“Suara Wildan tidak berteriak untuk didengar — ia berbisik agar direnungi.”

Di tengah dunia musik yang riuh dengan gema autotune dan kejar-viral, hadir sosok yang memilih jalan sunyi: Wildan F. Mubarock. Dosen, penulis, sekaligus penyair ini memadukan dunia puisi dan musik dalam proyek puitik-musikal bertajuk Senandung Mubarock × Nyanyian Diksatrasia — sebuah dialog antara kata, nada, dan renungan spiritual.

Dari Ruang Kelas ke Panggung Puisi

Wildan bukan musisi yang lahir dari industri, melainkan dari ruang kelas dan ruang baca. Ia mengajar sastra di universitas, menulis disertasi tentang pembelajaran puisi berbasis proyek dan alih wahana, lalu mempraktikkannya sendiri: menjadikan puisi sebagai proyek hidup yang dihidupkan lewat musik.
Kolaborasinya dengan musisi muda dan penyair kampus melahirkan komposisi yang melintasi batas antara akademia dan ekspresi personal.

Vokal yang Menyampaikan Keheningan

Iklan Setalah Paragraf ke 5

Dalam setiap penampilannya, suara Wildan bukan sekadar instrumen, melainkan medium refleksi.
Ia bernyanyi seolah membaca doa — lembut, dalam, dan sadar makna.
Nada-nadanya tidak menonjolkan teknik, tetapi kejujuran rasa: intonasi stabil, pengendalian napas baik, dan warna suara hangat dengan sedikit serak alami yang memberi karakter khas pada setiap lagu.
Ketika berduet dengan Putri, harmoni vokal keduanya menghadirkan keseimbangan antara keteduhan dan cahaya — Wildan sebagai bumi, Putri sebagai langit.