Taktik Diversi :  Seni Memutarbalikan Perhatian dalam Penanganan Perkara Anak Berkonflik Hukum (ABH)

Taktik Diversi :  Seni Memutarbalikan Perhatian dalam Penanganan Perkara Anak Berkonflik Hukum (ABH)

Smallest Font
Largest Font

Taktik Diversi :  Seni Memutarbalikan Perhatian dalam

Penanganan Perkara Anak Berkonflik Hukum (ABH)

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Adhani Wardianti, Mahasiswa Program Studi Doktoral Pendidikan Masyarakat Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Pembimbing Kemasyarakatan Madya di Bapas Kelas 1 Bandung

 

Advertisement
Konten berbayar di bawah ini adalah iklan platform MGID. JABARONLINE.COM tidak terkait dengan pembuatan konten ini.
Scroll To Continue with Content

Dalam ranah penegakan hukum, konsep diversi menjadi landasan yang semakin diperhitungkan. Diversi, yang pada dasarnya merupakan strategi pengalihan perhatian dari jalur hukum formal, menarik minat para akademisi dan praktisi hukum dalam upaya untuk memahami dampaknya terhadap sistem hukum dan masyarakat secara luas. Dalam artikel ini, kami akan menggali lebih dalam tentang taktik diversi, menguraikan aspek-aspek kunci yang meliputi landasan teoretis, implementasi praktis, serta dampak sosial dan psikologisnya.

Pertama-tama, penting untuk memahami landasan teoretis dari konsep diversi. Diversi secara konseptual berkaitan dengan pengalihan kasus-kasus ke jalur alternatif yang menghindari proses pengadilan formal. Teori-teori seperti teori labeling, teori kontrol sosial, dan teori reintegrasi sosial memberikan pandangan yang dalam tentang dinamika diversi dalam konteks sosial dan psikologis. Misalnya, teori labeling menyoroti bagaimana tindakan diversi dapat mempengaruhi stigmatisasi sosial terhadap pelanggar hukum, sementara teori kontrol sosial mengeksplorasi dampaknya terhadap pengendalian perilaku kriminal.

Tulisan Yusriana Siregar Pahu, Peradilan Pidana Anak Tak Cukup Hanya Diversi dan Restorative Justice (Kompasiana, 17/02/20230) yang mengatakan tidak cukup jika hanya diversi dan restorative justice saja. Padahal Diversi merupakan amanat UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal Dalam hal Penyelesaian perkara pidana Anak, pengadilan Anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik Anak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Dalam pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa sistem peradilan Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Selanjutnya apa itu Keadilan Restoratif? Keadilan Restoratif dijelaskan dalam pasal 1 ayat (6) yang menyebutkan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Salah satu dari proses pengadilan Anak adalah adanya diversi.

Apa itu Diversi

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, hal ini tertuang dalam pasal 1 ayat (6) UU SPPA. Tujuan dari Diversi itu sendiri diatur oleh pasal 6 UU SPPA yang bertujuan untuk:

  1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
  2. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
  3. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
  4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
  5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Diversi dilakukan berdasarkan pendekatan keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif. Substansi keadilan atau peradilan berbasis musyawarah atau keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula (restitutio in integrum), dan bukan pembalasan.

UU SPPA menentukan bahwa proses diversi pada setiap tingkat pemeriksaan yaitu pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan Anak. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Jika tidak dalam salah satu tingkat pemeriksaan tidak dilaksanakannya diversi maka dalam pasal 95 UU SPPA memberikan ancaman sanksi administratif bagi pejabat atau petugas yang melanggar mengupayakan diversi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terdapat sanksi pidana bagi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam melaksanakan diversi di mana diatur dalam pasal 96 UU SPPA dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses yang dilakukan wajib memperhatikan:

  1. Kepentingan korban;
  2. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
  3. Penghindaran stigma negatif;
  4. Menghindari pembalasan;
  5. Keharmonisan masyarakat; dan
  6. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Aparat Penegak Hukum Yang Terlibat Dalam Diversi

Selanjutnya, kita akan menelusuri implementasi praktis dari taktik diversi dalam penegakan hukum. Proses diversi melibatkan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum, jaksa, Pembimbing Kemasyarakatan dan pekerja sosial, yang bekerja sama untuk menilai kasus-kasus tertentu dan menentukan apakah mereka layak untuk diversi. Faktor-faktor seperti keparahan kejahatan, rekam jejak pelaku, dan kebutuhan rehabilitasi menjadi pertimbangan utama dalam proses ini. Studi kasus dan analisis empiris akan memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana diversi diterapkan dalam berbagai konteks hukum, mulai dari pelanggaran remaja hingga kasus-kasus kriminal yang lebih serius.

Diversi tidak diterapkan kepada semua tindak pidana yang dilakukan oleh Anak. Hal ini dengan tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA yang menyatakan bahwa:

Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan :

(a) diancam dengan pidana  penjara dibawah 7 (tahun);

(b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 (selanjutnya disebut Perma No. 4 Tahun 2014), Musyawarah diversi adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan fasilitator adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Dalam Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (tahun) tetapi belum berumur 18 (tahun) atau telah berumur 12 (tahun) meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (tahun).

Namun, sementara diversi dapat menjadi alat yang efektif dalam menangani kejahatan dan mengurangi beban sistem pengadilan pidana, penting untuk mempertimbangkan dampak sosial dan psikologisnya. Meskipun diversi sering dianggap sebagai alternatif yang lebih manusiawi dan rehabilitatif daripada hukuman formal, ada juga kekhawatiran tentang keadilan yang dipersepsikan dan potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. Penelitian tentang pengalaman individu yang terlibat dalam proses diversi, baik dari sudut pandang pelaku maupun korban, akan mengungkapkan kompleksitas dinamika interaksi sosial yang terlibat.

Dalam konteks ini, penting untuk mengadopsi pendekatan yang holistik dan berbasis hak asasi manusia terhadap diversi. Menggabungkan perspektif ilmiah dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, kita dapat mengembangkan model diversi yang lebih adil, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan individu dan masyarakat. Ini melibatkan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga penegak hukum, lembaga sosial, dan komunitas lokal, untuk memastikan bahwa diversi tidak hanya mengurangi kejahatan, tetapi juga mempromosikan rekonsiliasi dan reintegrasi sosial.

Dalam kesimpulan, taktik diversi merupakan bagian integral dari upaya penegakan hukum yang modern. Dengan pemahaman yang mendalam tentang landasan teoretis, implementasi praktis, dan dampak sosial-psikologisnya, kita dapat mengoptimalkan potensi diversi sebagai instrumen yang efektif dalam memperkuat keadilan dan keamanan dalam masyarakat yang majemuk ini. Hanya dengan pendekatan yang berbasis ilmiah dan humanis, kita dapat memastikan bahwa diversi tidak hanya mengalihkan perhatian, tetapi juga mengubah paradigma dalam pembentukan kebijakan kriminal yang lebih inklusif dan berdaya.

Dengan demikian, Diversi diharapkan dapat membantu menangani perkara ABH untuk memberikan kepentingan terbaik bagi anak yang merupakan kewajiban orang dewasa dan Masyarakat. Merupakan suatu hal yang paling utama untuk diperhatikan dalam memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan anak, apalagi terkait masalah hukum . THE BEST INTEREST OF THE CHILD.

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Hokage Author