa yang memenuhi kelayakan un- tuk menang dan menjadi juara. Tapi, itu hanya pendapat pri- badi. Tegar khawatir subjektif. Meski berusaha bersikap objek-
tif karena Tegar pernah beberapa kali menjadi juri teater na- mun, Tegar tahu ada kalanya selera dewan juri berbeda meski format penilaian sama. Optimis. Intuisinya bermain. Tegar ter- senyum simpul. Beberapa guru melambaikan tangan dari tem- pat duduk yang jauh menyapa dengan hangat. Mrs. Adri mengacungkan kedua jempolnya sambil senyum. Beberapa orangtua siswa di samping Mrs. Adri melirik Tegar penuh rasa kagum. Muda tapi sudah banyak karya. Produktif menulis buku sastra dan karya tulis ilmiah, terlibat pementasan-pementasan sastra. Keyakinan tumbuh. Hanya saja cara penyampaian Tegar kurang sistematis. Mesti tak pernah berjumpa, mereka mengenal Tegar lewat buku-buku kumpulan puisi dan cerpen karya Tegar yang dapat dibeli bila ada bazar saat graduation kelas XII. Tegar tak ingin membuat ketulusan dan dukungan sekolah serta orangtua kecewa. Tak boleh ada kesedihan tahun ini. Ta- hun ini mesti tersenyum lebar.
Sebelum Tegar berangkat, Mak Yati dan adik-adiknya juga
turut mendoakan dengan tulus.
―Bismillah pokoknya, insya Allah juara,‖ doa Mak Yati sebelum Tegar berpamitan.
―Amin,‖ adik-adiknya menyambut doa Mak Yati.
Motor barunya membelah udara dingin di langit subuh. Tegar mengendarai motor sedikit lebih cepat dari biasanya. Hamparan bintang di langit menemani. Bulan sepertiga mene- ranginya. Tegar merah merona mengingat Ms. Disya, guru mata pelajaran ekonomi yang anggun dengan jilbabnya.
―Pak Tegar, semangat yah,‖ pintanya dengan tatapan berbeda.
―Makasih, Bu,‖ jawab Tegar sedikit malu.
―Jaga kondisi, jangan kecapekan juga, ya.‖
―Sip, Bu. Makasih. Bu Disya nanti datang kan?‖
―Pasti.‖ Senyumnya menggetarkan hati Tegar.
Kehadiran Ms. Disya adalah keindahan tersendiri buat Tegar. Wajah lembutnya perlahan meninggalkan bayang dan benak Tegar yang berlayar menuju samudra. Tegar tak ingin menebak-nebak, tak boleh menerka-nerka hati. Tak ingin ke- geeran. Tak ingin salah mengartikan. Tegar mesti berhati-hati dengan kecantikan wanita. Kecantikan kadang menipu. Cantik itu keindahan namun, tidak semua keindahan itu cantik.
Tegar mempercepat laju motornya.
―I will be happy today,‖ teriaknya pada embun, pada bintang kejora bernama Venus, planet Venus. Pada bumi dan langit, pada angkasa yang belum terjamah tangan-tangan manusia. Angkasa bukti kebesaran Tuhan sedikit yang baru terjamah manusia. Sedikit saja.
Buat Tegar, kakak adalah cermin. Semoga kesuksesannya menjadi inspirasi dan motivasi untuk adik-adiknya tersayang. Oleh karena itu, Tegar selalu tak ingin kalah dalam perlombaan. Tegar selalu berusaha tampil seoptimal mungkin, semaksimal mungkin. Sampai batas akhir. Itulah hakikat perjuangan itulah perjuangan. Kemenangan itu milik orang- orang yang berdoa dan berjuang. Kemenangan punya orang- orang yang berjuang dan berdoa tanpa henti. Begitulah lirik
lagu milik pentolan Dewa 19 yang mengilhaminya. Lagu yang selalu diputar Tegar di ponsel sederhana bermerek Nokia warna hitam. Hal ini sejalan dengan moto hidupnya beberapa tahun silam, ―Born to Win‖, ―dilahirkan untuk menjadi pemenang‖. Sebagai anak pertama, Tegar punya sifat ―keukeuh‖ jika menginginkan sesuatu. Sifat positif itu juga yang merasukinya dalam berkarya, dalam mengikuti setiap perlombaan. Pokoknya menang. Sifat yang dua bulan ke belakang Tegar tularkan pada siswa-siswanya.
Beberapa piala terpajang di sudut panggung di atas meja bertaplak batik berwarna ungu. Ditata rapi sesuai ukuran. Siapa tak menginginkannya? Warnanya kuning keemasan.. Dari yang terkecil hingga yang terbesar sangat menarik untuk dimiliki. Ada kebanggaan yang tak ternilai memilikinya. Di samping piala, map-map merah menumpuk berteman bingkisan dalam tas mini bertuliskan kepanitiaan. Isinya kemungkinan besar pe- san sponsor. Cendera mata dari sponsor perlombaan.
Di jajaran terdepan duduk para petinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tampak M. Nuh dikerumuni pa- nitia penyelenggara serta wartawan lokal dan nasional. Upacara penutupan lomba segera dimulai.
―Hadirin dimohon tenang,‖ pinta MC dengan sopan.
Penutupan berakhir dengan lantunan doa yang dipimpin salah seorang panitia berpeci hitam. MC kembali memerankan perannya. Membuat peserta dan penonton penasaran me- nunggu hasil rekapitulasi. Di sini tidak ada hitung cepat dengan hasil berbeda yang memperkeruh suasana. Memperkeruh kea-
daan. Memperpanas perlombaan, memecah-belah peserta. Di sini pula tidak ada pernyataan kemenangan dari peserta sebelum diumumkan panitia yang berwenang. Seluruhnya menunggu hasil dengan bijaksana dari panitia penyelenggara.
―Nominasi teater terbaik Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan tahun ini adalah….‖ Ketegangan semakin menjadi.
Detak jantung lebih cepat dari biasanya.
Dug dag dig dug. Dug dag dig dug dug dag dig dug dar. Meledak.
―Nominasinya adalah….‖
―Teater Adding SMA Negeri 1 Boyolali dari Jawa Timur, Teater Cahaya Global School dari Jakarta, dan Teater KUN- CUP SBI dari Depok-Bogor. Dan… juara teater tingkat nasio- nal tahun ini adalah….‖ Senyap sunyi mendebarkan.
Jantung berdetak kencang pada jiwa-jiwa yang berharap. Jiwa-jiwa penuh pinta.
―Adalah… setelah pesan-pesan berikut ini,‖ sahut MC
menggoda penonton yang hadir.
―Huh huh…,‖ teriak penonton penuh rasa kecewa. Seluruh hadirin tertawa merasa dipermainkan MC.
Adrenalin semakin meningkat. Semakin bergejolak. Mendidih.
Tegar dan Arts memanjatkan doa tak henti-henti di dalam hati di ujung lidah. Ada rasa tak percaya masuk nominasi tiga besar. Pencapaian luar biasa. Rasa bangga dan lega. Kebanggaan yang kemudian dirasakan oleh sekolah dan orangtua yang me- rindukan kemenangan. Mrs. Adri terlihat sibuk memberi pesan pada direktur sekolah, beberapa siswa mengabadikan momen
penting ini dengan kamera dan ponsel layaknya jurnalis profe- sional. Wartawan memotret setiap momen dengan kamera. Beberapa orangtua siswa menaruh kedua tangannya di depan dada sambil berdoa. Tegar dan Arts berada di atas panggung bersama dua nominasi lainnya. Masing-masing sekolah saling bergandengan tangan di atas panggung. Suasana masih riuh dengan yel-yel pendukung. Sekolah yang tak masuk nominasi terlihat kecewa namun, tak beranjak dari tempat duduk. Ada rasa penasaran.
Tegar dan siswanya berharap juara 1 seperti celotehnya pada Mrs. Adri.
“Saya tak berpikiran menjadi juara kedua, Bu.” Kata-kata yang
terkenang saat mengajukan diri untuk mengikuti lomba dengan penuh keyakinan. Optimisme membakar.
―Hadirin yang berbahagia, sebelum mengumumkan juara
pertama, saya akan membacakan juara ketiga terlebih dahulu. Baiklah, juara ketiga lomba teater tingkat nasional tahun ini adalah… Teater… Teater Cahaya SMA Gobal School dari Ja- karta.‖ Tepuk tangan membahana.
Siswa-siswa Teater Cahaya berpelukan tapi, tetap penuh tanya siapa juaranya. Ada rasa kecewa tapi, kepasrahan lebih memancar dari wajah. Wajah-wajah menerima kenyataan.
KUNCUP semakin tegang. Kini hanya tinggal selangkah menjadi juara. Detak jantung berdetak kencang. Penonton ber- sorak.
―Teater Adding… Adding… Adding.‖ Disahut oleh pen- dukung Teater KUNCUP, ―KUNCUP… KUNCUP…,‖ dari arah penonton yang berbeda.
―Hadirin, mari kita simak juara teater tingkat nasional ta-
hun ini. Pendukung KUNCUP mana?‖ Tepuk tangan riuh ber- sahutan. ―Pendukung Adding mana?‖ Tepuk tangan membahana bersahutan. Latar musik menjadikan suasana lebih hidup dan menegangkan.
―Dan juara pertama teater tingkat nasinal tahun ini ada-
lah…‖
Sifa memegang tangang Rini erat penuh harapan, KUNCUP saling adu pandang penuh harap. Tegar menunduk. Doa berbenturan di angkasa. Doa dengan kesungguhan hati beradu di udara. Tuhan sudah punya juara terbaiknya tapi, cerita bisa berubah dengan doa dan usaha.
―Juara pertama teater tingkat nasional tahun ini adalah
Teater ADDING, SMA Negeri 1 Boyolali, dari Jawa Timur. SELAMAT ….‖
|
KALAH? TETAP SEMANGAT!
Hampa. Ada rasa tak percaya. Berharap ini hanya imajinasi. Detak jantung Tegar berhenti sejenak. Pikirannya melayang meninggalkan raganya. Aliran darah tersumbat. Kosong. Wa- jah-wajah kecewa dari siswa-siswa Tegar, KUNCUP melesu. Air mata membasahi pipi siswa-siswa Tegar yang penuh harapan juara pertama. KUNCUP tak percaya pengorbanannya tak sesempurna mimpi dan cita-cita mereka. Tegar menghela napas panjangnya, berusaha berbesar hati. Ia kemudian membe- sarkan hati siswa-siswanya yang penuh kecewa yang didera lelah tanpa balas. Menepuk pundak mereka satu per satu dengan ta- tapan penuh bangga.
―KALIAN LUAR BIASA. Mister bangga. KALIAN LUAR
BIASA. Tahun depan kita juara SATU.‖ Tegar menghapus air mata siswa-siswanya, sekejap mendung berganti pelangi.
Hujan tak lagi turun. Indah. Tegar mengajak mereka memberikan selamat pada sang juara, Teater Adding. Saling
memuji, bertukar senyum, bertukar pujian dan nomor ponsel. Tegar dan siswa-siswanya menerima keputusan dengan lapang dada dan perasaan bangga. Tidak ada kekecewaan yang mem- bawa luka. Tak ada gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi) tempat semadi para yang mulia hakim ketua. Hakim-hakim yang dekat dengan surga atau neraka. Sedekat ruas telunjuk dan jari tengah.
―Kita juara dua!‖ teriak Sifa tersenyum lebar penuh
bangga. Rasa berterima melapangkan bahagia. KUNCUP berbahagia. KUNCUP menari, berdendang, berdansa, bersujud pada keberhasilan yang tak disangka-sangka, kesuksesan tanpa ramalan dan guna-guna. Kemenangan tak terduga tanpa isyarat. Kesuksesan buah kerja sama, kesuksesan buah kerja keras dan komitmen untuk juara. Kesuksesan berkat doa dan usaha bukan keberuntungan semata.
Seluruh penonton berdiri tanpa instruksi, satu per satu memberikan tepuk tangan terbaiknya untuk ketiga juara di atas panggung yang megah. Pertunjukan sangat menguras emosi dan perasaan. Pertunjukan yang menghibur dan memberi hikmah. Perlombaan yang mendebarkan jantung. Pementasan yang spektakuler, pertunjukan siswa-siswa yang wow. Pertunjukan yang akan membekas di memori jangka panjang seluruh penonton yang hadir. Semoga juga menyentuh ruang-ruang kalbu!
―Baiklah semua, sampai jumpa di lomba teater tingkat
nasional tahun depan. Selamat malam semua,‖ sahut MC
menutup acara.
Kembang api memperindah malam, menambah pesona awan. Mempercantik bintang di langit yang hitam pekat oleh gumpalan awan. Perlahan tepuk tangan menghilang ditelan sunyi. Dibunuh sepi. Lampu-lampu dimatikan, tirai menutup. Redup dan semakin meredup, dan –usailah sudah segala keriuhan. Hening…
―Kita baru dikatakan sukses ketika mampu menularkan
kesuksesan pada orang lain, itu yang belum bisa aku lakukan, Gar,‖ Daaris menggores senyum bangga pada Tegar sahabatnya.
―Tujuh Desember, Puncak Gantole. Jangan lupa, Gar, pu-
kul 10.00 WIB! Malam biru tidaklah merindukan pagi, takkan memeluk malam untuk selamanya.‖
|
-AKHIR – SEBUAH EPILOG
Malam, 04.35 WIB
Aku menutup kisah Sarjana di Tepian Baskom jilid pertama edisi ―Guru‖. Teramat lelah, tapi mengasyikkan. Mohon pamit istirahat dulu yah, izin tidur! Sampai jumpa pembaca semua, istriku di ambang rindu.
Senandung Bunga Insyira Mubarock tambah mengge- maskan. Usianya baru lima bulan, rambutnya hitam pekat, bulu matanya lentik, hidungnya pesek, mata bulatnya merapat, kulitnya putih bening, pulas tertidur di samping istriku yang cantik.
Daaris Goswatulilmi Mubarock, putra pertamaku, baru mau beranjak tiga tahun, hidungnya mirip buah jambu air, mancung seperti hidungku. Kulitnya tak seputih adiknya, tapi lebih putih dari aku. Tanda kecil berwarna cokelat pudar di pelipis sebelah kiri jadi tanyaku pada Tuhan Sang Pemilik Jiwa. Yang jelas tanda itu bukan tanda kenabian, bukan pula tanda
kerasulan, bukan juga tanda akhir zaman. Hanya sebatas tanda dari lahir saja. Hanya saja, aku masih bertanya-tanya, kenapa Daaris bertanda?Daaris setia dengan bantal guling bergambar film kartun Naruto kegemaranku. Seperti biasa, ia tidur memi- sah dari kami bertiga. Enggan dia berbagi kasur pribadinya yang sederhana. Kuambil remote TV dan mematikan acara musik di tengah malam, kubiarkan buku-buku bacaan pinjaman dari te- man terbaikku Abdul Rosid berserakan di karpet merah ber- motif bola, tempatku menulis cerita, tempatku menikmati se- cangkir kopi, tempat membaca Tafsir Quran Karim karangan Prof. Dr. H. Mahmud Yunus. Tempat aku memetik gitar usangku dan menciptakan nada dan kata, tempat menggelitik Daaris Goswatulilmi Mubarock dan membuatnya tertawa pe- nuh hangat dan kecupan sayangnya mendarat di pipiku. Kemu- dian kami saling memeluk dan berguling-guling di lantai. Tem- pat aku menimang-nimang S. Bunga Insyira Mubarock sebelum akhirnya tangis membelah malam biru. Tempat favorit kami sekeluarga berkumpul bersama melepas lelah. Membunuh pe- nat dan memerkosa dinginnya malam.
Aku beranjak, menutup pintu kamar bergambar kartun kucing tapi bukan Hello Kitty, meski sebenarnya Hello Kitty bukanlah kucing. Aku menguncinya dengan teliti, teramat teliti untuk rumah tanpa perhiasan dan berlian. Rumah sederhana kami. Rumah kebanggaan kami. Rumah yang akan menjadi ayah dan ibu untuk melahirkan rumah-rumah kami selanjutnya.
Aku mengendap-endap masuk kamar, berharap kedua malaikat kecilku tak terjaga dari tidur dan mimpi mereka.
Memandang istri dan kedua anakku adalah anugerah yang tak bisa diutarakan lewat bahasa, lewat nada, apalagi kata. Aku takkan bisa tertidur bila tak memeluk istriku dan menggenggam tangannya yang lembut penuh cinta. Hangat penuh mesra dan akhirnya selimut biru bermotif Shaun the Sheep hadiah pernikahan kami menutup kisah, mengak hiri cerita.
Malam biru melaju menggapai pagi, menyambut mentari nan cantik. Selamat membaca novel Sarjana di Tepian Baskom jilid pertama edisi ―Guru‖. Bacalah! Bacalah!
Sampai jumpa kembali dalam rasa ingin tanya di Sarjana di
Tepian Baskom jilid dua edisi ―Sang Pembelajar‖. Segera!
|
Sepenggal Ulasan Pembaca
Oleh
Drs. Aam Nurjaman, M.Pd. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fkip, Universitas Pakuan
Sebagai karya perdana Wildan F Mubarock sudah sangat membanggakan. Kelahiran Sarjana di Tepian Baskom menjadi prestasi tersendiri bagi Pak Wildan yang mampu melahirkan karya novel dalam kesibukannya sebagai akademisi. Mencermati isi novel Sarjana di Tepian baskom saya ter- gelitik untuk membicarakan adanya fakta dan fiksi.
Rasanya tidak mudah membedakan apakah dalam novel ini kita ( pembaca ) berhadapan dengan kisah nyata atau imajinasi penulis semata. Novel ini sukses mengangkat beberapa gagasan- gagasan yang dikemas dengan pergulatan batin
dan keresahan tokoh. Semoga novel ini menjadi awal kebangkitan seorang penu- lis yang berkecimpung sebagai akademisi. Bravo.
Cerita belum usai. Temukan kisah inspirasi dan kisah mena- rik di Sarjana di Tepian Baskom jilid kedua edisi
―Sang Pembelajar‖,
SEGERA!
PROFIL PENULIS
Wildan F. Mubarock secara harfiah berarti anak kecil peng- huni surga. Lulusan Pascasarjana Universitas Prof. Dr. Hamka Prodi Bahasa Indonesia ini mengabdikan dirinya di Fakultas Ke- guruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan sebagai dosen.
Beberapa buku yang pernah diterbitkan antara lain: kata- berkata (kumpulan puisi haiku dan puisi pamflet) dan CROOT,
―Cerita Orang-Orang Top‖ (Coretan Kata yang Terbuang dan
Gerimis Aku Menangis). Kedua buku diterbitkan oleh Kopisastra dan Wr Media Publising pada tahun 2013 dan 2014. Novel Sarjana di Tepian Baskom merupakan novel garapan per- tamanya. Novel yang akan menjadi ayah dan ibu untuk mela- hirkan novel-novel selanjutnya. JANJI!
Menulis dan mengajar merupakan takdir yang mesti dija- lani dengan kesungguhan hati serta ketulusan diri. Selamat membaca. Bacalah! Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Iqra.
Salam Dulce et Utile
“Menghibur dan menghikmahi”
Penulis bisa dihubungi di alamat e-mail: wildanfauzi@yahoo.com, sarjanaditepianbaskom@yahoo.co.id
Ponsel: 085718660507 & 085715705039
PIN BB: 550352D8
Blog: www.WildanFMubarock.com
Kirimkan tanggapan dan saran ke e-mail
Bagi yang beruntung, akan mendapatkan mer- chandise atau T-shirt “Sarjana di Tepian Baskom”.
.
Produser Eksekutif : Dra. Sri Rahayu Dwiastuti Direktur WFME : Daaris Goswatulilmi Mubarock President WFME : Wildan F. Mubarock
Para Menteri :
1) Doel Rosyid
2) Divia ―Velialis‖
3) Angga Yudha
4) Senyawa kimia
5) Wildi fadilah
6) Fahrul Wazdi
7) Apong
8) Pelangi
Indie Book Corner adalah sebuah proyek yang didirikan sebagai upaya membantu penulis-penulis pemula ataupun penulis yang sudah mapan untuk memublikasikan karyanya dalam bentuk buku. IBC memiliki cita-cita agar produksi buku semakin mudah demi memperkaya khazanah perbukuan Indonesia, meningkatkan minat menulis dan membaca.
www.bukuindie.com facebook.com/inibukuku twitter: @indiebookcorner