Solusi Dari Wanita Ulama Menjawab Pandemi Dan Memandang Masa Depan

Solusi Dari Wanita Ulama Menjawab Pandemi Dan Memandang Masa Depan

Smallest Font
Largest Font


BANYUMAS | JABARONLINE.COM – Dalam rangka memperingati hari perempuan dunia 2021, jurnalis jabaronline.com membuka interaktif bersama Hj. Umnia Labibah, S.Th.i M.Si., (Div. Perempuan, Remaja dan Keluarga MUI Banyumas) untuk bahan publikasi. Dengan tema wanita tetap produktif dan inspiratif menghadapi tantangan zaman.

Hari Perempuan Internasional (World Women’s day) atau hari perempuan sedunia pada 8 Maret 2021. Terlihat dedikasi dan perjuangan wanita di Indonesia atau seluruh dunia terus memperjuangkan haknya dan melahirkan karyanya. Dalam Google Doodle 8 Maret 2021 saat ini mengambil tema World Women’s Day dengan menampilkan gambar beberapa profesi yang digeluti kaum hawa yaitu akademis di berbagai bidang, wirausaha atau bahkan aktifis. Di Hari Perempuan Internasional, banyak wanita inspiratif yang dapat menjadi panutan membangun pada hal-hal positif. Apalagi wanita yang berperan sebagai ulama sangat jarang. Mereka mampu berjuang seperti laki-laki menyebarkan agamanya.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Baca Juga : PPKM Stasioner Polsek Citeureup di Check Point Utama

Seperti yang dijalani Mba Umnia Labibah aktif di MUI dan Nahdlatul Ulma termasuk keluarga besar pengurus pesantren di Banyumas Cilacap. Mari simak wawancara khusus bersamanya:

Advertisement
Konten berbayar di bawah ini adalah iklan platform MGID. JABARONLINE.COM tidak terkait dengan pembuatan konten ini.
Scroll To Continue with Content

Menurut ibu Umnia, peran wanita dalam satu organisasi atau pembangunan peradaban seperti apa saat ini kemajuannya?…
Peran perempuan dalam organisasi maupun dalam berbagai bidang kehidupan adalah keniscayaan. Perempuan berperan dalam kehidupan sosial, politik maupun ekonomi bermakna bahwa perempuan itu sendiri mensyukuri anugerahnya sebagai manusia. Sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab kemanusiaan yang sama di hadapan tuhan. Tanggung jawab itu berupa, pertama tanggungjawab kehambaan (‘abid) pada tuhan yang harus tunduk pada ketentuan tuhan. Kedua, sebagai khalifah fil ard (wakil Allah di bumi). Tugas dan tanggung jawab ini dipikulkan kepada keduanya, laki-laki dan perempuan. Berperan serta membangun peradaban dengan demikian adalah tugas dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan.

Saat ini kemajuan peran perempuan di Indonesia cukup progresif. Indonesia telah menorehkan sejarah dipimpin oleh presiden perempuan. Sementara sekelas negara Amerika Serikat, sejak kemerdekaanya baru di tahun 2021 memiliki wakil presiden perempuan. Saat pandemic melanda, di negara-negara timur tengah masih ada istri yang disiksa suaminya, karena menyebutkan namanya dihadapan dokter saat berobat, di negara kita telah banyak dokter perempuan berprestasi.

Di saat Arab Saudi belum lama baru mengijinkan perempuan mengemudikan kendaraan, Indonesia telah memiliki banyak pilot perempuan. Meski demikian, kita tidak bisa menutup mata, dalam banyak persoalan, perempuan juga masih banyak yang menjadi korban. Pernikahan dini misalnya, kebanyakan korbanya adalah perempuan. Trafficking, juga korbanya perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, stigmatisasi juga masih banyak di alami perempuan.

Kalau dilihat banyaknya agenda kegiatan ibu sangat erat tentang dunia pendidikan. Menurut ibu Hj Umnia sejauh mana pentingnya bakat mendidik tersebut dalam membangun keluarga atau pengembangan potensi diri anak bangsa?…

Ya, benar. Saya dilahirkan dari ibu yang menekuni pendidikan sekaligus seorang oganisatoris. Sejak kecil yang saya lihat adalah ketelatenan ibu dari mengajar ngaji santri-santri di kala pagi, mengisi mimbar-mimbar pengajian di kala siang dan malam kembali mengajar ngaji anak kampung dan santri-santri. Bersamanya saya tumbuh, mereka yang dulu ngaji pada ibu saya sekarang ada yang menjadi ketua organisasi perempuan di berbagai daerah, menjadi guru, mendirikan pesantren, bahkan tidak sedikit yang menjadi bisnismen sukses. Dari situ saya belajar, betapa perempuan terdidik adalah pondasi bagi terbangunnya generasi emas berikutnya, perempuan terdidik adalah tonggak terbangunya keluarga yang berkualitas dan sakinah, dan semua itu menjadi “soko guru” berdirinya masyarakat yang maju dan berperadaban.

Inil pula mengapa nabi Muhammad SAW mengingatkan peran penting perempuan. Perempuan sebagai “madrasatul ula”, sebagai “sekolah pertama”. Jika ingin pondasi madrasah ini kuat, maka, perempuan selayaknya mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki. Mendapatkan hak yang sama pula dalam pengembangan potensi diri dan potensi kemanusiaanya, sehingga terbentuk sebagai manusia yang sempurna atau “insan kamil”.

Hal apa yang paling berkesan dan dinilai positif saat berada berperan diorganisasi dan ditengah masyarakat bagi kaum wanita?…

Bersosialisasi dengan banyak pihak itu membahagiakan. Kita bisa berbagi, berbagi energy, berbagi kebahagiaan maupun kesedihan,serta bisa belajar satu sama lain. Terkadang, sebagai manusia saya dililit masalah pribadi, tetapi saat berada di tengah-tengah masyarakat, bersosialisasi dengan sahabat-sahabat di organisasi, atau saat mengajar, secara tidak di-nyana (tidak terduga), saya menemukan solusinya secara Cuma-Cuma dari mereka yang dihadirkan Allah dalam lingkungan saya.

Apalagi dengan adanya media sosial, banyak diantaranya yang meminta waktu konsultasi tentang hukum-hukum islam baik tentang keluarga maupun tentang muamalah melalui whatsapp ataupun messenger. Disitu saya merasakan syukur yang berlipat, selain membuat saya terus belajar tentang hukum islam, saya jugalah yang sebenarnya belajar tentang “kehidupan” dari berbagai persoalan mereka.

Bagaimana cara kaum wanita agar lebih lebih produktif dan inspiratif saat adaptasi dengan perubahan masa depan?…

Sudah tidak ada kompromi lagi, menurut saya. Perempuan harus bisa mandiri. Perempuan tidak bisa hanya menggantungkan hidup secara estafet, dari tergantung pada ayah kemudian kepada suami. Perempuan juga manusia yang memiliki otoritas atas dirinya. Tentu dengan tetap berpegang pada nilai-nilai yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an. Islam mempunyai figur ideal Khadijah, seorang milyuner, women enterpreuner yang sukses dengan skala bisnis yang luar biasa, tetapi bisa membangun keluarga yang sakinah dan mawaddah. Ada figur Aisyah, istri nabi yang juga seorang ulama yang cerdas, banyak meriwayatkan hadist dan bahkan pernah masuk pada dunia politik. Selain istri-istri nabi, sejarah juga merekam keberadaan Qilat Ummi Bani Ammar dan Raithah, istri sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud juga aktif berbisnis dan ada pula Asyifa, seorang perempuan yang ditugasi mengurus pasar, dan ada pula Asma binti Abu bakar yang menekuni pertanian hasil bumi.

Sudah tidak ada alasan perempuan hanya nunut. Karena surga maupun neraka bagi perempuan bukan nunut atau katut suami. Tetapi adalah pertanggungjawaban dirinya sebagai manusia. Bagaimana caranya? Perempuan harus terdidik, harus bersosialisasi. Pendidikan adalah pra syarat bagi perempuan untuk mencapai kemajuan, mandiri dan produktif.

Bagaimana cara pandang ibu sebagai wanita ulama/berilmu agama agar tidak menambah atau muncul masalah baru karena ada pendemi, karena banyak perceraian dan keputus asaan dalam menghadapi masalah ini ?…

Islam mempunyai konsep “mu’asyarah bil ma’ruf”, yaitu berelasi, membangun kebersamaan dengan cara-cara “ma’ruf”, yaitu sesuatu yang secara akal maupun agama dipandang baik. Pernikahan disebutkan dalam al-Qur’an sebagai “mitsaq” atau perjanjian yang “ghalidan”, kokoh atau kuat. Untuk menuju kekuatan pernikahan diperlukan pondasi yang baik, yang seimbang, dan berkeadilan. Maka diperlukan konstruksi relasi yang baik dan seimbang antara keduanya, baik dalam pemenuhan hak dan kewajiban keduanya. Mu’asyaraoh bil ma’ruf akan terwujud jika kedua belah pihak memiliki kesepahaman tentang konsep pernikahan sebagai berpasangan, tazawwaj. Al-Qur’an menyebut suami dan istri dengan “zawj” yang artinya pasangan.

Berpasangan adalah berdiri sejajar saling melengkapi, bukan saling mendominasi. Al-Qur’an menyebutkan dalam Q.S al-baqarah/2:187 : ”hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna” bahwa suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian suami. Ayat ini secara tersirat menuturkan bahwa gambaran pakaian mengingatkan fungsi suami istri sebagai pasangan untuk saling menghangatkan, memelihara, menutupi, menghiasi, menyempurnakan dan memuliakan satu sama lain. Dengan kesadaran bersama sebagai pasangan, muncul rasa kesalingan atau mubadalah. Keluarga yang di dalamnya dibangun atas dasar nilai-nilai kesalingan dalam berpasangan akan mewujud sikap saling mendukung, saling menghormati, membiasakan musyawarah dan menerapkan asas kesetaraan (al-musawamah).

Semisal perempuan juga bekerja, akan dipahami bersama bahwa pekerjaan rumah tangga atau domestic, bukan semata tanggung jawab perempuan, sehingga tidak terjadi penumpukan beban secara sepihak. Dengan kesalingan, tugas dan peran dalam keluarga seperti mengasuh anak akan menjadi tanggung jawab bersama. Keputusan-keputusan dalam rumah tangga juga ditentukan berdasarkan musyawarah bukan atas dasar kemauan sepihak. Menurut saya ini kunci dan pondasi rumah tangga. Maka penting membangun pemahaman yang benar tentang kedudukan perempuan sebagai manusia yang setara (musawamah) sehingga konsep berpasangan dalam pernikahan akan terwujud dalam “mu’asyarah” yang “ma’ruf”.

Reporter : Dwi Arifin

Editors Team
Daisy Floren