JABARONLINE.COM — Pemandangan di ruang gawat darurat (IGD) sering kali menjadi saksi bisu perjuangan hidup dan mati. Bagi dr. Haerul Anwar, praktisi kesehatan sekaligus Dokter Layanan Kemanusiaan DPP Partai Gerindra, pengalaman menghadapi pasien dari keluarga tidak mampu adalah potret nyata bagaimana akses kesehatan masih menjadi dilema berat bagi rakyat kecil.
“Saya teringat pada seorang kepala keluarga, terbaring lemas dengan kondisi medis mendesak, didampingi istrinya yang panik. Ketika tim kami menanyakan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), istrinya tertunduk lesu. ‘Maaf Dok, sudah lama tidak bayar, kartunya tidak aktif,’ lirihnya,” kenang dr. Haerul.
Menurut dokter yang ditugaskan Prabowo di Layanan Kemanusiaan Gerindra ini bahwa, Di tengah situasi gawat darurat, ketidakaktifan jaminan sosial karena tunggakan iuran menjadi tembok tebal yang menghalangi akses pengobatan optimal.
Mereka terpaksa memilih antara biaya darurat yang mencekik atau nyawa yang terancam. Menurut dr. Haerul, inilah kenyataan yang dihadapi jutaan keluarga Indonesia: jaminan kesehatan bukan sekadar administrasi, tetapi urat nadi kehidupan.
dr. Haerul, menyebut tingginya tunggakan iuran BPJS Kesehatan di segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) bersumber dari kesulitan ekonomi. Pekerja informal dan keluarga berpenghasilan rendah sering kali harus memprioritaskan uang harian untuk makan, kontrakan, atau pendidikan anak, sementara iuran BPJS dianggap bisa ditunda.
“Situasi ini diperparah dengan rendahnya kesadaran preventif. Banyak yang baru mencari pertolongan atau mengaktifkan kembali kartu saat penyakit sudah parah. Akibatnya, tunggakan menumpuk dan jutaan peserta nonaktif, terputus dari perlindungan negara,” jelasnya.
.png)
.png)
.png)
