YOGYAKARTA- Melihat deretan karya intelektual Andi Fardian, M.A. yang kini menetap abadi di rak-rak perpustakaan paling bergengsi di dunia, mungkin banyak yang hanya melihat sosok akademisi yang mulus jalannya. Namun, di balik pencapaian tersebut, tersimpan kisah pergulatan batin seorang pemuda yang harus memilih antara kepastian karier atau kebebasan intelektual.
Lahir di Makassar pada 24 Juni 1993, Andi Fardian dikenal sebagai sosok yang melampaui usia. Di usia 15 tahun, ketika remaja lain masih berada di bangku sekolah menengah, ia sudah berstatus mahasiswa di Universitas Mataram. Sebagai anak sulung dari keluarga guru, ekspektasi untuk segera mapan dan mengikuti jejak sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi beban moral yang cukup besar.
Titik balik datang pada tahun 2014. Andi memutuskan merantau ke Yogyakarta, sebuah kota yang menjanjikan harapan sekaligus tantangan. Sambil menunggu wisuda, ia menghabiskan waktu sekitar 1,5 tahun bekerja sebagai editor di sebuah kantor di Bantul.
Masa-masa itu ia kenang sebagai periode yang "abu-abu". Rutinitas kantor yang monoton dan gaji yang pas-pasan seringkali memicu kegelisahan. Perasaan tersebut kian menyesakkan saat ia melihat teman sebaya mulai meniti karier yang dianggap mapan, sementara ia masih berkutat mengedit tulisan orang lain.
Pertaruhan di Tengah Kebutuhan Keluarga
Puncak kegelisahan tersebut terjadi pada tahun 2017. Di tengah kebahagiaan menyambut kelahiran anak pertamanya bersama sang istri, Eva Mawinda, Andi justru mengambil keputusan drastis: berhenti dari pekerjaannya.
.png)
.png)
.png)
