JABARONLINE.COM - Dunia jurnalistik di Indonesia, bagi banyak orang, adalah medan pertempuran sunyi. Di balik kilau berita yang menembus layar kaca, terpampang di halaman depan koran, atau meluncur deras di lini masa media sosial, ada kisah yang jarang terdengar: kisah para jurnalis yang menulis fakta, tapi justru berhadapan dengan jerat hukum. Salah satu jerat itu bernama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau yang lebih dikenal sebagai ITE

Sejak disahkan, ITE hadir dengan tujuan mulia menurut pemerintah: menjaga keamanan informasi, menekan penyebaran konten negatif, dan memberi rasa aman bagi masyarakat di ranah digital. Namun, di lapangan, realitasnya berbeda. ITE kerap menjadi pedang bermata dua. Pedang itu tajam, tapi arahnya sering kali mengarah pada jurnalis yang berusaha menunaikan tugas moralnya: menulis fakta, menegakkan transparansi, dan membuka tabir kebijakan publik yang tidak selalu terang benderang.

Bayangkan seorang jurnalis,duduk di meja kecilnya dengan secangkir kopi yang mulai mendingin,menatap layar laptop.Kata demi kata mengetik laporan yang ia peroleh dari wawancara lapangan,dokumen resmi, atau investigasi panjang. Ia menulis dengan cermat, memastikan setiap data diverifikasi, setiap kutipan benar.Namun, satu kata yang dianggap menyinggung pihak tertentu bisa menjadi awal mimpi buruk.

Pemberitaan yang seharusnya menjadi pelindung publik, tiba-tiba bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pasal-pasal ITE yang multi-tafsir itu seperti jebakan tersembunyi; di satu sisi memberi rasa aman bagi masyarakat, di sisi lain membatasi kebebasan pers.

Kasus demi kasus muncul di pengadilan.Jurnalis dilaporkan karena dianggap mencemarkan nama baik lewat berita yang mereka tulis.Bukti yang mereka miliki: rekaman, dokumen, saksi mata. Bukti itu seharusnya menjadi dasar pembuktian kebenaran.Namun,hukum ITE tidak selalu berpihak pada fakta. Sering kali, penafsiran subjektif pihak yang merasa dirugikan menjadi pijakan laporan. Apa yang di mata jurnalis adalah fakta,di mata hukum bisa menjadi “fitnah” atau “penghinaan” yang bisa dipidana.

Iklan Setalah Paragraf ke 5

Fenomena ini menimbulkan efek chilling effect—dampak yang menakutkan bagi kebebasan pers.Banyak jurnalis mulai menahan diri menulis laporan kritis. Mereka mempertanyakan setiap kata,memikirkan risiko hukum sebelum menekan tombol “publish.” Akibatnya,masyarakat bisa kehilangan akses pada informasi yang objektif, transparan,dan independen.Ironisnya,di negeri yang mengklaim dirinya demokratis,fakta justru menjadi terbelenggu.